Terancam
Samuel Mulia ;
Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
|
KOMPAS, 19 Juni 2016
Teman saya punya usaha rumah makan. Berlokasi
tidak jauh dari sebuah rumah makan lainnya. Nah, rumah makan lainnya ini
merasa tidak senang dengan kehadiran rumah makan teman saya itu. Padahal
teman saya tak pernah menganggap ia sebagai pesaingnya.
Yaah. namanya manusia tentu berbeda-beda,
bukan? Tak hanya merasa tidak senang, tetapi mereka juga acap kali mendekati
rumah makan teman saya itu untuk melakukan pengecekan ramai tidaknya
pengunjung yang datang.
"Mengapa kalian gak bisa buat yang kayak
gini?"
Setelah mendengar ceritanya itu, di dalam
mobil yang mengantar saya kembali ke kantor setelah makan siang di rumah
makan teman saya yang nikmat itu, saya mulai kembali pada kenangan masa lalu
saat pertama kali membuka usaha majalah.
Tak berbeda dengan pemilik rumah makan yang
merasa tersaingi itu, saya juga melakukan tindakan yang sama. Tidak datang
mengitari kantor mereka yang saya anggap pesaing, tetapi mengecek rubrikasi
di dalam majalah yang mereka terbitkan.
Singkat cerita, setiap bulan saya seperti
cacing kepanasan. Saya mudah kesal di ruang rapat dan selalu menyuarakan
pertanyaan yang sudah saya pastikan memekakkan gendang telinga staf saya
"Mengapa kalian gak bisa buat yangkayak gini? Mengapa kalian gak bisa
dapat sponsor yang sama?"
Dan dilanjutkan dengan sejuta mengapa ini dan
mengapa itu. Saya yakin staf saya hanya tertawa gelak melihat pimpinan yang
tak percaya diri, yang panikan hanya karena toko sebelah memiliki
keberuntungan yang berbeda.
Kemudian datanglah masanya saya kelelahan
karena kepanikan yang tak masuk akal. Lelah bukan karena fokus kepada apa
yang saya lakukan, tetapi fokus kepada pesaing. Maka seperti biasa, ketika
Anda kelelahan, Anda menyediakan waktu untuk beristirahat.
Saya mengambil waktu rehat dari kepanikan dan
rasa iri hati plus sakit hati, dan kemudian memutuskan untuk berkonsentrasi
penuh pada usaha saya sendiri. Saya harus akui, sekarang saya berbahagia,
bahkan ketika diterpa gosip bahwa usaha saya bangkrut.
Saya harus akui karena fokus, saya
bersukacita, saya bisa melihat segala kekurangan dan kelebihan dalam
perusahaan sehingga kemudian ditata sesuai dengan solusi yang tidak didasari
dengan kepanikan dan rasa dendam.
Lembah kegelapan
Masih dalam perjalanan kembali ke kantor, saya
tersenyum membayangkan belingsatannya pesaing rumah makan teman saya itu.
Saya tersenyum tidak untuk mencibir, tetapi tersenyum membayangkan mereka
sedang melewati sebuah periode yang gelap, yang pada suatu hari akan datang
masanya mereka akan kelelahan, dan semoga setelah itu, mereka bangkit setelah
raibnya rasa terancam dan iri hati.
Sebab, sudah saya alami, bahwa berjalan dalam
lembah kegelapan yang membutakan tak akan membuat saya berbahagia. Ketidakbahagiaan
itu tak akan menghasilkan apa-apa kecuali perasaan tertekan. Apa yang
diharapkan seseorang kalau usahanya dijalani dengan perasaan tertekan? Dan
sedihnya tertekan karena dirinya sendiri.
Karena bahagia, maka sekarang saya tak lagi
melihat perusahaan lain sebagai pesaing. Saya bahkan mengundang mereka yang
dahulunya saya anggap sebagai pesaing untuk datang menghadiri acara yang saya
buat agar saya bisa membagi rasa bahagia saya kepada mereka.
Saya tak pernah merasa terancam karena pesaing
saya tahu rahasia dapur saya. Teman saya bercerita kalau ia diusir dari rumah
makan yang terancam itu. Padahal, sebelum memiliki rumah makan, teman saya
itu sudah berkali-kali makan di tempat itu.
Mendengar cerita pengusiran itu, saya sungguh
bersyukur saya tak lagi berkonsentrasi pada perasaan terancam dan berjalan
dalam lembah kegelapan. Persaingan itu bukan untuk mengancam, persaingan itu
memacu seseorang. Persaingan itu tidak dibuat untuk menjadikan seseorang
menjadi jahat, tetapi untuk menjadikan orang melihat ke dalam dirinya sendiri
apa sesungguhnya kekuatan mereka.
Karena saya ini kok percaya, kalaupun resep
nasi goreng yang baku diberikan kepada beberapa orang, hasil dan rasanya pun
tak akan sama. Maka dari itu saya mulai berpikir, mungkin ketika seseorang
ingin membuat usaha, hal pertama yang mereka harus lakukan bukanlah
mendatangi kalkulatornya dan ahli keuangan untuk membuat sebuah rencana
keuangan yang tokcer.
Mungkin hal pertama setelah punya impian atau
cita-cita, maka seseorang sebaiknya mengevaluasi kekuatan mental dan fisiknya
untuk menggapai cita-cita itu. Kekuatan mental itu bukan diperuntukkan untuk
memenangkan peperangan atas pesaing. Kekuatan mental itu untuk menjaga agar
kekotoran tidak leluasa masuk ke dalam pikiran yang bisa jadi mengubah pengusaha
yang baik pada awalnya, menjadi begitu bengis pada akhir usahanya.
Usaha yang besar dan sukses seyogianya
dibangun dengan rasa cinta, rasa bahagia dan percaya diri. Apalah gunanya
seorang pengusaha bisa merasa menang atas pesaingnya, tetapi ia tak bisa
memenangkan ketakutan di dalam dirinya sendiri? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar