|
HIJRAH
tidak hanya epos kenabian yang mencerminkan gerakan kultural, tetapi juga
sekaligus struktural.
Hijrah sebagai migrasi dari sistem jahiliah (primitif) menuju
ruang bernegara yang berjangkar pada nilai-nilai keadaban. Bukan kebetulan
kalau Yastrib kemudian beralih nama menjadi Madinah. Madinah secara semantik
paralel dengan tamadun yang bermakna peradaban. Konsep masyarakat madani secara
teologis-metafisis mendapatkan pijakannya dari praktik politik kenabian di
Madinah.
Madinah jadi laboratorium untuk menurunkan pesan-pesan
universal firman Tuhan dalam sejarah pengalaman keseharian. Madinah menjadi
sebuah pembuktian bahwa Muhammad SAW bukan hanya ”manusia langit” yang
berbicara persoalan mistis-eskatologis, melainkan juga ”manusia bumi” yang
terlibat aktif menyingsingkan lengan baju menata praksis, mengupayakan hidup
yang menemukan harkatnya. Agama di tangannya bukan sekadar abstraksi
transendensi, melainkan juga aksi humanisasi. Muhammad SAW sebagai nabi
sekaligus penguasa.
Penguasa yang memimpin masyarakat heterogen. Heterogenitas
tidak saja menyangkut kepentingan, tetapi juga keyakinan. Fakta sosial
keberbedaan ini dengan visi kekuasaannya yang jelas tidak menjadi pemantik bagi
mencuatnya konflik, tetapi justru modal sosial dalam membentuk Madinah yang
menjadi role model bagi format negara yang berbasis pada musyawarah
justru di tengah tren kekuasaan yang saat itu didominasi politik dinasti
(kerajaan). ”Musyawarah” untuk membangun ruang publik (public sphere). Mungkin semacam demokrasi deliberatif dalam
perspektif Habermas, yaitu kebijakan-kebijakan penting (perundang-undangan)
dihasilkan dengan mendengar berbagai suara melalui jaring-jaring komunikasi
publik masyarakat sipil.
Melalui traktat politik yang sering disebut ”Piagam Madinah”
spirit toleransi menjadi daulat utama dalam melihat realitas yang majemuk.
Kebebasan agama mendapatkan jaminan konstitusi. Masyarakat lemah dan kelompok
minoritas dilindungi penuh oleh negara. Masa-masa keemasan politik nilai di
Madinah dapat digapai. Salah satu kuncinya karena Muhammad SAW mempraktikkan
keteladanan dalam hal ihwal. Sebut saja, misalnya, tentang kesederhanaan,
asketisme, satunya kata dengan perbuatan. Muhammad SAW tidak memosisikan diri
sebagai ”penguasa”, tetapi lebih sebagai ”pelayan” yang berkhidmat bagi hajat
orang banyak. Sekali pernah ia mendatangi sekelompok sahabatnya sambil bertekan
pada sebatang tongkat. Mereka berdiri menyambutnya. Namun, dia berkata, ”Jangan
kamu berdiri seperti orang-orang asing yang mau saling diagungkan.”
Peralihan
orde
Hijrah dalam konteks negara kita tak ubahnya peralihan orde.
Dan kita telah mengalami empat kali ”hijrah struktural”. Sebut saja terbentang
mulai dari terlepasnya ”negeri kepulauan”, ketika nasionalisme masih dalam
wujud imajinasi, dari cengkeraman kaum kolonial yang dideklarasikan
Soekarno-Hatta atas nama seluruh rakyat pada 17 Agustus 1945; dilanjutkan
hijrah dari sekapan gelap Orde Lama yang dianggap negara terlampau didominasi
persoalan politik dan abai terhadap kesejahteraan umum. Pengkritiknya, Orde
Baru, di senja kala kuasanya harus mengalami nasib serupa, meraih murka anak
negeri karena dipandang tidak saja telah membungkam fitrah kebebasan
berpolitik, tetapi juga sistem ekonomi yang ditawarkannya alih-alih menyalurkan
kemaslahatan malah penuh muslihat: hanya membuahkan takdir masyarakat kian
melata. Terakhir, hijrah menuju zaman Reformasi. Yang terakhir itu orde yang
diidentifikasi penuh ketidakpastian, atau menurut O’Donnell dan Schimitter
sebagai fase ”transisi dari otoritarianisme menuju entah ke arah mana”.
Mungkin benar yang dicatat Kundera, hakikat perjuangan
terletak dari militansi melawan lupa. Lupa ini pula tampaknya yang jadi benang
merah setiap orde yang bikin kita terus jatuh dalam lubang yang sama untuk
kesekian kali. Membuat para penguasa tidak lebih cerdas dari keledai.
Babakan sejarah kekuasaan di republik ini senantiasa berujung
dengan perayaan tata kelola pemerintahan yang menistakan akal budi. Bukan tak
ada pasal (regulasi) yang baik, melainkan soal utamanya ada pada absennya
pribadi-pribadi yang bersedia mengamalkan pasal-pasal itu secara istikamah.
Pribadi dengan karakter ”negarawan” yang rela menunda kesenangan fisik
materialnya demi menyenangkan masyarakat umum. Siap mengorbankan pikirannya dan
melakukan tindakan tak populer atas nama budi luhur tegaknya marwah bangsa. Di
kita malah ketiganya dapat diperankan oleh seorang perempuan misterius: ”Bunda
Putri”.
Yang terasakan hari ini justru kegaduhan kontestasi memburu
rente yang dengan sempurna dilakukan tiga pilar: eksekutif, yudikatif, dan
legislatif. Trias politika yang digali dari Two Treatises of Government-nya John Locke dan Spirits of the Laws-nya Montesquieu
dalam pengalaman bernegara kita bermetamorfosis menjadi trias koruptika. Trias
politika yang mengandaikan checks
and balances karena adanya pembagian kekuasaan antarlembaga tinggi
negara (sparation of power)
Mental
dan fisik
Menilik kondisi bangsa yang masih, meminjam ungkapan Soekarno
”total menjadi negara kuli” (Een natie van koelies, en een koelie onder
de naties), melakukan hijrah baik fisik terlebih mental adalah suatu
keniscayaan. ”Merdeka 100 persen”. Merdeka dari kaum penjajah atau dari hasrat
primitif memburu benda dengan cara korup. Agar selamanya kita tak menjadi ”bangsa wayang”. Wayang dari dalang
bernama neoliberalisme asing atau dalang hawa nafsu yang mengalir dalam tubuh.
Hijrah kenabian adalah hijrah politik bermahkotakan nilai untuk menyambut hidup
yang berporos pada keadaban.
Termasuk kesediaan hijrah dari keberagamaan yang tertutup,
eksklusif, menuju penghayatan iman yang inklusif dan terbuka di mana ”liyan” diposisikan sebagai representasi
Ilahiah dan epifani wajah Tuhan. Lian sebagai modus eksistensial kehadiran kita
dan otomatis harus diperlakukan dengan respek, tulus, amanah, dan penuh
tanggung jawab.
Dengan hijrah, kehidupan bernegara dan pengalaman beragama
ditarik dalam pendulum moderasi untuk membangun kebaikan bersama di atas,
istilah Rawls, bentangan fakta pluralisme yang waras. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar