Kamis, 08 Agustus 2019

PERGINYA MBAH MOEN, SANG PENJAGA TRADISI

PERGINYA MBAH MOEN, SANG PENJAGA TRADISI
Oleh : MASDAR HILMY


KOMPAS, 8 Agustus 2019

Akhirnya, selamat jalan Mbah Moen, sang penjaga tradisi. Engkau telah mewarisi kami amal jariyah berupa nilai-nilai moral adiluhung yang tak lekang oleh waktu dan tak lapuk oleh zaman

Selasa, 6 Agustus 2019 pukul 05.04 waktu Mekkah. Penulis yang juga tengah berada di kota yang sama mendengar kabar duka mengejutkan: KH Maimoen Zubair, akrab dipanggil Mbah Moen, meninggalkan kita semua di tanah yang disucikan Allah pada pukul 04.17 waktu setempat. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…

Entah mengapa pada malam itu hingga pagi penulis tetap terjaga hingga berita duka itu menyergap kesadaran penulis. Mungkin ini sebuah firasat akan kepergian salah seorang ulama karismatik penjaga tradisi ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) dan NKRI paling konsisten di republik ini.

Di kalangan kaum Nahdliyin, Mbah Moen dikenal sebagai jimat-nya NU. Jimat (Jawa: barang siji sing dirumat) adalah pusaka, berkonotasi harta paling berharga.

Bangsa ini kehilangan tokoh besar sang penjaga tradisi.

Awal 2018, penulis berkesempatan sowan ke Mbah Moen di kediamannya di Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, untuk memohon agar Gus Ghofur (Dr KH Abdul Ghofur Maimoen, Lc), salah seorang putranya, diperkenankan mengajar di Pascasarjana UIN Sunan Ampel.

Tanpa diduga, Mbah Moen ternyata tak berkenan putranya mengajar di lembaga lain. Alasannya, “agar dia bisa fokus ngopeni (Jawa: merawat) para santri di pondoknya”.

Dalam pertemuan singkat penulis dengan beliau, Mbah Moen berpesan agar penulis bisa lebih istikomah bergelut dalam dunia keilmuan, baik sebagai pengajar maupun pembelajar. Ketidakberkenanan Mbah Moen terhadap putranya untuk mengajar di tempat lain juga mengindikasikan kuatnya komitmen dan integritas keilmuan beliau.

Sebagai kiai karismatik, Mbah Moen seakan tak pernah kehabisan energi positifnya untuk umat. Ia tak pernah pilih-pilih tempat tujuan untuk mengisi ceramah pengajian yang dilakukan hampir tiap hari.

Siapapun yang mengundang, baik kalangan orang kecil maupun orang “besar”, tak pernah disortir berdasarkan besarnya “amplop”. Pengundang pertama selalu didahulukan. Persis seperti pepatah, first come first served.

Karena itu, di usia yang terbilang sudah senja, ia masih terus keliling kampung, bahkan ke luar kota dan antar-provinsi hanya untuk memenuhi undangan ceramah pengajian dari masyarakat.

Ia benar-benar figur yang telaten merawat umat. Semangat mengabdi dan melayani umat tidak pernah padam hingga Allah memanggilnya di tempat dan waktu yang sangat dimuliakan-Nya: Mekkah dan haji.

Sebagai penjaga tradisi keilmuan Islam, Mbah Moen adalah figur ‘alim ‘allamah yang mau berguru kepada banyak ulama. Sempat menimba ilmu agama di pondok pesantren Lirboyo Kediri, Mbah Moen muda juga berguru ke Sayyid Alawi al-Maliki dan Syeh Yasin al-Fadani, dua mahaguru termasyhur bagi para kiai sepuh Nusantara di Mekkah.

Selama dua tahun di kota ini, Mbah Moen mendalami berbagai disiplin ilmu keislaman seperti ilmu hadis, ilmu tafsir, ilmu bahasa, dan lain-lain.

Mbah Moen juga dikenal sebagai figur kiai yang tawadlu (rendah hati) dan bersahaja. Pengakuan akan sifat demikian diriwayatkan oleh banyak sumber, terutama dari sesama kiai.

Kesederhanaan di tengah kemampuan hidup mewah tentu saja sebuah kualitas karakter yang patut dipuji. Inilah sikap zuhud yang sering beliau ajarkan kepada para santrinya.

Warisan nilai

Mbah Moen telah meninggalkan kita semua tetapi warisan nilainya akan tetap hidup dan terjaga. Di luar kiprahnya yang menyejukkan di panggung politik, ia juga pengajar moral kelas wahid.

Seperti ditulis dalam biografinya, Mbah Moen mengajarkan pentingnya integritas dan totalitas dalam segala hal. “Jadilah apapun yang engkau mau, asalkan jangan pernah setengah-setengah”, tegasnya.

Mau jadi politisi, petani, pedagang, PNS, guru, kiai, dan sebagainya, dipersilakan, asal dijalani secara total. Integritas menuntut panggilan jiwa (passion) dan kecintaan terhadap apa yang kita geluti, sepanjang tak melanggar hukum.

Mbah Moen juga mengajarkan, manusia itu punya dua jenis pakaian: syi’ar dan distar. Syi’ar dibutuhkan untuk mendidik mentalitas diri dan keluarga secara ketat dan disiplin, menghindarkan diri dari perbuatan makruh dan dosa.

Sementara, distar adalah ilmu untuk berinteraksi dengan orang lain dengan cara lemah lembut dan bijaksana, agar orang lain mudah menerima kehadiran sekaligus menerima pesan moral kita.

Di antara banyak pesan yang diajarkan kepada masyarakat, ada delapan pesan Mbah Moen yang paling legendaris: 1) tidak semua orang pintar itu benar; 2) tidak semua orang benar itu pintar; 3) banyak orang pintar tapi tidak benar; 4) dan banyak orang benar meskipun tidak pintar; 5) daripada jadi orang pintar tapi tidak benar, lebih baik jadi orang benar meski tidak pintar; 6) ada yang lebih bijak, yaitu jadilah orang pintar yang senantiasa berbuat benar; 7) memintarkan orang benar itu lebih mudah daripada membenarkan orang pintar, dan; 8) membenarkan orang pintar itu membutuhkan beningnya hati dan lapangnya dada (kesabaran).

Akhirnya, selamat jalan Mbah Moen, sang penjaga tradisi. Engkau telah mewarisi kami amal jariyah berupa nilai-nilai moral adiluhung yang tak lekang oleh waktu dan tak lapuk oleh zaman. Kami akan senantiasa memegang dan menjaganya agar tetap hidup lestari… ***


(Masdar Hilmy ;  Guru Besar & Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar