Tiba-tiba kalimat berbahasa Jawa, lamun siro sekti, ojo mateni, yang diunggah Presiden Joko Widodo di media sosial pribadinya, Twitter dan Instagram, viral dan menjadi perbincangan publik.
Unggahan yang diberi ilustrasi huruf Jawa dan tokoh pewayangan Gatotkaca yang sedang berbicara dan memberi rakyatnya padi seperti memberi pesan kepada kita semua. Tugas pemimpin adalah mengayomi dan menyejahterakan masyarakat. Meski memiliki kekuasaan, seorang pemimpin juga jangan sewenang-wenang dan menindas rakyatnya.
Namun, ada yang menafsirkan ungkapan itu bentuk kegelisahan Presiden atas situasi politik akhir-akhir ini soal pembagian kursi kabinet. Ada juga yang menafsirkan terkait rekonsiliasi dan ajakan kepada Prabowo Subianto, rivalnya dalam pilpres, masuk dalam koalisi pemerintahannya.
Penafsiran yang beragam itu tentu sah-sah saja. Apalagi jika dikaitkan dengan konteks politik hari ini. Di tengah kasak-kusuk politik, pembentukan kabinet, kongres partai, pertemuan Jokowi-Prabowo, dan agenda politik lain, tentu unggahan kalimat yang memiliki makna politik yang keluar dari ucapan seorang presiden yang terpilih kembali akan menarik diberi tafsir dan diperbincangkan.
Namun, tafsir yang baik akan melihat kalimat itu dalam perspektif teks dan konteks. Dalam kajian linguistik, teks adalah suatu kesatuan bahasa yang memiliki isi dan bentuk, baik lisan maupun tulisan yang disampaikan seorang untuk pesan tertentu. Teks tidak hanya berbentuk kalimat tertulis, tetapi bisa juga ujaran-ujaran atau dalam bentuk lisan, bahkan ada juga teks di balik teks.
Konteks adalah lingkungan atau keadaan tempat bahasa digunakan. Dalam kalimat yang digunakan Jokowi, konteks kalimat dan bahasa berasal dari masyarakat dan kultur Jawa. Namun, pesan yang ingin disampaikan Presiden adalah pesan moral yang universal.
Kultur Jawa
Dalam masyarakat dan kultur Jawa, kalimat lamun siro sekti, ojo mateni yang dipakai Presiden dikenal sebagai piwulang atau bentuk pendidikan yang mengandung kearifan budaya dan moralitas bagi masyarakat. Ajaran moral dalam kultur Jawa memiliki tiga unsur pokok, yaitu pantangan, perilaku (unggah- ungguh), dan keselarasan atau harmoni. Ketiga unsur ini jika ditanamkan pada masyarakat akan membentuk kepribadian luhur yang menjadi fondasi moral masyarakat.
Dalam falsafah ajaran hidup orang Jawa, piwulang berada pada aras keberadaan manusia di dunia. Karena itu, piwulang mengandung ajaran hidup manusia untuk membedakan perbuatan benar dan salah, serta perbuatan baik dan buruk.
Peranan piwulang adalah upaya pembelajaran untuk mengasah kemampuan dan mengajarkan kepada manusia untuk selalu memilih perbuatan yang benar dan baik, serta menjauhi yang salah dan buruk.
Namun, dengan bekal itu saja tidak cukup untuk memandu setiap manusia berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Maka, dalam piwulang diajarkan budi luhur yang tecermin dalam perilaku terpuji dalam sikap dan perilaku.
Manusia berbudi luhur tidak hanya memiliki kecerdasan akal dan mampu mengendalikan emosi, tetapi juga sopan santun, memiliki kecerdasan spiritual, dan bekerja secara cerdas.
Piwulang dapat berupa tembang-tembang seperti serat Wulangreh, Wedhatama, dan Tripama. Ada juga bentuk sesanti atau kata mutiara, unen- unen atau ungkapan yang mengandung nilai, keyakinan, kesadaran, pengetahuan yang terejawantahkan dalam perilaku budi luhur.
Baik dalam sikap, perilaku, ataupun tindakan baik dan mulia, tak melanggar norma-norma di dalam masyarakat, serta bertanggung jawab dalam keputusan yang diambil. Misalnya, ungkapan tepa selira, mulat sarira, atau mikul dhuwur mendhem jero.
Dalam ajaran hidup orang Jawa, filosofi di balik kalimat itu bertujuan untuk introspeksi diri dan membangun kehidupan bersama yang rukun, damai, sejahtera. Seperti ungkapan mikul dhuwur mendhem jero. Meski dimaksudkan untuk selalu menghormati orangtua dan pemimpin, tetapi juga tidak membutakan diri untuk menilai perbuatan orangtua dan pemimpin.
Orangtua dan pemimpin memiliki kewajiban untuk melakukan perbuatan yang baik dan mengaktualisasikan perilaku budi pekerti luhur. Namun, orangtua dan pemimpin yang tak memiliki budi luhur namanya bukan orangtua dan bukan pemimpin. Di sinilah budaya kritik terhadap seorang pemimpin yang tidak amanah juga tertanam dalam falsafah budaya Jawa.
Secara sosiologis, ajaran dan pendidikan moral seperti itu hidup dalam memori kolektif masyarakat. Tidak hanya masyarakat Jawa, tetapi juga masyarakat Indonesia lain.
Di era sekarang ini, kearifan lokal seperti itu penting untuk ditanamkan dan diinternalisasikan kepada generasi muda melalui muatan lokal di sekolah-sekolah sebagai bentuk pendidikan budi pekerti, yang metode penyampaiannya perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Kekuasaan dan kepemimpinan
Ungkapan yang disampaikan Presiden Jokowi tentang lamun siro sekti, ojo mateni dipengaruhi oleh konteks kesadaran dan memori kolektif sebagai pemimpin yang dilahirkan dari ”ibu kandung” budaya Jawa. Ungkapan yang diambil dari falsafah Jawa ini bukan berarti bahwa ia ingin bertindak seperti raja-raja Jawa dulu dengan kekuasaannya yang tak terbatas. Justru ungkapan itu mengingatkan kita bahwa kekuasaan itu terbatas, tidak absolut.
Politik sendiri memang terkait budaya dan identitas. Setiap pemimpin politik akan membawa identitas masing-masing. Identitas yang tidak terkelola dengan baik, dan tak ada struktur politik yang membatasi kekuasaannya, bisa mengakibatkan sistem politik yang terbentuk seperti zaman Orde Baru yang merefleksikan kekuasaan tradisional Jawa. Namun, gerakan mahasiswa telah mereformasi sistem politik lama itu dengan sistem politik demokratis seperti sekarang.
Menurut pakar politik Ben Anderson (1986: 50), kekuasaan dan kepemimpinan adalah dua hal saling terkait. Kekuasaan itu akibat sekuler dari peristiwa politik sebagai hubungan antarmanusia yang dibingkai secara moral lewat kebijakan seorang pemimpin.
Maka, dari sisi moral, kekuasaan tak boleh sewenang- wenang. Kekuasaan butuh kepemimpinan moral yang bisa memahami dan mendengar orang lain. Sementara kepemimpinan juga butuh moral yang dapat membimbing kekuasaannya.
Dalam perspektif ini, ungkapan lamun siro sekti, ojo mateni sebenarnya juga adalah pesan moral Presiden Jokowi sebagai pemimpin yang memegang kekuasaan tertinggi di republik ini untuk senantiasa menjaga moralitas kekuasaannya agar tak ia gunakan secara sewenang-wenang. Inilah fondasi moral yang mendasari kepemimpinan Jokowi dalam memimpin negeri ini.
Prinsip kepemimpinan yang ia ambil dari falsafah dan ajaran moral tentang kepemimpinan yang hidup dalam alam memori kolektif masyarakat Jawa.
Dalam konteks politik hari ini, ungkapan itu juga menunjukkan karakter kepemimpinan Jokowi sebagai solidarity maker, pemimpin yang berjiwa merangkul dan menyatukan.
Meski terpilih kembali sebagai presiden, ia tak merendahkan yang dikalahkan. Karakter kuat sebagai pemimpin solidarity maker juga ditunjukkan dalam kebijakan pembangunannya dengan visi Indonesia-sentris, bukan Jawa- sentris lagi.
Transformasi pendekatan pembangunan ini, di satu sisi, dapat dianggap sebagai revolusi untuk membenahi warisan praktik pembangunan yang selama ini menempatkan daerah sekadar bingkai dari kekuasaan yang sentralistik.
Di sisi lain, meski berlatar belakang Jawa, dengan pendekatan pembangunan Indonesia-sentris, Presiden Jokowi hendak menjawab fakta bahwa Indonesia bukanlah identik dengan Jawa. Jawa hanya sebagian dari pulau besar wilayah Indonesia.
(Eko Sulistyo ; Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden)