|
Dampaknya adalah pembubaran BP Migas, yang kemudian beralih
rupa menjadi SKK Migas. Berkaca pada kasus-kasus itu, stakeholder migas perlu sama-sama merumuskan seperti apa strategi
besar tata kelola industri ini di Indonesia ke masa depan.
Penangkapan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Rudi Rubiandini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
memunculkan kembali tuntutan pembubaran lembaga ini. Fungsi regulasi
pengelolaan migas diminta dikembalikan ke Pertamina, seperti zaman Orde Baru.
Sejak Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 diberlakukan,
sistem pengelolaan migas nasional menganut pemisahan fungsi regulator dan
operator. Fungsi regulator dijalankan oleh BP Migas, sedangkan Pertamina
sebatas bertindak selaku operator. Dalam perkembangannya, sistem baru inilah
yang dinilai sebagai biang korupsi, khususnya di tubuh BP Migas.
Sistem ini juga dituding membuka liberalisasi pengelolaan
migas karena sangat dipengaruhi oleh pihak asing. Pertamina dianggap tidak
mendapat ruang yang cukup untuk berkembang karena BP Migas-kemudian menjadi SKK
Migas-dituduh lebih mementingkan perusahaan-perusahaan asing.
Terhadap tuntutan ini, kita sebaiknya tak secara gegabah
menolak atau pun menyetujuinya. Perlu dilakukan pengkajian secara cermat dan
mendalam tentang plus-minus dari kedua pola yang telah dijalani negeri ini.
Dengan begitu, kita akan terhindar dari sekadar bongkar-pasang sistem yang
menghabiskan waktu dan energi.
Bila kita menengok ke belakang, lahirnya UU Migas 22/2001
justru didorong oleh alasan-alasan yang saat ini dipakai oleh kelompok yang
mendesak pembubaran SKK Migas, yaitu korupsi dan kebijakan yang menguntungkan
asing. Pada 1999, lembaga auditor keuangan internasional Pricewaterhouse Coopers (PwC) merilis hasil audit yang mereka
lakukan kepada Pertamina. Audit dilakukan sebagai kelanjutan dari kesepakatan
antara pemerintah Indonesia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam hasil
auditnya, PwC menyimpulkan terjadi inefisiensi di Pertamina.
Akibat inefisiensi yang terjadi pada 1996-1998, Pertamina
ditengarai mengalami kerugian US$ 4,7 miliar. Jumlah itu hampir setara dengan
pinjaman luar negeri Indonesia saat itu, yakni sekitar US$ 5 miliar. Harian The Jakarta Post yang terbit pada 1999
menuliskan, inefisiensi terjadi salah satunya disebabkan oleh kontrak-kontrak
tak wajar yang dibuat Pertamina dengan perusahaan yang terafiliasi dengan
keluarga mantan presiden Soeharto dan kroninya.
Selain inefisiensi, Pertamina di era Orde Baru dikritik
karena cenderung menyerahkan wilayah kerjanya kepada perusahaan asing,
ketimbang mengelolanya sendiri. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
menunjukkan, 74 persen blok migas yang sudah berproduksi digarap oleh asing.
Mereka umumnya memperoleh kontrak pada era UU Nomor 8 Tahun 1971.
Dalam wawancara dengan situs berita Tempointeraktif pada 28
September 1996, mantan Menteri Pertambangan dan Minyak Bumi M. Sadli menyebut
Pertamina di era itu sebagai rent seeker.
Pertamina hanya ingin mendapatkan keuntungan dari pihak lain tanpa harus bekerja
keras melakukan eksplorasi migas.
Temuan PwC dan berbagai kelemahan di tubuh Pertamina inilah
yang kemudian membuat banyak kalangan mendesak agar segara dilakukan reformasi
di perusahaan milik negara itu. Hasilnya adalah Undang-Undang 22/2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi.
Salah satu poin penting UU ini adalah mengubah tata kelola
migas di Indonesia. Termasuk di dalamnya memisahkan peran operator dan
regulator yang selama berpuluh tahun dirangkap oleh Pertamina. Dengan pemisahan
ini, diharapkan Pertamina dapat fokus menjalankan bisnisnya dan bersaing di
level nasional, regional, ataupun global.
Adapun untuk pengaturan dan pengawasan di sektor hulu,
peran Pertamina digantikan oleh sebuah lembaga bentukan pemerintah bernama
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, disingkat BP Migas.
Sedangkan untuk sektor hilir dibentuk Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi
(BPH) Migas.
Namun, baru 11 tahun berjalan, sistem tata kelola migas
kembali dibongkar setelah Mahkamah Konstitusi pada November 2012 mengabulkan
gugatan sejumlah tokoh dan organisasi kemasyarakatan atas UU Migas 22/2001.
Dampaknya adalah pembubaran BP Migas yang kemudian beralih rupa menjadi SKK
Migas.
Berkaca pada kasus-kasus itu, stakeholder migas perlu sama-sama merumuskan seperti apa strategi
besar tata kelola industri ini di Indonesia ke masa depan. Revisi UU 22/2001,
yang saat ini sedang dilakukan, bisa menjadi pintu masuk untuk merancang sistem
tata kelola yang lebih cocok bagi Indonesia dan menjanjikan kepastian hukum
bagi investor.
Tentu saja tidak akan pernah ada sistem tata kelola yang
benar-benar sempurna. Seperti halnya sebuah rumah, perawatan harus terus
dilakukan. Pemilik akan berusaha mencegah terjadinya kerusakan. Tapi, kalau toh
terjadi, usaha pertama yang dilakukan adalah memperbaiki kerusakan, bukan
langsung membongkar seluruh rumah.
Industri migas adalah industri dengan janji keuntungan
berlimpah. Ini membuka peluang terjadinya praktek-praktek korupsi, apa pun
bentuk tata kelola migas yang dipilih. Adalah tugas semua stakeholder untuk mengantisipasi agar praktek kotor tidak
dilakukan. Kalaupun terjadi, harus ada tindakan tegas dan kemudian dilanjutkan
dengan perbaikan sistem agar kasus serupa tidak terulang.
Terus-menerus membongkar sistem tata-kelola migas tidak akan
membuat industri menjadi lebih baik. Investor justru akan enggan berinvestasi
di industri migas karena tidak ada kepastian hukum. Padahal, merupakan suatu
kenyataan bahwa Indonesia bukan lagi sebuah negeri kaya minyak. Cadangan minyak
negeri ini sudah terkuras habis sampai tinggal kurang dari 4 miliar barel.
Sedangkan sumur-sumur produksi kian tua. Hal ini terjadi karena, dalam beberapa
dasawarsa terakhir, penemuan cadangan minyak dan gas bumi, yang memiliki
kandungan berlimpah, relatif minim.
Konsumsi berbagai jenis bahan bakar juga terus meningkat.
Ini menyebabkan kesenjangan antara konsumsi dan produksi migas semakin melebar.
Mantan Kepala BP Migas Kardaya Warnika mengatakan, bila tidak dilakukan
langkah-langkah untuk segera memperbaiki tata kelola migas, Indonesia akan
mengalami krisis energi pada 2019. Untuk itu, perlu disusun berbagai langkah
terobosan secara sistematis. Bukan sekadar bongkar-pasang atau tambal-sulam
kebijakan energi yang reaktif semata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar