Reformasi
Pendidikan
Utomo Danan Jaya ; Direktur Institute for Education Reform
Universitas Paramadina
|
KOMPAS, 20 September 2012
Pengantar penjelasan pada Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan
hakikat pendidikan dalam konteks pembangunan nasional, yaitu sebagai pemersatu
bangsa, penyamaan kesempatan, dan pengembangan potensi diri.
Pendidikan diharapkan dapat memperkuat
persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, memberi kesempatan yang
sama kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan
memungkinkan setiap warga negara mengembangkan potensi diri.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No
20/2003 menjadi dasar hukum penyelenggaraan dan reformasi sistem pendidikan
nasional. UU tersebut memuat visi, misi, fungsi, dan tujuan pendidikan
nasional, serta strategi untuk mewujudkan pendidikan bermutu agar relevan dengan
masyarakat dan berdaya saing global.
Tiga prinsip
Terkait visi dan misi pendidikan nasional,
reformasi pendidikan meliputi, pertama, perubahan penyelenggaraan pendidikan,
dinyatakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan yang mampu membangun
kemauan, serta mengembangkan potensi kreativitas peserta didik. Prinsip itu
memicu pergeseran paradigma proses pendidikan, dari pengajaran ke pembelajaran.
Paradigma pengajaran yang lebih
menitikberatkan peran pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan kepada
peserta didik bergeser pada paradigma pembelajaran. Ini membuat peserta didik
lebih mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya.
Kedua, perubahan pandangan tentang peran
manusia. Dari paradigma manusia sebagai sumber daya pembangunan menjadi manusia
sebagai subyek pembangunan secara utuh. Pendidikan harus mampu membentuk
manusia berkarakteristik personal yang paham dinamika psikososial dan
lingkungan kulturalnya. Bukan sekadar siap pakai.
Ketiga, perubahan pandangan terhadap
keberadaan peserta didik yang terintegrasi dengan lingkungan sosio-kulturalnya
yang nantinya menumbuhkan individu sebagai pribadi yang mandiri dan berbudaya.
Dalam hal ini perbedaan anak didik lebih dihargai daripada persamaan.
Ketiga prinsip ini menjadi dasar reformasi
pendidikan nasional. Namun, hingga 14 tahun Reformasi, tanda-tanda perubahan
penyelenggaraan pendidikan belum kentara, bahkan lebih menonjol penyimpangan
dan kemandekannya. Menurut penelitian CE Bebby (1970), guru (pendidik) di
Indonesia lebih nyaman dalam kemapanan dan bersikap antiperubahan.
Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) sebagai
ganti kurikulum berpusat materi tidak membawa perubahan. Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No 22/2006 tentang standar isi menyebut kurikulum tetap
berbasis pada materi. Permendiknas No 23/2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan berisi kurikulum berbasis kompetensi. Dua permendiknas ini menyulitkan
guru. Mau berpegang pada isi atau kompetensi?
Ujian Nasional
Evaluasi hasil belajar yang dalam UU
Sisdiknas Pasal 58 menjadi hak guru untuk menyelenggarakan diubah pada PP No
19/2005 menjadi Ujian Nasional (UN) yang diselenggarakan oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP). Terakhir pengambilan nilai menjadi 60 persen UN dan
40 persen ujian kelas. Alasan penyelenggaraan UN adalah ”dari dulu” UN
diselenggarakan. Padahal, yang dari dulu justru harus direformasi.
Kualifikasi guru menuntut pada hasil. Uji
kompetensi guru menunjukkan bahwa hasil uji kompetensi awal rata-ratanya 42,5,
sedangkan hasil uji kompetensi guru yang telah bersertifikat rata-rata 44,5.
Artinya, sertifikasi berdasarkan portofolio tak menunjukkan perbedaan
signifikan dengan guru yang belum disertifikasi. Maka, penyelenggaraan
pendidikan nasional oleh guru bersertifikasi tidak ada bedanya dengan guru yang
belum diberi sertifikat.
Penjelasan tentang prinsip perubahan tak
tergambar dalam sejumlah dokumen resmi pendidikan nasional. Pesan-pesan dari
kementerian lebih terkesan tidak memihak reformasi. Semangat penyelenggara
pendidikan nasional masih terikat pada prinsip- prinsip yang harus
ditinggalkan.
Contohnya RAPBN 2013. Pada bagian penjelasan
Meningkatkan Pendidikan dan Kesejahteraan Rakyat, subjudul pendidikan murah
yang terjangkau dibuka dengan kalimat: ”Sumber daya manusia Indonesia yang
andal dan terdidik”. Kata sumber daya manusia dalam prinsip kedua dari
reformasi pendidikan telah diganti menjadi manusia sebagai subyek pembangunan
yang utuh.
Masih sangat kuat pendapat bahwa pendidikan
bertujuan menciptakan manusia siap kerja. Padahal, reformasi mendasarkan
pandangan bahwa pendidikan bukan hanya menciptakan manusia yang siap kerja,
melainkan manusia sebagai subyek pembangunan secara utuh.
Dalam praktik masih dipertukarkan
istilah-istilah, misalnya, pengajaran dengan pembelajaran, sumber daya manusia
dengan manusia subyek pembangunan, murid dengan peserta didik. Pengertian
pendidikan pun masih diartikan sebagai peningkatan kualitas sumber daya
manusia, padahal cita-cita UU Sisdiknas mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensinya sehingga memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, dan terampil.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
menegur anak-anak peserta upacara hari anak nasional menunjukkan bahwa presiden
sebenarnya tak paham prinsip reformasi pendidikan yang ketiga. Pada prinsip itu
pandangan terhadap keberadaan peserta didik (anak) terintegrasi dengan
lingkungan sosial budaya dan pribadi anggota masyarakat.
Menegur di depan umum termasuk tidak memahami
prinsip kebebasan anak. Anak yang lelah menunggu presiden dari pukul 06.00
berbeda dengan orangtua yang menunggu 4 jam apalagi dengan pengawal presiden.
Banyak Bertentangan
Banyak sekali ungkapan dari Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan serta pejabat pendidikan yang bertentangan dengan
prinsip perubahan. Misalnya istilah pengajaran, dalam arti belajar dan
mengajar, masih tidak berubah menjadi pembelajaran.
Tujuan pendidikan ”siap pakai” sebagai
prinsip pendidikan pada zaman Belanda—untuk menyiapkan tenaga kerja kelas
rendah, seperti mandor perkebunan dan pamong praja—masih dipergunakan.
Pendidikan sekadar menciptakan tenaga siap pakai. Padahal, sejak Orde Baru
istilah sumber daya manusia diubah menjadi manusia seutuhnya dan setelah
Reformasi menjadi manusia berbudaya sebagai subyek pembangunan (meninggalkan
istilah siap pakai).
Prinsip-prinsip perubahan tidak dijiwai oleh
para pejabat pendidikan sehingga menimbulkan kesan seolah-olah pendidikan
nasional tidak mempunyai arah. Padahal, bukan sistem pendidikan yang tidak
punya arah, melainkan pelaksana-pelaksana kebijakan pendidikan nasional yang
salah arah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar