|
Arus balik pasca Lebaran selalu
memunculkan masalah yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Jumlah pendatang
baru yang mengadu nasib ke kota cenderung melinjak. Konsisten dengan pemikiran
pemerintah, perlu dicarikan solusinya bagaimana cara membendung arus lonjakan
pendatang baru tersebut?
Permasalahan meningkatnya kaum
urban, tidak hanya dialami di Jakarta. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Tangerang Selatan, misalnya, tahun ini memprediksi jumlah pendatang akan
meningkat hingga 12.000 orang, meningkat 1 persen dari jumlah penduduk 1,2 juta
jiwa. Sedangkan jumlah penduduk Kota Bekasi bertambah 157.000 jiwa per tahun
atau 430 jiwa per hari. Sementara Pemprov DKI Jakarta sendiri memprediksi
jumlah pendatang baru mencapai 50 ribu jiwa.
Pendatang baru sebenarnya bukan
menjadi masalah bagi pemerintah kota tujuan selama mereka memiliki pendidikan
yang cukup dan mampu bersaing. Lonjakan jumlah pendatang baru menjadi masalah
serius apabila di antara mereka tidak memiliki keahlian, yang tentu akan
menjadi beban pemerintah.
Ketimpangan
Jakarta memang kerap dianggap
sebagai simbol kemapanan ekonomi. Kawan-kawan saya yang bekerja di luar Jakarta
(Jabotabek) selalu mengatakan merantau ke Jakarta, padahal di antara mereka ada
yang bekerja di Bekasi, Cikarang, Depok, atau Tangerang, misalnya. Mereka tetap
saja menyebut merantau ke Jakarta dengan harapan memperoleh kehidupan yang
lebih baik.
Anggapan memperoleh kehidupan yang
lebih baik ini karena ketimpangan ekonomi yang terlalu jauh terjadi antara
kondisi di perkotaan dan perdesaan. Lapangan pekerjaan lebih banyak di
perkotaan, sementara kesempatan kerja di perdesaan cenderung rendah, sehingga
dengan merantau ke kota dianggap cukup menjanjikan untuk memperbaiki nasib
hidupnya.
Kondisi di perkotaan berbeda
dengan kehidupan pertanian di perdesaan. Lahan pertanian bukan lagi dianggap
sebagai hal yang menarik untuk dijadikan lapangan usaha. Masyarakat yang
melihat peluang kerja di perkotaan lebih menjanjikan memilih mengadu nasib ke
kota, mereka bukannya berusaha untuk memperbaiki kondisi pertanian yang ada di
desa-desa. Dhus, semakin lama, pertanian dikelola oleh penduduk yang berumur
tua hingga membuat produktivitas kinerja pertanian juga ikut menurun. Anggapan
sebagai pekerjaan kasar dan memberikan hasil pendapatan yang rendah, membuat
pertanian semakin ditinggalkan oleh kaum muda.
Pendapatan yang sangat jauh
berbeda jika dibandingkan antara di perkotaan dan perdesaan, bahkan mencapai
dua kali lipat. Upah minimum kota (UMK) di Solo, misalnya, masih di kisaran Rp
915.000 per bulan, di Jakarta sudah Rp 2.200.000 per bulan. Masyarakat awam
sepertinya hanya melihat nominal, bukan kebutuhan hidup layak (KHL). Termasuk
ketimpangan sarana dan prasarana infrastruktur dasar, membuat kemudahan
masyarakat perkotaan dalam mengakses pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Kota sebagai pusat perekonomian
menawarkan daya aglomerasi yang kuat, baik bagi individu orang per orang maupun
perusahaan-perusahaan. Perspektif modern, aglomerasi digambarkan sebagai
penghematan akibat lokasi yang saling berdekatan, produsen, bahan baku, tenaga
kerja, konsumen, serta fasilitas ekonomi lainnya, termasuk infrastruktur. Pada
aglomerasi perkotaan, kepadatan penduduk yang cukup, dapat dipandang sebagai
sebuah keuntungan.
Pola seperti ini lazim terjadi di
kota-kota besar tujuan urbanisasi. Dalam buku 'Ekonomika Aglomerasi' (Mudrajad Kuncoro, 2012), aglomerasi
industri manufaktur dan populasi besar berkembang di dua kutub, yaitu Jabotabek
dan Bandung serta Surabaya. Masing-masing sekitar 65 persen dan 71 persen dari
total tenaga kerja dan output di Jawa. Pola ini diperkuat dengan ketersediaan
infrastruktur dasar dan fasilitas layanan publik. Sejak tahun 1985, Jawa dan
Bali telah menarik lebih dari 50 persen investasi asing, di mana konsentrasi
tinggi investasi di daerah perkotaan. Dengan demikian, pertumbuhan industri
besar sebenarnya banyak terjadi di daerah perkotaan. Daerah-daerah inilah yang
kemudian menjadi tujuan urbanisasi.
Salah satu solusi untuk memecahkan
masalah urbanisasi adalah dengan membangun pusat perekonomian baru atau
investasi industri manufaktur yang baru. Manfaat urbanisasi yang membentuk
kelompok besar populasi penduduk, menjadikan pasar tenaga kerja dan konsumsi
berkumpul. Hal ini mampu meminimalkan biaya distribusi.
Pola pembangunan seperti ini
memang bisa berdampak positif bagi pusat-pusat ekonomi dan industri, tetapi
dalam jangka panjang potensial berdampak negatif bagi wilayah perdesaan.
Dampaknya adalah semakin berkurangnya tenaga kerja muda bidang pertanian di
desa-desa. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang sinergis antara kebijakan
pemerintah perkotaan dan perdesaan.
Setiap penduduk memiliki hak
bekerja dan memilih lokasi kerja di setiap jengkal wilayah Negara
Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), dengan segala hak dan kewajibannya sebagai tenaga
kerja, selama kesempatan bekerja itu tersedia seluas-luasnya. Hak untuk bekerja
selalu berkaitan erat dengan kesempatan bekerja, termasuk peluang membuka
usaha.
Karena itu, apabila seseorang
mengadu nasib ke kota tetapi tetap tidak mampu memperbaiki nasibnya, tentu
merupakan sebuah kemunduran. Seharusnya, siapa pun yang datang ke kota harus
memiliki skill atau kemampuan agar mampu bersaing, bisa memperoleh
berlipat-lipat pendapatan dibandingkan dengan ketika tinggal di perdesaan.
Yang jelas, budaya merantau
memiliki pengaruh yang baik bagi masyarakat, industri, atau pemerintah. Apa pun
dampak negatif yang terjadi akibat ketimpangan dan kurangnya sinergitas
kebijakan antar daerah karena otonomi, jangan sampai alasan ini menjadikan
harapan penduduk untuk memperbaiki nasib, tetap menjadi sebuah mimpi. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar