Nilai
Strategis Pilkada DKI
GPB Suka Arjawa ; Staf Pengajar FISIP Universitas Udayana, Bali,
Alumnus S3 Ilmu Sosial
Unair
|
SUARA
KARYA, 20 September 2012
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta mempunyai arti
strategis bagi seluruh Indonesia. Kualitas kesemarakan kampanye yang dilakukan
oleh masing-masing pasangan kandidat gubernur, jelas berbeda dibandingkan
dengan daerah lain. Bukan saja karena kampanye ini berlangsung di ibu kota
negara, tetapi maraknya pemberitaan media massa nasional, membuat kampanye itu
tersebar ke seluruh penjuru Tanah Air. Karena, pada hakikatnya
peristiwa-peristiwa politik itu hanya diikuti oleh para elite, maka sangat
besar elit-elit daerah akan menyaksikan, mengapresiasi dan terinspirasi oleh
segala tingkah laku yang terekam pada peristiwa Pilkada DKI melalui media
massa. Karena itulah, pilkada ini akan menjadi barometer bagi daerah-daerah
lain, baik di tingkat I maupun tingkat II.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan
pilkada di daerah-daerah Indonesia. Dari sisi pencalonan, pilkada lebih sering
dikarakteristikkan oleh tidak adanya keberanian melakukan terobosan baru,
misalnya, mencalonkan diri dari jalur independen dan menempatkan kandidat dari
daerah atau wilayah lain. Pilkada DKI memberikan contoh dengan tampilnya
pasangan independen dan kandidat asal daerah lain. Bahkan, pasangan Joko Widodo
- Basuki Tjahya Purnama (Jokowi-Ahok) yang tercatat bukan berasal dari Jakarta
terbukti mampu memenangi Pilkada DKI putaran I. Pasangan asal Solo dan Bangka
Belitung (Babel) ini pun akhirnya berhak maju ke Pilkada DKI putaran II melawan
cagub-cawagub incumbent, pasangan Fauzi Bowo - Nachrowi Ramli (Foke-Nara) pada
20 September 2012.
Sebuah terobosan sesungguhnya mempunyai nilai penting dalam
memperbaiki penampilan pilkada di daerah-daerah lain. Ini mengingat pilkada di
Indonesia sering kali berlangsung kontroversial. Misalnya, munculnya kandidat
yang masih menyisakan karakter korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Masih
banyak dijumpai calon kepala daerah yang menampilkan sanak saudara pejabat
sebelumnya, atau kandidat hasil 'suapan' perusahan tertentu, atau kandidat yang
memang mempunyai sejarah korupsi.
Majunya calon dari daerah lain, juga merupakan terobosan
tersendiri karena kini kedaerahan ditafsirkan terlalu 'menukik' ke dalam.
Artinya, pengertian memahami karakter, ciri dan sifat-sifat daerah ditafsirkan
pada orang yang memang berasal dan tinggal di daerah tersebut. Tafsiran inilah
yang membuat dalam pilkada, para kandidat mayoritas berasal dan bertempat tinggal
di wilayah yang bersangkutan dan tinggal di wilayah itu dalam satuan waktu
tertentu.
Lebih 'menukik' lagi, mereka berasal dari etnik dengan agama dan
bahasa yang sesuai dengan daerah itu. Pemahaman ini mengabaikan pengetahuan,
kearifan dan kesetiaan seseorang terhadap tugas. Artinya, bisa saja orang dari
daerah lain, yang berdasarkan pengetahuannya justru memahami secara lebih
komplit karakter wilayah tersebut. Dengan kearifan dan tekad yang dimilikinya,
dimungkinkan ia menjadi pemimpin di wilayah tertentu, meski dia bukan orang
dari wilayah tersebut.
Dalam konteks negara kesatuan yang berkarakter primordial majemuk
seperti di Indonesia, pertimbangan terobosan seperti yang dilakukan DKI penting
diwujudkan. Sebab, akan memungkinkan bagi seorang yang berasal dari lintas
etnik menjadi pemimpin. Keberanian untuk menerima pemimpin yang berasal dari
etnik yang komunitasnya lebih kecil memimpin pada komunitas yang lebih besar,
mempunyai nilai positif bagi keragaman di Indonesia.
Pelaksanaan Pilkada DKI yang menerima pemimpin dari wilayah dan
etik lain boleh jadi mampu memberikan sumbangan besar bagi demokratisasi di
daerah lain. Bagaimanapun pencalonan mereka bisa memberikan inspirasi khusus
bagi daerah-daerah lain yang kelak akan melakukan pemilihan kepala daerah, baik
pada tingkat I maupun tingkat II.
Ada hal lain yang mesti diperhatikan juga oleh para kandidat yang
bertarung dalam Pilkada DKI ini, yakni masalah kejujuran dan keberanian untuk
menerima kenyataan. Kejujuran dan keterbukaan telah dilakukan menjelang
kampanye ketika para kandidat dibeberkan kekayaannya di depan umum. Meski hal
ini juga telah dilakukan oleh kandidat di wilayah lain, akan tetapi untuk DKI
Jakarta tetap mempunyai nilai penting.
Dalam hal peredaran uang, Jakarta selalu dipandang sebagai tempat
mayoritasnya rupiah beredar. Mayoritas markas besar perusahan-perusahan besar
juga berbasis Jakarta. Kota ini juga menjadi pusat bisnis dan pusat berbagai
kegiatan ekonomi. Karena itu, muncul pencitraan bahwa para kandidat di Jakarta
mempunyai modal yang besar ketika harus melaju menjadi calon pemimpin daerah.
Pengumuman kekayaan kandidat di awal masa kampanye akan mampu
mengubah citra itu di masyarakat. Bahwa ada kandidat yang 'hanya' mempunyai
kekayaan Rp 12 miliar atau Rp 2 miliar, masih dipandang sebagai wajar untuk
wilayah Jakarta yang karakter ekonominya paling besar di Indonesia. Hal ini pun
akan mampu memberi peningkatan citra kejujuran kepada kandidat. Dan, kejujuran
itu diharapkan akan mampu dipertahankan saat memerintah nanti.
Ciri lain dari satu pilkada di Indonesia, terlihat pasca
berlangsungnya perhelatan tersebut, yakni konflik dan tidak puas akan
kekalahan. Para kandidat harus menghindari hal ini. Kalaupun tidak puas
sebaiknya dilanjutkan ke meja pengadilan, dan apa pun hasil pengadilan harus
diterima.
Dengan cara-cara seperti
itulah, Pilkada DKI akan memberikan inspirasi dan mempunyai nilai strategis
bagi seluruh pilkada di Indonesia. Dalam budaya paternalistik, DKI adalah
'orangtua' bagi pilkada yang lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar