|
Yang disebut ”abstrak” tidaklah
berwujud fisik, bahkan diungkapkan secara tertulis pun acapkali sukar.
Contohnya: semangat, cita-cita tinggi, ruh.
Sebagian orang merasa kurang nyaman
dengan sifat tak konkretnya karena dianggap kabur, mudah menimbulkan
multipersepsi. Maka, timbul hasrat untuk menyatakannya secara tertulis, yang
lama-kelamaan marak menjadi kecenderungan untuk menuangkan banyak perkara dalam
bentuk kalimat. Dibandingkan belasan tahun silam, kini hampir setiap lembaga
dan organisasi gemar menampilkan visi dan misi, apa pun isinya. Sesuai namanya,
pendidikan tinggi mengajarkan (dan mengembangkan) ilmu paling tinggi, lebih
atas tingkatnya dari pendidikan menengah, apalagi dasar. Apa yang ditekuni
benar-benar teratas dan terbaru, diramu dari penemuan para ilmuwan besar,
merupakan jejak dari akal budi dan puncak-puncak peradaban manusia.
Dengan materi seperti itu, perlu
sejumlah upaya agar tujuan penguasaan ilmu dapat dicapai. Kemampuan menyerap
dan menguasai mesti didorong sampai maksimal. Bayangan akan kerumitan dan
kesukaran ditembus melalui segala cara. Dengan memanfaatkan buku-buku, artikel
dalam jurnal, tanya jawab yang intensif, lagi berpikir tekun seakan tak pernah
berhenti.
Sering terasa betapa banyak
pengetahuan dan kemampuan belum dikuasai. Bukan karena di Google tak berjumpa
atau literaturnya masih harus dicari, tetapi memang belum ada sejauh-jauh
perbendaharaan ilmu manusia. Dalam keadaan ini, orang pun melakukan riset,
kegiatan yang ketat mengikuti prosedur ilmiah, jangan sampai tertipu data palsu
atau kesimpulan keliru. Salah satu syaratnya, pikiran mesti terbuka tetapi
dingin dan tanpa pamrih. Daoed Joesoef menyebutnya disinterestedness.
Sikap seperti itu dipertahankan
ketika riset sudah selesai dan hasilnya disiapkan untuk publikasi. Sambil tetap
memegang obyektivitas dan kejujuran, penulisan dilakukan cermat dengan kalimat
padat dan pas, misalnya alih-alih ”mengklaim” (penemuan baru), tulisannya lebih
baik ”mengusulkan”. Rendah hati, seraya bersikukuh mengibarkan kebenaran dan
kebaruan. Ini semua hanyalah sebagian perilaku dan suasana yang (seharusnya)
berkecamuk di lingkungan pendidikan tinggi. Sukar dijabarkan secara utuh dan
lengkap dalam visi, misi, statuta, atau dokumen lain. Namun, sangat penting
sebagai ruh yang menjiwai kehidupan universitas dan institut.
Kondusif
Di balik masalah perguruan tinggi
yang diidentifikasi Hendra Gunawan (Kompas,
19/8) dan Terry Mart (Kompas, 30/8),
sebuah latar belakang adalah seberapa kuat napas ruh yang disebut di atas
dihirup oleh penghuni kampus. Apakah nilai dan spirit tinggi mendapat perhatian
besar sehingga memengaruhi dan mengimbas pada kebijakan dan praktik yang berlaku.
Di perguruan tinggi lazim berlangsung pertukaran pikiran yang bisa mendalam dan
sungguh-sungguh, di laboratorium, kamar kerja, selasar, saat minum kopi, atau
kesempatan lain. Dari situ kerap diperoleh ide guna menembus kemacetan riset,
saran tentang metode yang layak ditempuh, atau sekadar sekelumit pencerahan.
Inilah kehidupan akademik. Bukan saja ada peningkatan ilmu, melainkan juga
penciptaan atmosfer kondusif, suasana yang bisa membuat orang serasa berdosa
jika tak ikut berkeras dan rajin mengejar kepandaian.
Namun, dikaitkan dengan pendanaan
melalui regulasi keuangan, ternyata tradisi akademik di atas tak diakui. Yang
boleh didanai (baca: mendapat apresiasi) adalah pertemuan resmi, bukan yang
informal meski bermanfaat besar. Harus ada undangan tertulis, daftar hadir
bertanda tangan peserta, dan laporan atau notulensi. Mungkin ini salah satu
penyebab jika sekarang terasa susut penyuaraan nilai-nilai akademik yang
unggul. Tak mudah menjaga harta yang berharga, mana serba abstrak pula. Patut
disampaikan salut kepada guru besar, pengajar, sivitas akademika, yang di
tengah berbagai situasi terus menguatkan, memelihara, menularkan dan mewariskan
ruh pendidikan tinggi, kekayaan yang sangat berarti. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar