|
Mendiang Pramoedya Ananta Toer dalam sebuah diskusi di
Surabaya pasca-Reformasi 1998, pernah melontarkan pendapat bahwa sejak zaman
Empu Gandring atau Singosari hingga Indonesia modern, kekerasan akan selalu
melekat setiap menjelang pergantian kekuasaan. Sejak zaman pembunuhan para raja
Singasari, Tragedi 1965, hingga Tragedi 1998, selalu ada kekerasan, kerusuhan,
bahkan pertumpahan darah saat terjadinya pergantian kekuasaan atau
kepemimpinan.
Di level kepemimpinan di daerah, kita bisa menyaksikan
ternyata banyak kekerasan yang muncul akibat pilkada. Misalnya, dalam debat
tiga kandidat Pilkada Kabaupaten Luwu, Sulsel, sudah terjadi bentrok
antarpendukung. Bentrokan baru dapat dikendalikan setelah petugas Brimob dan
TNI AD masuk ke tengah massa, Sabtu (14/9).
Pascaputusan Mahkamah Konstitusi, Sabtu (29/8), yang
meneguhkan keputusan KPUD Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), terjadi kerusuhan
di NTT yang menewaskan tiga orang dan merusak 20 rumah.
Uskup Weetebula, Kabupaten SBD Mgr Edmund Woga CSsR sampai
mengimbau masyarakat di daerah itu untuk lebih proaktif membangun ketenangan
bersama, Selasa (2/9).
Lalu, akibat ketidakpuasan atas hasil rekapitulasi KPUD
dalam Pilkada Probolinggo juga terjadi bentrokan antara massa dengan polisi
sehingga situasi kota sempat mencekam pada Jumat (30/8).
Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Djohermansyah
Djohan, kekerasan pilkada justru cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data Ditjen Otda Kemdagri, rekapitulasi
kerugian pascakonflik pilkada di provinsi maupun kabupaten dan kota menyebutkan,
jumlah korban meninggal dunia 59 orang, korban luka 230 orang, kerusakan rumah
tinggal 279 unit, kerusakan kantor pemda 30 unit, kantor polisi enam unit, dan
kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah 10 unit (situs Kemendagri).
Rekor korban jiwa akibat pilkada pernah tertoreh di Papua.
Sebanyak 57 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka akibat bentrok antarwarga
pendukung kandidat dalam Pilkada di Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya, Papua (Sinar
Harapan, 16/2/2013).
Penyumbang Konflik Terbesar
Penyumbang Konflik Terbesar
Malah pernah ada penelitian yang menyebutkan, pilkada
merupakan penyumbang konflik politik terbesar di Indonesia. Berdasarkan data
kekerasan yang dikeluarkan Institute Titian Perdamaian Jakarta, terdapat 74
insiden atau 12 persen selama tahun 2009.
Hingga bulan Juni 2010, terdapat 117 insiden atau 16 persen
akibat pilkada. Titian juga memaparkan, sampai semester pertama tahun 2010
terjadi peningkatan jumlah insiden konflik dan kekerasan yang cukup signifikan
dibandingkan dengan jumlah total insiden tahun 2009. Total insiden tahun 2009
terjadi 600 insiden, sementara sampai pertengahan tahun 2010 telah terjadi 752
insiden.
Semua kekerasan itu menunjukkan dengan jelas pilkada belum
dipahami dan dimaknai sebagai sarana untuk membangun demokrasi lokal. Pilkada
lebih dimaknai sebagai ajang perebutan jabatan kepala daerah, entah gubernur,
bupati, dan wali kota. Pilkada yang notabene pesta demokrasi justru menjadi
ajang anarki dan kekerasan.
Tentu saja potret semacam itu patut kita sesali. Masalahnya
sekarang adalah bagaimana kita mengantisipasi agar ke depan hal itu tak
terulang lagi. Ini tentu saja bukan hanya tugas aparat keamanan.
Kita semua harus mencari solusi mendasar agar pilkada tak
sekadar menjadi ajang perebutan kekuasaan. Artinya, perlu upaya konkret meletakkan
pilkada dalam konteks pemberdayaan masyarakat daerah (melalui pendidikan
politik) agar dampaknya terhadap demokratisasi lokal sungguh lebih signifikan.
Ajang pilkada langsung memang mengandung risiko atau
tantangan. Tantangan yang paling mencolok sebelum pilkada digelar, yakni
berkaitan dengan mobilisasi politik atas nama etnik, daerah (asli-pendatang),
darah (bangsawan-orang biasa), dan agama yang berdampak negatif terhadap
munculnya konflik horizontal.
Selain itu, masih kerap terjadi politik uang yang sebagian
memanfaatkan APBD serta maraknya kampanye negatif antarpasangan sebelum pilkada
digelar.
Pascapilkada, kecurangan dan manipulasi dalam penghitungan
suara karena komisioner KPUD tidak netral atau pemaksaan kehendak dan
premanisme politik (termasuk di dalamnya tidak siap kalah) kerap memicu
terjadinya kekerasan.
Apalagi bila calon kepala daerah telah mengeluarkan dana
yang besar selama masa kampanye pilkada. Para pendukung calon kepala daerah
yang kalah tidak bisa menerima kekalahannya. Kekecewaan mereka semakin besar
bila dikaitkan dengan munculnya isu kecurangan dari pihak yang memenangkan
pemilihan sehingga kerusuhan pun tak terhindarkan lagi.
Fenomena pilkada dengan segala implikasi negatifnya,
seperti dideskripsikan di atas jelas memberikan petunjuk konkret bagi kita.
Pilkada langsung memang perlu dievaluasi.
Paling tidak jangan sampai pilkada hanya sekadar menjadi
rutinitas hajatan politik, tapi kualitasnya rendah karena dilaksanakan secara
terburu-buru. Jelas perlu kesiapan mental yang cukup, tak hanya bagi KPUD dan
pemerintah daerah, tetapi juga bagi masyarakat, partai politik, dan DPRD.
Diperlukan pula sosialisasi yang cukup baik di tataran
pemerintah lokal maupun masyarakatnya yang notabene adalah pelaksana pilkada.
Tanpa sosialisasi yang cukup, sulit diharapkan pilkada mencapai hasil yang
maksimal.
Dengan sosialisasi yang cukup baik di tataran masyarakat
maupun tataran pemerintah lokal, pemahaman yang memadai tentang pilkada
diharapkan dapat mengurangi bias dan penyalahgunaan selama pelaksanaan pilkada.
Artinya, massa atau masyarakat lokal jangan hanya
dimobilisasi untuk pemenangan pasangan calon tertentu saja. Namun, lebih
penting dari itu partai politik dan elite politik ikut bertanggung jawab dalam
kegiatan pendidikan politik.
Tak kalah pentingnya juga adalah sosialisasi di tubuh KPUD,
disertai sikap objektif para komisioner,
mengingat sudah 81 komisioner KPUD
dipecat DKPP. Dengan cara itu, kita berharap mendapatkan manfaat melalui
pilkada langsung dan yang penting kekerasan bisa dicegah.
Pasalnya, kekerasan dalam bentuk apa pun, dilakukan siapa
pun, jelas mendegradasi proses demokratisasi yang tengah kita bangun. Tentu
setiap bentuk kekerasan juga melecehkan martabat luhur manusia akibat berahi
politik berlebihan tanpa disertai akal sehat. Jabatan kepala daerah bukanlah
tujuan yang harus diraih dengan menghalalkan segala cara.
Mekanisme Lama dan Evaluasi
Kalau tak ada manfaatnya, mungkin ada baiknya kembali ke
mekanisme lama, yakni pemilihan tak langsung, ketika kepala daerah dipilih
secara tidak langsung lewat DPRD. Menurut Prof HM Noorsanie Darlan dari
Universitas Palangkaraya, jika dikalkulasi, pilkada langsung ternyata lebih
banyak mudarat daripada manfaatnya karena pilkada langsung mungkin tak cocok
dengan nilai budaya kita.
Lewat pilkada tak langsung, biayanya juga bisa murah. Tidak
semahal pilkada langsung di negeri ini. Menurut Mantan Menkeu Agus Martowardoyo
yang kini jadi Gubernur BI, total biaya pilkada di negeri ini sekitar Rp 20
triliun atau rata-rata per pilkada Rp 5 Miliar. Untuk Pilgub Jatim 29 Agustus
saja, biayanya hampir Rp 1 triliun. Politik biaya tinggi inilah yang konon
menjadi salah satu pemicu kekerasan dalam pilkada.
Yang mengecewakan meski biayanya mahal, belum tentu pilkada
menghasilkan kepala daerah yang memenuhi ekspektasi publik. Malah sebaliknya,
kini kian banyak kasus kepala daerah yang terjerat
hukum. Pada 2011, kepala daerah yang terjerat hukum berjumlah 173 orang, pada 2012 naik menjadi 235, sedangkan pada 2013 sampai pertengahan September sudah 304 orang.
hukum. Pada 2011, kepala daerah yang terjerat hukum berjumlah 173 orang, pada 2012 naik menjadi 235, sedangkan pada 2013 sampai pertengahan September sudah 304 orang.
Nah, jika pilkada langsung hanya menghasilkan kekerasan dan
kepala daerah yang tidak bermutu, jelas pemerintah dan DPR perlu segera
melakukan evaluasi total. Harus ada langkah konkret menyikapi hal ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar