Bank
Century
Pradjoto ; Ahli Hukum Perbankan
|
KOMPAS, 20 September 2012
Kasus Bank Century (kini Bank Mutiara) sudah
berjalan empat tahun dan sampai kini sulit untuk menerka ujung dari perjalanan
itu.
Banyak faktor yang dapat menjelaskan hal ini,
salah satunya adalah polemik politik yang berujung pada sidang paripurna
panitia hak angket Bank Century dengan lima fokus utama penyelidikan. Kelima
fokus utama penyelidikan adalah, pertama, meneliti adakah pelanggaran hukum
yang dilakukan terkait keputusan mencairkan dana talangan Rp 6,76 triliun.
Kedua, melihat apakah terdapat konspirasi di antara para pemegang saham utama
Bank Century dengan otoritas perbankan dan pemerintah. Ketiga, meneliti adakah
faktor kesengajaan untuk melakukan pembobolan uang negara melalui skenario
penalangan (bail out) Bank Century.
Keempat, meneliti seberapa besar kerugian
negara yang ditimbulkan oleh kasus penalangan Bank Century serta menyelidiki
pembengkakan dana talangan menjadi Rp 6,76 triliun dan rasionalitas dari
penyelamatan Bank Century, khususnya dalam konteks adanya dampak sistemik.
Kelima, meneliti seberapa besar aspek
kerugian negara yang ditimbulkan oleh kasus penalangan Bank Century.
Sementara itu, fokus Komite Stabilitas Sektor
Keuangan lebih pada melihat tingkat kegawatan Bank Century waktu itu serta
dampak yang ditimbulkan pada tingkat kepercayaan masyarakat. Ini mengingat pada
13 November 2008 keadaan Bank Century sudah berada dalam tahapan kalah kliring
dengan rasio kecukupan modal minus 3,52 persen.
Keadaan kalah kliring ini menunjukkan bahwa
kewajiban bank sudah jauh lebih besar dibandingkan dengan tagihannya dalam
kliring sehingga nasabah bank tidak dapat menarik dana yang seharusnya mereka
terima dari transfer bank lain. Keadaan Bank Century dipandang sudah sangat
serius karena persoalannya tidak hanya sekadar terjadinya ketidakseimbangan
likuiditas, tetapi juga sudah masuk ke persoalan yang bersifat struktural.
Audit 20 Desember 2008 menunjukkan hal itu,
di mana ekuitas sudah merosot ke angka minus Rp 6,8 triliun, kerugian berada di
tingkat Rp 7,5 triliun, kecukupan modal (CAR) minus 81,8 persen, rasio kredit
bermasalah terhadap total kredit (NPL) kotor 33,6 persen, NPL neto 10,3 persen,
laba sebelum pajak (ROA) minus 57,8 persen, laba setelah pajak (ROE) minus
2.646,7 persen, dan rasio biaya operasi terhadap pendapatan operasi (BOPO)
1.284,5 persen.
Dilihat dari sudut tingkat kesehatan
perbankan indikator tadi menunjukkan adanya kegawatan dari lima aspek penilaian
tingkat kesehatan bank. Pertama, aspek permodalan dengan ukuran utama pada
tingkat CAR. Kedua, aspek kualitas aktiva produktif (earning assets) yang begitu lemah sehingga bank tidak mampu meraih
penghasilan, baik melalui kredit yang diberikan maupun melalui surat berharga,
penempatan dana dan penyertaan.
Ketiga, aspek rentabilitas di mana bank tidak
memiliki kemampuan untuk meningkatkan keuntungan yang terlihat dari ROA yang
minus 57,8 persen dan tingginya perbandingan antara biaya operasional terhadap
pendapatan operasional yang tecermin melalui angka BOPO 1.284,5 persen.
Keempat, aspek likuiditas dengan ukuran utama apakah bank mampu membayar
kewajibannya, terutama kewajiban jangka pendek. Kelima, keseluruhan aspek tadi
pada akhirnya menunjukkan buruknya aspek kualitas manajemen bank.
Indikasi Tindak Pidana
Sementara itu, aparat hukum belum juga
menemukan adanya indikasi terjadinya tindak pidana dalam konteks
pengambilalihan Bank Century oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), manajemen
Bank Mutiara di bawah komando Maryono dapat dikatakan sangat berhasil melakukan
transformasi dari bank buruk menjadi bank baik. Serangkaian indikator pada
Agustus 2012 menunjukkan hal tersebut, seperti CAR naik ke angka 11,3 persen,
NPL kotor turun menjadi 4,4 persen, NPL neto turun menjadi 3,4 persen, ROA naik
ke angka 1,4 persen, ROE naik menjadi 18,9 persen, BOPO turun drastis ke angka
90,6 persen dan sudah menghasilkan laba sebesar Rp 123 miliar.
Di balik keberhasilan itu, kasus Bank Century
memang masih menghasilkan beberapa persoalan yang dengan keteguhan dari aparat
hukum akan memberikan tingkat keberhasilan yang luar biasa bagi Bank Mutiara
untuk berada dalam posisi recovery
terhadap dana talangan LPS sejumlah Rp 6,7 triliun. Masalah tadi di antaranya
adalah kasus Antaboga dan gugatan Bank Mutiara sebesar 156 juta dollar AS
terhadap Tarquin Limited (perusahaan
investasi berbasis di London) di Swiss.
Kasus Antaboga adalah sebuah kasus yang dari
kacamata teknis perbankan merupakan tindakan kriminal yang tidak dapat
dibiarkan. Sebab, bagaimana mungkin bank menjual reksa dana, tetapi tidak
memiliki izin untuk melakukan hal itu?
Hingga kini beban itu diminta untuk dipikul
Bank Mutiara meski transaksi itu tak tercatat dalam pembukuan bank, sementara
pengurus dan pemilik PT Antaboga Delta Sekuritas tak disentuh untuk bertanggung
jawab atas tindakannya.
Padahal, kegiatan tadi bertentangan dengan
tiga ketentuan hukum. Pertama, UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Kedua, UU
No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terutama Pasal 92 Ayat (1), Ayat
(2), Pasal 97 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4), Pasal 108 Ayat (1),
Pasal 114 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4). Inti ketentuan ini
memberi isyarat tanggung jawab pribadi direksi jika tak menjalankan kewajiban
dengan itikad baik.
Ketiga, ketentuan tentang kewajiban untuk
memiliki izin sebagaimana dirumuskan dalam Peraturan Nomor V.B.2 tentang
Perizinan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana Lampiran Keputusan Ketua Bapepam
dan LK Nomor Kep-09/ BL/2006 tanggal 30 Agustus 2006; Peraturan Nomor V.B.3
tentang Pendaftaran Agen Penjual Efek Reksa Dana Lampiran Keputusan Ketua
Bapepam dan LK Nomor Kep-10/BL/2006 tanggal 30 Agustus 2006; dan Peraturan
Nomor V.B.4 tentang Perilaku Agen Penjual Efek Reksa Dana Lampiran Keputusan
Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-11/BL/2006 30 Agustus 2006.
Adalah sangat benar dan sepantasnya jika
nasabah Antaboga diberikan perlindungan karena mereka pihak yang juga merasa
”ditipu” oleh iming-iming tingkat bunga yang lebih besar. Namun, proporsional
dari tanggung jawab juga patut diperhitungkan dalam menilai keadilan.
Gugatan di Swiss
Sementara kasus gugatan di Swiss yang semula
dirancang sebagai pintu masuk bagi kejaksaan untuk melakukan pembekuan dana
melalui mutual legal assistance (MLA)
masih belum terdengar efektivitasnya. Padahal, akar dari kasus ini terletak
pada adanya asset management agreement
(AMA) yang merupakan noktah yang terbawa terus-menerus sejak kelahiran Bank
Century di masa lalu.
Apa yang diuraikan di atas hanyalah sebagian
dari kompleksitas persoalan yang dihadapi Bank Mutiara saat ini. Sementara
perdebatan tentang Bank Century masih juga terus berlangsung dengan intensitas
yang kadang naik dan kadang turun. Jawaban
terhadap persoalan ini dari kacamata hukum sesungguhnya tidak rumit. Yang rumit
adalah jawaban apa pun yang akan diberikan tidak pernah membuat suhu menjadi
turun karena budaya hukum terasa sudah tidak menjadi bagian yang melekat
sebagai akibat yang juga sama kompleksnya.
Meski sukar menakar ke arah manakah kasus
Bank Century ini akan bergerak, satu hal yang jelas adalah bahasa yang berbeda memang akan menghasilkan pemahaman yang juga
berbeda. Merangkum keseluruhan perbedaan tadi dalam sebuah bingkai tidak akan
pernah menghasilkan sebuah konfigurasi apa pun kecuali tajamnya perbedaan tadi.
Padahal,
semua berbicara untuk kepentingan rakyat. Yang tak disadari, kepentingan rakyat terbesar saat ini adalah
melihat Bank Mutiara terus bergerak aktif guna menambah nilai jualnya.
Tanggung jawab ini tidak hanya terletak pada manajemen Bank Mutiara, tetapi
juga terletak kepada semua pihak dan terutama kepada aparat hukum yang memiliki
potensi besar untuk menambah nilai bagi Bank Mutiara melalui pengejaran aset. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar