|
UU Pemilihan Presiden dewasa ini sedang dibahas di DPR. Ada
kesan agak alot mempertemukan perbedaan pendapat di sekitar persyaratan
pencalonan presiden: apakah ambang batas pencalonan dikurangi, diperbesar,
ataukah tetap? Calon presiden (capres) hanya dapat dicalonkan oleh partai atau
gabungan partai yang memperoleh sedikitmya 20 persen kursi DPR. Kalau
kesepakatan tidak diperoleh, diberlakukan UU Pemilu yang lama. Persyaratan 20
persen kursi DPR masih tetap berlaku.
Dengan ketentuan seperti itu, proses pencalonan presiden
tidak mudah. Kepastian pencalonan presiden sebenarnya hanya bisa dilakukan
setelah hasil pemilu legislatif (April 2014) diketahui. Karena itu, capres yang
telah muncul sekarang bisa gagal menjadi calon kalau partainya gagal melampaui
ambang batas suara yang diperlukan, atau gagal memperoleh dukungan/koalisi
dengan partai lain.
Memperhatikan hasil berbagai survei, untuk memperoleh kursi
DPR sebesar 20 persen ternyata tidak mudah. Logikanya, kalau partai-partai di
DPR berpikir hanya untuk kepentingan partai sendiri, untuk memudahkan
pencalonan presidennya, partai-partai itu beramai-ramai menurunkan ambang batas
perolehan suara.
Tetapi, dengan idealisme memperkuat demokrasi, ambang batas
itu dipertahankan. Ini terlepas bahwa pendapat seperti itu dibantah pendapat
yang lain, yang mengatakan persyaratan ambang batas suara 20 persen itu sebagai
tidak demokratis. Pendapat seperti ini terutama keluar dari partai-partai
kecil, sementara partai besar cenderung bertahan dengan formula yang lama.
Dengan perbedaan pendapat seperti itu, sesungguhnya ada hal
yang mendasar dalam memahami demokrasi. Apakah demokrasi akan makin sehat
dengan menerapkan ambang batas 20 persen sehingga jumlah capres terbatas? Atau,
menurunkan bahkan menghilangkan ambang batas perolehan suara, sehingga jumlah
capres bisa lebih banyak? Benarkah makin banyak pilihan makin demokratis atau
sebaliknya?
Perbedaan pendapat seperti itu merupakan pengulangan, ketika
UU Pemilu Legislatif dibahas. Kalau perolehan suara sebuah partai kurang dari 3
persen, maka eksistensi partai itu di DPR hilang. Partai itu bahkan tidak akan
dapat ikut dalam Pemilu 2019. Semangat UU Pemilu Legislatif dengan demikian
adalah mengurangi jumlah partai secara demokratis melalui pemilihan umum.
Demokrasi justru akan bisa lebih ditegakkan dengan jumlah partai yang terbatas
dan tidak sebaliknya. Apalagi dalam sistem presidensial.
Pembahasan perubahan UU Pemilihan Presiden, dengan demikian,
juga merupakan test case bagi partai-partai peserta pemilu yang berjumlah 12.
Partai mana yang masih benar-benar hendak menegakkan demokrasi atau yang hanya
berpikir demi kepentingan eksistensi partai sendiri? Hal ini perlu ditengarai
oleh seluruh rakyat Indonesia, yang akan menjadi hakim masa depan Indonesia
melalui hak pilihnya dalam Pemilu Legislatif 2014.
Kalau kita semua bisa mempersiapkan
diri sebagai pemilih yang cerdas, Pemilu 2014, insya Allah, makin mendekatkan
kita pada kehidupan demokrasi yang kian sehat. Jumlah partai akan berkurang.
Demikian pula jumlah capres, makin terbatas. Mungkin cukup dua capres! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar