|
Dua trending topics
di berbagai media sosial belakangan ini adalah tentang seorang bocah, AQJ, yang
menyebabkan kecelakaan hebat di jalan tol, dan seorang pria, Vicky Prasetyo,
yang melahirkan istilah ”vickiisme”. Hal itu menggambarkan satu latar belakang
yang berwajah sama: kegagalan sistem dan model pengajaran dan/atau pendidikan
kita.
Ditimbang dari usia, Vicky yang lahir tahun 1984 atau sekitar
15 tahun sebelum Reformasi jelas bentukan kebijakan politik dan akademik rezim
Orde Baru. Bagian dari mereka, yang berulang kali saya tuliskan, menjadi korban
terbesar kepemimpinan (alm) Soeharto yang mendangkalkan atau memperkecil ruang
imajinasi anak-anak dan remaja lewat represi yang dilakukannya via pendidikan
atau model pengajaran secara luas. Sementara AQJ, anak siapa pun dia,
sebetulnya ”anak” zaman atau kebudayaan ”kacau” yang dilahirkan Reformasi 1988.
Satu zaman yang membuat negeri ini beserta rakyat semestanya, terutama anak
muda dan remaja, kehilangan orientasi atau kepekaan spasial (dislokasi)-nya. Satu
cacat yang ternyata juga menimpa elite, bahkan mereka para pengambil kebijakan,
khususnya kebijakan pendidikan.
Gejala vickiisme sebenarnya bukan hal baru. Bahkan, sejak
lepas dari penjajahan, sebagian masyarakat kita sudah terkena virus
”ngintelektual” itu. Sebuah penyakit yang umum terjadi ketika modernisme atau
zaman rasional masuk ke dalam komunitas atau negeri yang sebelumnya dikenal
sangat tradisional.
Gejala menggunakan istilah atau kata-kata asing (secara umum
lebih ditujukan pada beberapa bahasa intelektual dari belahan Barat: Inggris,
Perancis, dan Jerman serta Latin) secara keliru, baik dalam makna, sejarah
etimologis, maupun pemanfaatannya dilakukan kaum medioker atau pseudo-intellectuals di kalangan
para cendekiawan dan seniman. Hingga 1980-an, misalnya, sering saya terhenti
mengikuti diskusi apa pun ketika tak dapat jawaban adekuat hanya dalam
persoalan terminologis.
Pada umumnya seniman dan cendekiawan di atas tahu istilah
yang sesungguhnya bagian dari bahasa ilmu/akademik itu, dari media massa atau
buku-buku yang tak pernah menjelaskan azbabun nuzul dari terma atau
istilah itu. Mereka menjumputnya begitu saja, memadankannya dengan kata atau
terma lain, seperti padan kata ”arkeologi panggung” dan ”ideologisasi tradisi”,
memanfaatkan atau mengaplikasikannya secara sembrono untuk sembarang kasus,
hanya untuk terlihat ngilmiah, ”cerdas”, atau nginternasional.
Kolom-kolom opini di media massa berwibawa kala itu pun tak luput dari gejala
ini.
Nama-nama ternama, bahkan hingga hari ini, banyak menjadi pelaku dari
kekeliruan terminologis ini.
Apa yang saya teliti dalam riset pascasarjana saya di
Perancis dan saya tulis dalam sebuah buku tentang postmodernisme, misalnya,
sebenarnya semata hanya mengungkap bagaimana intelektual-intelektual hebat kita
kala itu melakukan kekeliruan yang sama dalam memahami, menggunakan
istilah-istilah, dan mengaplikasikan apa yang kita sebut ”postmodernisme” itu.
Vickiisme sebenarnya adalah bagian dari sejarah intelektual kita, sejarah
modernitas, dan rasionalisme-oksidental di negeri ini.
Buah Orde Baru
Orde Baru, dengan berbagai kebijakan pendidikannya yang kerap
berganti–sehingga muncul semacam aforisma, ”ganti menteri ganti beleid”—adalah
masa di mana gejala ini justru semakin kuat. Masa pembangunan, pergaulan
internasional, dan arus deras pelajar yang melanjutkan studi ke luar negeri,
memunculkan banyak ”intelektual” atau pemikir muda yang begitu bernafsu
menampilkan diri sebagai generasi maju, modern dan progresif, setidaknya dalam
berwacana atau memainkan retorika.
Namun nafsu itu ternyata memiliki hambatan internal atau
kesulitan mendasar karena pendidikan yang mereka dapatkan sebelumnya justru
membuat mereka majal dalam memahami secara adekuat ilmu-ilmu modern. Seperti
saya katakan, model dan sistem pendidikan kita saat itu sangat merepresi
pelajar untuk tidak bebas melakukan petualangan intelektual, mencari,
mendapatkan atau memahami pikiran baru dan asing karena dianggap sebagai
pelanggaran ”ideologis” yang ganjarannya jelas: pembungkaman, hambatan karier,
dan penjara.
Kita tahu berbagai ekspresi artistik dan intelektual begitu
sulit diungkapkan dalam mimbar atau panggung terbuka. Semua ekspresi itu
dicurigai sebagai kritik, perlawanan, bahkan pembangkangan kepada rezim.
Akibatnya, banyak intelektual dan seniman kala itu yang kemudian lari ke dalam
tema-tema, wilayah bahasa, bahkan cara berekspresi yang sama sekali apolitis.
Sebagian yang masih menyisakan keberanian menyembunyikan kritik dalam pelbagai
macam alegori, simbol yang obskur, bahkan teori-teori yang tampak hebat tetapi
tidak aplikatif, seperti kasus ”postmodernisme” di atas.
Itulah akibat sistem pendidikan dan cara pengajaran yang
terjadi secara luas, baik dalam keluarga, masjid, maupun organisasi yang gagal
menciptakan adekuasi dalam menginternalisasi ilmu dan nilai kepada anak didik.
Semata karena sistem itu menghamba atau dipaksa hanya melayani kepentingan
kekuasaan. Seorang Vicky sebenarnya hanya kelanjutan akhir dari kebijakan
pendidikan semacam itu. Dan ia tentu tak sendirian. Mungkin ada ribuan, bahkan
jutaan, anak muda yang juga vikiistik, secara intelektual kacau dan obskur
serta bergerak hidup hanya berlandasan pada naluri alamiahnya. Sebagian mereka,
saat ini, mungkin memimpin berbagai perusahaan atau institusi publik dari
tingkat lokal hingga nasional.
Hasil Reformasi
Kecenderungan di atas semestinya dapat dikurangi atau
dihentikan ketika Reformasi memberi ”keleluasaan” berpikir dan berimajinasi. Di
atas kertas, hal itu mungkin bisa terjadi. Namun, secara praktik, ternyata tak
seideal itu. Keleluasaan yang kadang dimaknai sebagai ”demokrasi”, ”kebebasan
berbicara dan berpendapat”, itu ternyata justru melahirkan sebuah generasi yang
tetap saja mengalami disorientasi dan dislokasi. Bahkan, ditengarai kian akut
karena berbagai peristiwa deviatif, bahkan kriminal, terjadi di kalangan
generasi muda, mulai dari pembangkangan adat dan tradisi, narkoba, KKN, hingga
penyimpangan hukum secara terang-terangan. Dalam kesantunan dan kepatuhan pada
aturan lalu lintas, misalnya.
Reformasi ternyata tak memberi dampak cukup positif, juga
pada kebijakan pendidikan nasional. Kurikulum berganti, sistem pengajaran kian
rumit dan membingungkan pelaku (pendidik), serta korupsi membengkak luar biasa
pada anggaran pendidikan nilainya menjadi fenomena tersendiri. Menurut perintah
konstitusi, anggaran pendidikan yang wajib 20 persen dari anggaran belanja
tahunan membengkak hampir tak terbayangkan mencapai Rp 200 triliun lebih,
melampaui seluruh lembaga negara yang ada. Hasilnya? Antara lain bocah 13 tahun
yang sudah berpacaran, mengendarai mobil di jalan bebas hambatan, lewat tengah
malam, menciptakan kecelakaan yang mengakibatkan enam orang (bisa lebih)
terbunuh seketika. Trauma dahsyat terjadi pada semua pihak yang terlibat dalam
kecelakaan. Istri, anak, keluarga besar, bahkan masyarakat sekitar.
Permintaan maaf publik dari ayah pelaku tentu saja sangat tak
cukup. Garansi penggantian material, seperti gaji bulanan, kepada keluarga yang
ditinggalkan juga sangat tak cukup. Ayah pelaku mungkin bersedih dengan kondisi
pelaku dan masa depannya. Namun, semua korban, tak hanya kehilangan tulang
punggung atau pencari nafkah, tetapi juga ayah, kepala rumah tangga, orang yang
selama ini melindungi semua anggota keluarga, mengantar anak ke sekolah,
memperbaiki atap bocor, mengurus berbagai soal ke kelurahan, mewakili keluarga
dalam acara- acara di komunitasnya, menjadi sumber jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan anaknya, dan seterusnya. Bagaimana semua hal itu
tergantikan? Bagaimana nyawa dapat ditukar?
Saya kira semua media massa, termasuk televisi yang setiap
hari bergerombol di rumah sakit di mana AQJ dirawat, harus bersikap fair.
Jangan hanya karena AQJ dan keluarganya populer dan memberi keuntungan
komersial, dimensi human interest yang jadi pokok dari pers luntur,
bahkan lenyap, dengan tak memberi perhatian yang seimbang kepada semua korban.
Pada intinya, mereka semua sama, manusia.
Namun, itulah antara lain hasil Reformasi. Ketika keleluasaan
itu dipahami sebagai ”urusan dunia adalah urusanku sendiri”. ”Dunia” itu adalah
dunia yang kian acak (chaotic) karena kita mendapatkan sumber-sumber acuan
tradisional kita (pemerintah, agamawan, akademisi, politisi, dan sebagainya)
mengalami degradasi, bahkan kehilangan otoritas nilai dan moralnya. Berganti
dengan acuan atau otoritas baru yang datang bagai tsunami dari dunia luar,
lewat globalisasi teknologi, ilmu dan sistem hidup yang menyertainya.
Di titik ini, kebijakan pendidikan tampak sekali hadir hanya
untuk menjadi pecundang karena ketakmampuannya melihat secara spasial dan
multidimensi semua persoalan, terlebih dalam detailnya. Kurikulum, misalnya,
dihasilkan hanya berdasarkan acuan teoritik (notabene juga asing dan punya
latar kultural dan sejarah sangat berbeda), perbandingan yang tak kongruen,
atau asupan yang melulu padat dengan kepentingan sektarian.
Tak mengherankan jika Vicky kemudian dapat penerus yang lebih
parah penyakit dalamnya dalam bentuk seperti AQJ yang kini memenuhi mal-mal, square,
plasa, jalan raya, bahkan klub hiburan malam. Pemerintah, kabinet yang
dipercaya rakyat, tampaknya gagal atau tak mampu melaksanakan tugasnya pada hal
yang krusial dan fundamental ini: pendidikan dan pengajaran.
Ketakmampuan karena tampaknya sang pemimpin kabinet sendiri
tak cukup punya visi, sehingga tak mampu memberikan semacam acuan kepada
bawahan, memeriksa hasilnya dengan teliti, mengoreksi secara kontinu, atau
bahkan menawarkan gagasan bermutu. Kita hanya bersiap menerima lahirnya
generasi baru–dan setelahnya—yang punya cacat bawaan, tak hanya secara
intelektual, tetapi juga moral, sosial, dan kultural. Bagaimana kita bersaing
dengan dunia lain, bahkan di tingkat regional? Ah, penguasa ternyata juga mabuk
dengan slogan-slogannya sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar