|
Negeri agraris ini, sekarang banyak mengimpor produk
pertanian dari luar negeri.
“Barangsiapa mengurangi penghasilan makanan, misalnya
dengan mempersempit sawah atau membiarkannya terbengkalai apa yang dapat
dijadikan makanan, atau melalaikan binatang piaraan apa pun, kemudian hal itu
diketahui oleh orang banyak, orang yang demikian itu diperlakukan sebagai
pencuri dan dikenakan pidana mati. Demikianlah ajaran sastra” (perundang-undangan Agama, Kerajaan Majapahit Pasal 261).
Pasal dari kerajaan Majapahit di atas dapat diambil sebagai
warisan prinsip kebesaran Nusantara di tengah kondisi pertanian yang
karut-marut ini.
Kebesaran era Nusantara seakan mendesakkan urgensi
pelaksanaan prinsip kedaulatan pangan bagi sektor pertanian. Kini, setelah
melewati tujuh abad kebesaran Nusantara, kondisi pertanian Indonesia
morat-marit, kecemasan demi kecemasan menghinggapi dunia pertanian kita.
Demi ketersediaan pangan jangka pendek, pemerintah sibuk
memainkan peran impor. Mungkin saat ini julukan negeri agraris harus
dipertanyakan ulang kepada bangsa kita. Pada 2013 ini, krisis kedelai
lokal masih ditanggapi pemerintah secara reaksioner jangka pendek, dengan
terus-menerus mengimpor hingga 1,1 juta ton.
Sejumlah kebutuhan atas bahan pangan seperti daging sapi,
beras bahkan bawang dan cabai harus dilalui lewat mekanisme impor. Hal ini
sungguh menyesakkan dada kita di mana kedaulatan di bidang pangan ternyata
masih jauh dari harapan.
Persoalan pangan harus dilihat dari akar persoalan dengan
tidak mengabaikan faktor utama aktor pertanian yaitu petani. Akses petani
terhadap tanah semakin timpang, laju guremisasi semakin tak terhindarkan.
Sensus pertanian tahun 1993 mencatat, jumlah petani gurem
(penguasaan kurang dari 0,5 ha) 52 persen dari total petani. Pada sensus
pertanian tahun 2003, jumlahnya naik menjadi 53,5 persen. Pada pendataan usaha
tani pada 2009, jumlahnya naik lagi menjadi 54,2 persen.
Arus konversi lahan semakin sulit untuk dihindari. Dalam
konteks Pulau Jawa, karena skema dalam MP3EI menuntut Pulau Jawa menjadi
kavling atau koridor bidang jasa dan industri. Program yang jauh dari
penyelesaian akar persoalan ini, bukan saja tak bisa mengobati kekhawatiran
akan tercerabutnya karakter agraria (sumber kekayaan alam), namun akan melahirkan
beragam persoalan baru.
Namun, dampak negatif paling nyata adalah konflik agraria
yang merebak di seluruh penjuru Tanah Air. Data dari Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) mengatakan mulai 2004 hingga akhir 2012 telah terjadi 618 konflik
agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan areal konflik seluas
2.399.314,49 hektare, di mana ada lebih dari 731.342 keluarga harus menghadapi
ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan.
Ketidakberpihakan pemerintah kepada petani yang tengah
berkonflik ditunjukkan melalui tindakan intimidasi dan kriminalisasi, serta
pemilihan cara-cara represif oleh aparat kepolisian dan militer dalam
penanganan konflik dan sengketa agraria mengakibatkan 941 orang ditahan, 396
mengalami luka-luka, 63 orang di antaranya mengalami luka serius akibat peluru
aparat, serta meninggalnya 44 orang di wilayah-wilayah konflik tersebut.
Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini melansir data
sementara bahwa jumlah rumah tangga petani menurun hingga 5,04 juta
dibandingkan dengan tahun 2003. Pada 2003 jumlah petani sebesar 31,17 juta
rumah tangga, sedangkan kini (2013) jumlahnya hanya tinggal 26,13 juta, atau
turun 16 persen per 10 tahun.
Data BPS sebenarnya bukan fakta mengejutkan, profesi petani
tak lagi menjadi profesi yang menjanjikan kesejahteraan, bahkan identik dengan
kemelaratan, kemiskinan dan penuh ketidakpastian.
Jika rata-rata laju penurunan rumah tangga petani 1,75
persen per tahun (tetap) maka dalam jangka waktu 57 tahun ke depan jumlah rumah
tangga petani sama dengan nol. Namun, jika laju penurunan jumlah rumah tangga
petani meningkat tiap tahun maka kurang dari 57 tahun lagi petani Indonesia
punah.
Pada sisi lain terjadi pertumbuhan pesat perusahaan
pertanian hingga 36,77 persen dibandingkan dari 2003. Korporasi pertanian berkembang
pesat hingga 5.486 perusahaan pada 2013 atau bertambah 1.475 perusahaan
dibandingkan 2003. Pembacaan atas data BPS tersebut harus ditempatkan pada
sudut baca yang tepat.
Hal ini terkait dengan arah program kebijakan nasional ke
depan. Namun, data itu sulit membuat kita mengelak bahwa arah transformasi
pertanian kita bukan lagi berorientasi pada pemberdayaan rumah tangga petani,
tapi ke arah industrialisasi pertanian berwarna korporasi. Transformasi yang
sangat mungkin terjadi adalah petani bertanah ke arah buruh tani (hanya menjual
tenaga) yang siap diserap sektor industri.
Kita lagi-lagi tak boleh lupa bahwa pembangunan pertanian
tak akan berhasil bila melalaikan faktor petani. Berdasarkan data yang dilansir
FAO, investasi di negara berkembang dan sedang disumbangkan oleh investor dalam
negeri yaitu petani dengan investasi pada aspek on farm investment capital
mencapai US$ 140 miliar atau sekitar 71 persen dari keseluruhan investasi
pertanian. Oleh karena itu, kebijakan pertanian harus menempatkan petani
sebagai faktor sentral dan tentu berpihak pada petani.
Pengabaian faktor petani karena mengejar faktor
produktivitas dan efisiensi harga, potensial mendorong lahirnya kebijakan yang
mendorong kemusnahan petani Indonesia. Praktik-praktik perampasan tanah karena
pola pembangunan yang tidak berdasarkan keadilan sosial, konflik agraria,
kekerasan terhadap petani penggarap adalah buah dari lahirnya kebijakan
nasional yang jauh dari semangat pemberdayaan petani.
Sulit untuk mengelak bahwa politik agraria nasional saat
ini justru berjalan menyimpang dari semangat UUPA 1960 dan TAP MPR No IX Tahun
2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Turunnya angka rumah tangga petani dapat diartikan sebagai
hilangnya produsen pangan yang sekaligus berubah peran menjadi konsumen. Hal
ini patut dikhawatirkan karena kemampuan rakyat dalam melakukan kerja produksi
pertanian hilang.
Jika kemampuan suatu negara dalam memproduksi pangan hilang
maka ke depan Indonesia akan dilanda krisis pangan. Dalil-dalil yang
membenarkan impor tak lagi bisa ditoleransi karena Indonesia akan benar-benar
menyerahkan leher kedaulatannya pada asing.
Niatan pemerintah untuk membangun industrialisasi pangan
skala luas dengan pintu terbuka pada pihak asing dapat dideteksi lewat rencana
investasi China dan Malaysia membangun areal sawah di Subang. Dengan dana
investasi US$ 2 miliar (Rp 20,3 triliun) bahkan bisa berkembang mencapai US$ 5
miliar (Rp 50,8 triliun), perusahaan China berharap bisa memasuki pasar
berkembang di Tanah Air sekaligus memenuhi pasokan beras domestik.
Pembukaan areal pangan skala luas berbasis korporasi dapat
dievaluasi dari pelaksanaan MIFEE (Merauke Integrated Food Estate and
Energy), pada praktiknya MIFEE gagal menyejahterakan petani lokal, bahkan
memperluas penderitaan masyarakat adat dan kelestarian lingkungan.
Industrialisasi pangan dengan pembukaan areal pangan skala
luas, bukanlah opsi yang bijak bagi melimpahnya tenaga kerja pertanian
Indonesia. Setidaknya ada 26,13 juta rumah tangga petani (2013) yang masih
konsisten mau dan mampu mengelola lahan pertanian dengan membudidayakan
tanaman.
Mengundang korporasi bisnis untuk membangun sektor
pertanian akan membuat tenaga kerja pertanian Indonesia terserap rendah.
Malapetaka justru diprediksi akan terjadi. Jika tenaga kerja pertanian tidak
terserap penuh maka petani yang jumlahnya masih 26,13 juta akan semakin
berkurang. Ini karena pertanian berbasis industri hanya memerlukan 1 orang/ha
dengan bantuan mekanisasi pertanian yang modern.
Efek domino yang akan dihadapi selanjutnya adalah petani
yang tadinya mampu menghasilkan pangan untuk keluarga sendiri (subsisten) akan
beralih menjadi konsumen dan artinya lebih banyak lagi “mulut” yang harus
disediakan kebutuhan pangannya.
Persoalan ini bukanlah sepele karena dapat mendorong
percepatan terjadinya krisis pangan di Indonesia. Khawatirnya, Indonesia akan
dibentuk hanya benar-benar menjadi negara konsumen pangan, konsumen pangan di
tanah airnya sendiri.
Masa krisis di bidang pangan ini harus menjadi perhatian
khusus seluruh elemen bangsa. Di tengah hiruk-pikuk tahun politik menjelang
Pemilu 2014, agenda pembaruan agraria sebagai jalan satu-satunya menyelesaikan
krisis pangan dan marginalisasi petani harus menjadi agenda nasional yang tidak
bisa ditunda-tunda lagi.
Indonesia harus segera menjalankan pembaruan agraria sejati
demi mengatasi ketimpangan penguasaan sumber kekayaan alam, upaya penyelesaian
konflik agraria, melindungi petani marginal dan melestarikan kemampuan rakyat
membudidayakan tanaman.
Tepat kiranya momentum politik 2013 yang bebarengan dengan
53 tahun UUPA para calon pemimpin nasional menyadari bahwa agenda nasional yang
harus dituntaskan segera adalah agenda pembaruan agraria yang mampu menjadi
jalan menuju kedaulatan dan kemerdekaan sejati.
Kita tak boleh meninggalkan sejarah yang diwariskan para
pendiri bangsa yang mewariskan pada kita UUPA 1960 sebagai dasar penataan
struktur penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria
(terutama tanah) agar memberikan rasa adil bagi rakyat melalui program land
reform. Tak bisa mengulur-ulur waktu lagi, pembalikan krisis haruslah dimulai.
Geertz berujar bahwa Indonesia pernah mempunyai kondisi
yang memadai untuk tinggal landas, tetapi momentum itu tidak dimanfaatkan. Jika
suatu momentum terlewatkan maka dibutuhkan beberapa generasi untuk dapat
memperoleh momentum serupa (Higgins,
1963: hal.ix).
Jika momentum krisis dan tekanan berat terhadap persoalan
pangan tidak diatasi dengan kemauan politik tinggal landas, bukan tidak mungkin
kita tidak akan pernah mendapatkan kesempatan tinggal landas karena laju
kepunahan petani semakin dekat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar