Migas
untuk Kemakmuran Rakyat
Kurtubi ; Alumnus Colorado School of Mines,
Denver,
dan Ecole Nationale Superieure du Petrole et des Moteurs, Paris
|
KOMPAS, 20 September 2012
Setelah UU Migas (UU No 22/2001) berlaku
lebih dari 10 tahun, kondisi industri perminyakan nasional semakin memburuk di
tengah terus meningkatnya kebutuhan energi sebagai dampak dari pertambahan
penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
Ini, antara lain, ditandai ketergantungan
pada minyak impor yang makin besar.
Kebutuhan gas untuk listrik PLN dan
industri dalam negeri selalu gagal dipenuhi, sementara gas/LNG Tangguh yang
dikembangkan atas dasar UU Migas terus diekspor/dikapalkan hingga hari ini
dengan harga sangat murah (sekitar 3,35 dollar AS per MMBTU) di bawah harga
jual gas dalam negeri (sekitar 7 dollar AS per MMBTU). Juga jauh lebih rendah
dari harga ekspor LNG Badak yang dikembangkan atas dasar UU No 8/1971 yang
diekspor dengan harga sekitar 20 dollar AS per MMBTU.
Klaim yang Jauh dari Fakta
Meski demikian, menurut klaim ”iklan anonim” UU Migas di Kompas edisi
27 Agustus 2012, negara tetap berdaulat penuh atas sumber daya migasnya.
Dicontohkan bahwa pemerintah masih tetap jadi pemilik LNG yang diekspor sampai
titik serah di luar negeri. Kalau di dalam negeri membutuhkan gas, LNG yang
sudah dikapalkan tetapi belum sampai di titik serah itu dapat disuruh kembali
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Namun, faktanya, hingga hari ini LNG Tangguh
terus dikapalkan ke China tanpa pernah ada satu tanker LNG yang disuruh balik
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri! Ini membantah secara nyata apa yang
diklaim oleh iklan tersebut.
Realisasi pengeboran eksplorasi di blok-blok
baru sejak keberadaan UU Migas terus anjlok. Penemuan cadangan/lapangan baru
menjadi langka. Lifting minyak terus
turun karena hanya mengandalkan lapangan-lapangan yang sudah tua. Sasaran lifting dalam APBN setiap tahun, pasca-
UU Migas, nyaris tidak pernah tercapai. Indonesia berubah dari negara pengekspor
minyak yang tergabung dalam OPEC jadi negara pengimpor minyak netto. Indonesia
harus keluar dari OPEC.
Sebelum IMF memerintahkan penggantian UU No
8/1971 melalui letter of intent
(LOI), lifting minyak masih sekitar
1,5 juta bbls per hari. Kini, lifting
hanya tersisa sekitar 850.000 bbls per hari. Padahal, secara geologis potensi
sumber daya migas di perut bumi masih relatif sangat besar, 50 miliar-80 miliar
barrel minyak dan 300-350 TCF gas. Sementara itu, harga minyak dunia dalam 10
tahun terakhir sangat tinggi, bahkan pada 2008 sempat menyentuh 147 dollar AS
per bbls.
Secara teoretis, mestinya penemuan cadangan
minyak di Indonesia akan sangat tinggi. Sebab, berdasarkan penelitian,
elastisitas penemuan cadangan minyak di Indonesia lebih bersifat price elastic. Artinya, laju penemuan
cadangan di Indonesia sangat dipengaruhi perkembangan harga minyak dunia, di
mana laju penemuan cadangan akan lebih tinggi dari laju kenaikan harga. Namun,
nyatanya, penemuan cadangan baru pasca-UU Migas nyaris tak ada meski harga
minyak dunia terus naik. Satu-satunya penemuan baru yang signifikan, bisa
tambah lifting 165.000 bbls per hari,
adalah Blok Cepu. Itu pun ditemukan sebelum UU Migas.
Tata Kelola yang Buruk
Kondisi sangat memprihatinkan itu adalah buah
dari sistem tata kelola yang sangat buruk. Hal ini disimpulkan oleh hasil
survei Fraser Institute Canada dalam
laporannya, ”Global Petroleum Survey 2011”.
Dari 135 negara yang disurvei, Indonesia di posisi ke-114. Di kawasan
Asia-Oceania, sistem tata kelola migas di Indonesia paling buruk, lebih buruk
daripada semua negara tetangga, termasuk Timor Leste.
Penyebabnya, menurut survei, selain faktor
korupsi, kualitas data geologi, koordinasi yang buruk, dan tumpang tindih
lahan, juga terutama karena sistem tata kelola yang didasarkan atas UU Migas.
UU ini menciptakan sistem tak efisien dengan menciptakan lembaga baru (BP
Migas) sebagai penanda tangan kontrak, sementara BP Migas bukan pemegang kuasa
pertambangan.
Di samping itu, sistem di bawah UU Migas juga
telah terbukti menyimpang dari konstitusi karena Mahkamah Konstitusi sudah
mencabut empat pasal pokok dan saat ini juga dalam proses uji materi. UU Migas
sudah terbukti merugikan negara secara finansial dalam jumlah yang sangat
besar.
Bertolak belakang dengan klaim iklan UU
Migas, UU Migas justru telah menyebabkan kedaulatan negara atas SDA migas
menjadi terkikis/hilang. Soalnya, yang berkontrak dengan perusahaan asing
adalah BP Migas yang dibentuk pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan.
Sementara BP Migas tak punya aset yang memadai dengan perusahaan minyak asing
sebagai partner dalam berkontrak.
Keberadaan BP Migas yang mewakili pemerintah
tak akan bisa memitigasi/ menghilangkan risiko disitanya aset pemerintah di
luar negeri oleh perusahaan minyak bila terjadi sengketa dengan BP Migas.
Perusahaan minyak asing mau berkontrak dengan BP Migas, meski tak punya aset
memadai, karena BP Migas mewakili pemerintah. Sistem B to G seperti ini pasti
akan menghilangkan kedaulatan negara atas SDA migasnya karena pada hakikatnya
pemerintahlah yang berkontrak. Contoh konkret dari hilangnya kedaulatan negara
adalah ketakberdayaan pemerintah menghentikan pengapalan LNG Tangguh ke China
meski negara dirugikan sekitar Rp 30 triliun per tahun dan dalam negeri sangat
membutuhkan gas.
Pola hubungan dengan investor yang menjamin
kedaulatan negara atas SDA migasnya adalah pola B to B. Di sini yang berkontrak
adalah perusahaan minyak nasional yang punya aset lapangan minyak, kilang,
infrastruktur hilir, sementara pemerintah berada di atas kontrak. Dengan
begitu, pemerintah bisa mengeksekusi kebijakan yang menyangkut migas tanpa
menunggu persetujuan perusahaan/kontraktor minyak asing.
Contoh, dengan UU No 8/1971, pemerintah bisa
mengubah persentase bagi hasil antara Pertamina dan perusahaan asing, yang
semula 60:40 (60 persen Pertamina dan 40 persen asing). Dengan melonjaknya
harga minyak, porsi tersebut dirasakan sudah tak adil. Pemerintah lalu
mengubahnya menjadi 85:15 tanpa menunggu persetujuan para pihak yang
berkontrak. Namun, kini karena yang berkontrak BP Migas (mewakili pemerintah),
langkah tersebut tidak bisa dilakukan tanpa persetujuan pihak asing. Pada kasus
terjualnya LNG Tangguh dengan harga sangat murah, pemerintah tidak berani
menyetop pengapalan LNG Tangguh ke China.
Iklan yang Menyesatkan
Oleh karena itu, PP Muhammadiyah bersama
sekitar 20 organisasi dan tokoh-tokoh nasional sudah mengajukan uji materi atas
UU Migas No 22/2001 ke MK. Di tengah menunggu keputusan MK, muncul iklan kaleng/anonim setengah halaman di
Kompas (9 dan 27 Agustus 2012) yang substansi isinya seluruh atau sebagian
tidak benar.
Selain klaim kedaulatan dan kepemilikan
negara atas LNG Tangguh tidak benar, iklan tersebut, antara lain, menyatakan: ”bahwa UU Migas 1 merupakan buah hasil
perjuangan reformasi 1998 untuk mendorong akuntabilitas, tata kelola industri
dan manajemen pengelolaan hulu migas yang lebih baik, serta mendukung gerakan
antikorupsi”.
Faktanya, jauh panggang dari api. Bahkan
cenderung memutar balik fakta, sesat dan menyesatkan. Pasalnya, UU Migas No
22/2001 sejatinya bukanlah hasil perjuangan reformasi 1998. UU Migas berasal
dari LOI IMF karena Indonesia berutang pada IMF pascakrisis moneter 1998. UU
Migas oleh IMF dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi upaya
liberalisasi sektor migas nasional, sekaligus membuka pintu selebar-lebarnya
bagi penguasaan SDA migas oleh pihak asing atau swasta.
Klaim iklan UU Migas yang menyatakan sistem
di bawah UU Migas jadi lebih akuntabel dan antikorupsi juga tidak benar. Justru
BP Migas tak pernah terbuka memberikan data cost
recovery kepada daerah penghasil migas ataupun kepada publik.
Ke depan, terlepas
apakah MK akan mencabut seluruh atau sebagian dari pasal-pasal UU No 22/2001
tentang Migas, sesuai tuntutan pemohon, perbaikan tata kelola kekayaan/aset migas
nasional harus segera dilakukan sesuai amanat konstitusi. Termasuk peluang
untuk segera dapat memanfaatkan aset migas yang berupa cadangan terbukti.
Nilainya sekitar 20 triliun dollar AS, yang bisa dipakai untuk membayar seluruh
utang negara dan membangun secara masif infrastruktur ekonomi yang dibutuhkan
guna mempercepat tercapainya kemakmuran rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar