|
TAHUN baru
Hijriah merupakan momen pergantian masa yang mengacu kepada perjalanan (sirah)
Nabi Muhammad SAW dalam mengemban ajaran Islam.
Migrasi Nabi
Muhammad bersama pengikutnya dari Mekkah ke Madinah menjadi babak awal
konsolidasi peradaban yang menentukan langkah berikutnya.
Dalam
buku Membaca Sirah Nabi Muhammad, Quraish Shihab menguraikan tiga momen
penting dalam proses hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad.
Pertama, Nabi
selalu mengawali langkah dengan perencanaan dan perhitungan secara matang
sebagai bentuk manifestasi usahanya (ikhtiyar). Kedua, Nabi menganjurkan sikap
totalitas dalam melakukan perjuangan tanpa mengharap pemberian dan imbalan apa
pun. Ketiga, Nabi menegaskan semangat kolektif untuk mencapai cita-cita
bersama. Persatuan dan kesatuan modal utama yang selalu ditegakkan.
Perjuangan kemanusiaan
Ketiga momen
tersebut menjadi pelajaran penting bagi kita untuk menentukan arah perjuangan
ke depan. Beberapa nilai universal seperti model ikhtiyar yang
rasional, berjuang tanpa pamrih, dan semangat persatuan patut dijadikan rujukan
agar perjuangan yang akan kita lakukan tidak terjebak dalam cara pandang dan
cara tindakan yang parsial dan artifisial.
Banyak
sejarawan mengungkap bahwa perjuangan yang dilakukan Nabi pada masa hijrah
adalah untuk mengemban misi kemanusiaan melalui tiga aspek: pembangunan masjid,
menjalin persaudaraan, dan menggalang kerukunan.
Masjid yang
didirikan Nabi bukan sekadar untuk kepentingan ibadah shalat. Juga tempat
musyawarah dan konsolidasi untuk menyelesaikan problem kemanusiaan. Bahkan,
masjid ketika itu menjadi tempat penampungan kaum miskin yang tidak mempunyai
tempat tinggal.
Persaudaraan
yang dijalin oleh Nabi tidak hanya melibatkan internal kaum Muslim. Namun,
semangat persaudaraan itu berkembang sebagai basis jalinan solidaritas
antargolongan untuk saling menjaga kelestarian perniagaan, ketersediaan pangan,
menghargai perbedaan, dan—meminjam istilah Emile Durkheim—solidaritas organik
lainnya yang meniscayakan kebersamaan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar.
Kerukunan yang
ditegaskan Nabi tersebut untuk menyerukan semangat tunggal ika di tengah
kebinekaan keyakinan yang terjadi pada masyarakat Madinah. Bahkan, untuk
mengawal komitmen kerukunan tersebut, Nabi merumuskan Piagam Madinah sebagai
asas legalitas untuk meluruskan setiap tindak-tanduk yang dianggap menyimpang
dari prinsip-prinsip kerukunan.
Ketiga aspek
tersebut menjadi modalitas sosial yang dapat menggerakkan laju peradaban
kehidupan masyarakat Madinah hingga mencapai pola hidup yang moderat
(tawassuth), toleran (tasamuh), inklusif (tawazun), dan berkeadilan (i’tidal).
Hal ini tecermin dalam jalinan relasi sosial antara kaum Muhajirin dan Anshar
yang saling menghargai perbedaan pada diri mereka. Semangat persaudaraan dan
kerukunan yang dikukuhkan Nabi, meminjam Robert N Bellah, membentuk system
of belief antarmereka. Dalam perkembangannya, Madinah pun lalu dikenal
sebagai ciri masyarakat yang beradab (civilis/tamaddun).
Momentum perubahan
Dalam
buku The Change, Rhenald Kasali menyatakan bahwa setiap perubahan
membutuhkan energi. Bahkan, keinginan berubah memerlukan langkah perjuangan dan
pengorbanan sejati. Dalam hal ini, hijrah sebagai momentum perubahan harus
dijalani dengan segala konsekuensi agar cita-cita yang telah disematkan dalam
sanubari bisa terwujud sepenuh hati
Sikap totalitas
hijrah yang ditunjukkan Nabi telah jadi bukti sejarah bahwa siapa pun yang
menginginkan kehidupan lebih baik harus melewati masa-masa sulit. Hal ini agar
kegetiran hidup yang merentang di hadapannya tidak hanya dipahami sebagai
ancaman, tetapi disikapi sebagai peluang.
Sebagai
peluang, hijrah mengajak kita untuk menyadari bahwa perjalanan hidup tidak
sepenuhnya datar. Ada beragam lika-liku yang harus dilalui. Maka, perilaku
instan, jalan pintas, serobot, dan semacamnya adalah tindakan yang tak dapat
dibenarkan.
Hijrah sebagai
momentum perubahan yang akan kita lakukan harus menghargai perjalanan waktu
karena memang membutuhkan proses yang sangat panjang. Sebab, di sinilah letak
perjuangan dan pengorbanan kita, yang pada masanya nanti kita akan tumbuh
sebagai manusia yang lebih dewasa.
Sebuah
kedewasaan yang tentu saja tidak hanya merujuk pada sistem senioritas.
Kedewasaan terletak pada kearifan dalam menentukan perencanaan dan pelaksanaan
langkah yang rasional, kearifan dalam melakukan tugas tanpa dipengaruhi oleh
tradisi pemberian, dan kearifan dalam membangun semangat kebersamaan
sebagaimana tecermin dalam perjalanan hijrah Nabi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar