”Anger Management”
Kristi Poerwandari ;
Penulis Kolom PSIKOLOGI Kompas
Sabtu
|
KOMPAS, 18 Juni 2016
Belum lama ini
diberitakan mengenai guru SD yang menggunting rambut siswanya akibat tiga
kali peringatannya untuk memotong rambut diabaikan. Orangtua siswa yang tidak
terima mendatangi rumahnya dan membalas menggunting rambut guru itu. Orangtua
itu akhirnya dilaporkan dan ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.
Banyak lagi cerita
lainnya dalam keseharian hidup kita yang menunjukkan ada orang-orang yang
mengalami kesulitan mengendalikan diri khususnya mengelola emosi marah. Rasa
marah dapat membuat orang memaki dengan kasar, menghancurkan pintu kaca,
menganiaya, bahkan menghilangkan nyawa orang lain.
Interpretasi atas peristiwa
Albert Ellis dalam
teori klasiknya (1975) mengungkapkan bahwa reaksi emosional dan perilaku
manusia dipengaruhi bukan oleh peristiwa yang dialami, melainkan oleh
interpretasi (pemaknaan)-nya terhadap peristiwa itu. Oleh karena itu, orang
yang berbeda dapat bereaksi berbeda terhadap peristiwa yang sama. Ellis
menamakan gagasannya ini sebagai teori ABC, yaitu bahwa suatu peristiwa (A)
akan mengaktifkan interpretasi kita (B) terhadap peristiwa tersebut, yang
selanjutnya akan menggerakkan konsekuensi (C) berupa perasaan sikap ataupun
perilaku kita.
Bayangkan seorang anak
yang harus berjalan kaki selama 20 menit ke sekolah (A). Ia memaknai tindakan
berjalan kaki itu melelahkan atau tidak menyenangkan (B). Akibatnya ia akan
menggerutu sepanjang jalan atau bahkan menolak untuk bersekolah (C). Bedakan
dengan anak lain yang harus berjalan kaki selama 20 menit menuju sekolah (A).
Ia memaknai tindakan berjalan kaki itu menyehatkan atau bahkan menyenangkan
karena dapat melihat pemandangan sekitar (B). Ia akan berjalan kaki dengan penuh
semangat (C).
Pandangan atau cara
kita memaknai sesuatu akan menentukan tindakan selanjutnya. Orang yang
memukul atau menganiaya bertanggung jawab atas tindakannya. Tidak ada alasan
baginya untuk membenarkan tindakannya. Contoh dalam kehidupan perkawinan: Ani
mengatakan kepada suaminya, ”Anak-anak sudah diminta gurunya untuk segera
melunasi uang sekolah.” Adi, suami Ani, memaknai ucapan itu sebagai desakan
atau bahkan penghinaan terhadap penghasilannya yang kurang memadai. Adi lalu
memukul Ani sebagai balasan atas ”penghinaan” yang dianggapnya telah
dilakukan istrinya.
Bedakan dengan
pasangan Ina-Ino. Ina berkata, ”Anak-anak sudah diminta gurunya untuk segera
melunasi uang sekolah.” Ino, suami Ina, memaknai ucapan Ina sebagai
kenyataan/fakta yang harus dihadapi. Ia lalu berpikir mencari penghasilan
tambahan. Jawab Ino, ”Doakan saya bisa bekerja lebih keras lagi agar cepat
mendapatkan uang untuk membayar uang sekolah anak-anak.”
Refleksi diri
Perilaku tak
terkendali dapat bereskalasi dengan dampak sangat fatal. Dalam keadaan marah,
kita sebaiknya tidak tergesa-gesa bertindak. Kita justru perlu mengambil
napas panjang demi memberikan kesempatan kepada diri untuk berpikir. Apa yang
mendasari perasaan marah saya? Pesan apa yang akan diterima oleh orang lain
dari tindakan yang saya lakukan? Apakah tindakanku akan lebih banyak
berdampak positif atau negatif?
Bagaimanakah orangtua
atau orang-orang dewasa di sekitar kita (saat kita kanak) memberikan contoh
mengenai bagaimana mengelola kemarahan? Apakah mereka memberikan contoh bahwa
konflik dapat ditangani melalui kekerasan? Apakah mereka mendidik anak
melalui banyak kemarahan? Model peran mungkin adalah orangtua, anggota
keluarga, guru, pelatih, tetangga, teman sebaya, atau siapa pun yang
memberikan kesan cukup besar dan memengaruhi perilaku kita. Kita perlu
merenung: apakah akan melanjutkan cara-cara mereka atau mengubahnya agar anak
dan pasangan kita tidak terluka?
Kita juga perlu
meneliti dan jujur mengenai diri sendiri: kapan merasa marah? Dalam
kesempatan (untuk persoalan) apa saja? Kepada siapa? Apa yang dirasakan tubuh
ketika rasa marah demikian memuncak? Apakah darah terasa naik ke kepala,
tangan mengepal, dan kemudian badan dan tangan bergerak untuk menghantam?
Analisis diri
diperlukan untuk mampu secara tepat mengambil ”time out”. ”Time out” adalah
tindakan meninggalkan situasi (konflik) begitu kita merasakan kemarahan yang
intens dan nyaris tak terkendali. Tujuannya untuk menghentikan peningkatan
kemarahan agar kita dapat berpikir jernih dan terhindar dari melakukan
tindakan melukai atau yang akan kita sesali kemudian.
Kapan kita harus
mengambil ”time out”? Secepatnya begitu kita mengenali kemarahan (diri
sendiri atau orang lain) makin meningkat. Kita dapat membuat daftar
”petunjuk” atau ”tanda kemarahan” yang menyadarkan kita mengenai waktu yang
tepat untuk mengambil ”time out”. Untuk keamanan, sebaiknya kita tidak pergi
menyetir mobil, minum alkohol, menggunakan obat, atau berkumpul dengan orang
lain yang akan membuat emosi kita makin panas.
Kita memiliki pilihan
untuk berperilaku pasif, agresif, atau asertif. Sikap pasif membuat diri
tidak nyaman dan hak kita mungkin terlanggar oleh orang lain. Bersikap
agresif juga berefek buruk dan melukai orang lain. Karena itu, berkomunikasi
asertif perlu dilatihkan agar kita dapat menyampaikan perasaan dan pandangan
secara terbuka, jujur, tetapi tetap santun.
Orang yang ”besar
ego”-nya mungkin akan sulit mengambil ”time out” karena sibuk dengan
gengsinya, merasa diri kalah apabila ia pergi, serta selalu ingin menjadi
orang yang ”mengambil kata terakhir”. Tetapi, orang yang besar hati dan besar
jiwa akan paham bahwa kadang mundur dan diam itu menjadikannya pribadi yang
lebih bijaksana.
Pikir dahulu
pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Dalam situasi hidup yang sudah cukup
sulit dan rumit seperti sekarang, semoga kita dapat menciptakan kesejukan
untuk lingkungan kita dan menjadi contoh yang baik bagi generasi muda dan
anak-anak kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar