Antisipasi
Konflik dalam Pilkada
Fakhruddin Aziz ; Alumnus UIN Yogyakarta
|
SUARA
KARYA, 20 September 2012
Pada 20 September 2012, Pilkada DKI Jakarta putaran kedua digelar.
Kubu Foke-Nara dan Jokowi-Ahok akan bertarung memperebutkan tampuk kepemimpinan
DKI Jakarta. Pada putaran pertama lalu, Jokowi-Ahok mengungguli Foke-Nara.
Menghadapi putaran kedua, masing-masing kubu bekerja keras dengan beragam
strategi dan taktik demi merebut simpati masyarakat.
Dalam hal ini, polarisasi dukungan terhadap kandidat tertentu di
dalam masyarakat jelas terjadi. Masyarakat yang awalnya sebuah kesatuan
berpotensi terkotak-kotakkan dan berpotensi pecah. Masing-masing kubu pendukung
kandidat yang berbeda pandangan politik saling mengintai dan memata-matai. Pada
situasi seperti inilah, api konflik akan mudah tersulut.
Dinamika politik Pilkada Gubernur DKI Jakarta memang panas mengingat
DKI Jakarta adalah ibu kota negara. Dalam Pilkada, ikatan emosional dan
fanatisme berlebihan kepada kandidat yang dijagokan akan sangat berperan besar
memicu letusan konflik atau gesekan jika tidak diantisipasi sejak dini.
Pilkada secara langsung yang mulai digelar sejak 2005 sampai saat
ini memang meninggalkan beragam catatan, di antaranya maraknya konflik. Tak
heran, jika muncul desakan dari berbagai pihak agar Pilkada langsung dihapuskan
dan kembali dipilih oleh DPRD. Namun, juga ada yang berpendapat bahwa konflik
yang terjadi adalah salah satu bagian dari proses demokrasi. Masa transisi
memang membutuhkan proses yang amat melelahkan dan hal ini harus dilalui.
Konflik dalam Pilkada dapat dipetakan pada tiga fase, yakni fase
penetapan dan pendaftaran calon (pra pemilihan), fase kampanye dan pemilihan,
serta fase pasca pemilihan. Pertama, ketika kandidat yang dijagokan ternyata
tidak lolos seleksi di internal Parpol pengusung atau di KPU. Kedua, adanya
indikasi kecurangan-kecurangan saat masa kampanye maupun, pemilihan, dan
penghitungan suara. Ketiga, ketika kandidat yang kalah beserta pendukungnya
tidak legawa menerima kekalahannya, dan terus mencari celah-celah untuk
membenarkan dugaan kecurangan yang dilakukan lawan politiknya.
Dari sekelumit deskripsi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
yang menjadi penyebab utama meletusnya konflik adalah adanya kecurangan atau
tidak mengikuti aturan main (rule of game)
serta tidak adanya kesepahaman antar-calon yang bertarung. Kecurangan itu
akhirnya dapat memantik reaksi dari lawan-lawan politiknya yang juga mempunyai
ambisi politik serupa.
Sulit memang, ketika nafsu politik sudah sedemikian membara, maka
berbagai cara apa pun akan dilakukan untuk menggapainya. Namun, rakyat kecillah
yang biasanya menjadi tumbal pertarungan di level elite itu. Masyarakat di level grass root disulap layaknya
'laskar perang' yang saling beradu otot dengan saudara-saudara sebangsanya
sendiri. Ketika hal itu terjadi, akal sehat dan hati nurani telah
tersingkirkan.
Memang, ada Panwas yang bertugas mengawasi kecurangan-kecurangan
yang terjadi, namun kewenangannya sangat terbatas. Panwaslu hanya berwenang
mengawasi dan menerima aduan pelanggaran dari masyarakat atau pemantau, dan
kemudian melaporkan pelanggaran tersebut kepada KPU, kepolisian, dan
pihak-pihak terkait lainnya. Dalam hal ini, Panwaslu tidak punya kekuatan
eksekutorial sama sekali atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Setiap pasangan calon beserta pendukungnya tentu berhasrat untuk
memenangkan kontestasi Pilkada. Namun, hasrat politik yang menggebu-gebu itu,
semestinya diimbangi dengan kesadaran untuk mematuhi aturan main yang ada.
Jangan sampai ambisi politik menjadikan hati nurani sirna dan menghalalkan
segala cara untuk menggapai tujuan tersebut.
Pada hakikatnya, Pilkada langsung bertujuan untuk menguatkan
demokratisasi lokal, di mana rakyat diberikan kesempatan secara otonom untuk
menentukan pemimpinnya. Dalam mekanisme demokrasi langsung ini, rumus yang
berlaku adalah one man one vote. Artinya, setiap individu memiliki satu suara
yang akan menentukan arus dukungan terhadap calon pemimpin.
Namun dalam realitasnya, hasrat politik terlihat lebih menonjol.
Pilkada langsung lebih dimaknai sebagai momentum perebutan kekuasaan semata.
Jika kepentingan ini lebih dikedepankan, situasi konflik dan chaos antar-pendukung akan sulit
dielakkan.
Yang juga sangat potensial menyulut api konflik adalah jika adanya
kecenderungan KPU terhadap calon tertentu. Maka, independensi dan netralitas
lembaga penyelenggara ini merupakan 'harga mati' yang tak bisa ditawar-tawar.
Selain itu, pendataan pemilih juga harus dilakukan secara cermat dan akurat,
karena jika banyak pemilih yang belum terdaftar, juga akan sangat berpotensi
besar memancing kekisruhan politik.
Maka, terjadi atau tidaknya konflik dalam Pilkada sebenarnya
tergantung kepada para calon beserta pendukungnya, KPU sebagai penyelenggara,
serta pihak-pihak yang terkait dalam penyelenggaraan Pilkada. Jika semua pihak
memahami dan menyadari esensi/ hakikat Pilkada yang sebenarnya, maka potensi
konflik tak perlu kita khawatirkan. Namun, dalam implementasinya, hal ini bukan
perkara yang mudah.
Membangun kesadaran dan kesepahaman semua pihak itulah yang
semestinya ditekankan. Masing-masing kandidat beserta tim sukses masing-masing,
KPU, Panwas, dan tokoh-tokoh masyarakat sudah semestinya berembug dalam satu
meja untuk menyatukan persepsi dan membuat kesepakatan bersama.
Langkah ini merupakan upaya strategis agar tidak terjadi
'mispersepsi' dan saling curiga antar-kubu yang berlawanan. Selain itu,
masyarakat juga perlu diberi pemahaman politik yang memadai agar tidak mudah
terpancing dan terjebak dalam situasi konflik. Masyarakat sebagai basis massa,
jangan mudah diprovokasi oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.
Kritisisme dan rasionalitas mesti lebih dikedepankan demi menggapai Pilkada
yang berkualitas, aman dan damai. Semoga!
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar