|
Selama Agustus 2013, setidaknya
terjadi 11 kasus penembakan dengan menggunakan senjata api. Apa pun jenis
senjata api yang digunakan, airsoft gun
ataupun air gun, penembakan itu
antara lain telah menimbulkan kematian. Di antara mereka yang menjadi korban meninggal
dunia adalah pegawai LP Wirogunan, Yogyakarta, dan dua anggota Polri di Pondok
Aren, Tangerang Selatan, Banten.
Polri telah menunjuk atau
setidaknya menemukan indikasi keterlibatan jaringan teroris di balik serangan
itu, khususnya dalam peristiwa penembakan terhadap dua anggota kepolisian.
Teror senjata api termasuk
penembakan terhadap personel Polri, siapa pun pelakunya, adalah buah tata
kelola peredaran dan penggunaan senjata api yang nirakuntabilitas. Tanpa
akuntabilitas yang tinggi, teror senpi akan terus berulang. Audit peredaran
senjata api secara berkala adalah jawaban untuk mengatasi soal ini, bukan
melulu kepada warga pemegang senpi tapi juga personel Polri, TNI, dan
lain-lain. Dalam beberapa peristiwa, jaringan teroris juga dikenal mampu merakit
senpi. Demikian pula sekelompok masyarakat mudah mengakses alat-alat bersenjata
dan berdaya ledak. Tetapi, kontrol utama tetap harus diarahkan kepada institusi
keamanan.
Di tengah keterbatasan
akuntabilitas, kelompok teroris adalah kambing hitam yang paling mudah dituduh
sebagai pelaku. Padahal, tidak sesederhana itu analisis yang mesti
dikembangkan. Logika dendam kepada aparat yang terus memburu jaringan teroris
dan menimbulkan kebencian mendalam sangat mudah dipatahkan. Perlu dicatat bahwa
kelompok teroris juga paham betul siapa musuh mereka sesungguhnya. Polri hanya
aparat pelaksana. Penanganan sporadis dan sederhana atas teror senpi telah
memutus potensi lain dari teror sistematis ini. Padahal, bukan tidak mungkin
ada kekuatan lain yang bekerja menebar teror untuk tujuan menciptakan
instabilitas politik dan keamanan.
Teror senjata api sesungguhnya
telah mengikis rasa aman warga negara. Apalagi sasarannya justru mereka yang
memiliki senjata, seperti anggota Polri. Pemerintah wajib melakukan audit atas
peredaran senjata api yang berdasarkan catatan Imparsial (2013) 41.102 pucuk
beredar legal di masyarakat. Sebanyak 17.983 pucuk berizin untuk bela diri,
11.869 pucuk untuk polisi khusus), 6.551 pucuk untuk olahraga, dan 4.699 pucuk
untuk satpam. Peredaran senjata api tanpa aturan yang jelas, tanpa pengawasan
dan evaluasi berkala, hanya menjadi potensi teror berkepanjangan.
Perlu diingat, penyalahgunaan
senjata api tidak melulu didominasi aktor non-negara. Justru ironisnya aparat
negara juga dengan mudah memuntahkan peluru secara tidak bertanggung jawab.
Kasus penyerbuan dan penembakan tahanan di LP Cebongan, Yogyakarta, adalah
salah satu contoh. Karena itu, segenap penyelenggara negara, Polri, TNI, BIN,
pemerintah dan DPR perlu menyikapi persoalan ini secara holistik. Apakah perlu
pembentukan undang-undang yang mengatur soal senpi atau cukupkan diwadahi
dengan peraturan pemerintah, misalnya. Sekalipun undang-undang bukan
satu-satunya jawaban, paling tidak kehadiran peraturan bisa menjadi landasan
bagi Polri dan pemegang otoritas persenjataapian untuk melakukan penataan.
Polri dan otoritas persenjataan selalu berargumen bahwa ketiadaaan pengaturan
soal senpi menjadi penyebab sulitnya menghadirkan akuntabilitas peredaran dan
penggunaan senjata api.
Penyikapan jangka pendek,
menemukan pelaku-pelaku teror adalah keharusan. Tetapi, berhenti pada
penyikapan sporadis, kasus serupa bakal terjadi lagi di masa mendatang. Baik
pengungkapan peristiwa penembakan maupun penyediaan landasan hukum yang kokoh,
keduanya sama-sama untuk menunjukkan bahwa negara berwibawa dan mampu
menciptakan rasa aman. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar