|
Hilangnya koleksi benda bersejarah di Museum Nasional
Jakarta baru-baru ini sungguh sangat disesalkan. Empat benda bersejarah
peninggalan Kerajaan Mataram Kuno sekitar abad X-XI yang semuanya terbuat dari
emas dicuri dari tempat penyimpanannya di ruang koleksi emas di Lantai Gedung
A. Benda-benda itu baru disadari tidak ada di tempatnya pada Rabu, 11 September
2013, pukul 09.10 pagi, dan anehnya tidak langsung dilaporkan kepada polisi.
Pelaporan ke polisi baru dilakukan pada Kamis, 12 September lalu.
Anehnya, kasus ini hanya pengulangan, seperti pepatah
"l'histoire se repete" (sejarah berulang). Semoga kita ingat kasus
hilang atau dipalsukannya wayang kuno koleksi Museum Radya Pustaka, Solo; serta
pencurian 75 koleksi emas abad VIII dan X milik Museum Sonobudoyo, Yogyakarta.
Memang kasus hilangnya benda-benda bersejarah ini bisa
dianalisis dari berbagai sudut pandang. Namun penulis sampai pada kesimpulan
bahwa bangsa kita memang cenderung kurang menghargai warisan sejarah para
leluhurnya, sehingga kesadaran sejarah kita juga rendah.
Kesimpulan ini bukan hanya muncul akibat hilangnya
benda-benda bersejarah di museum kita. Tapi juga ada banyak fakta lain yang
mendukung, seperti rusaknya situs-situs bersejarah kita yang tersebar di banyak
tempat di Tanah Air. Misalnya situs Majapahit di Jalan Raya Mojokerto-Jombang,
Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
Baru-baru ini masyarakat, pemerhati sejarah, dan DPRD Mojokerto
meminta agar pembangunan pabrik baja PT Manunggal Sentral Baja di kawasan situs
Majapahit di Jalan Raya Mojokerto-Jombang, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto, dihentikan. Sungguh tak habis pikir, pabrik baja tersebut sudah
mengantongi izin prinsip dari Bupati Mojokerto dan izin mendirikan bangunan
(IMB) yang dikeluarkan BPPTPM Kabupaten Mojokerto (Tempo.co, 23 Juli 2013).
Malah situs Majapahit di Trowulan pernah dirusak pemerintah
sendiri. Ini terjadi ketika di bekas ibu kota Kerajaan Majapahit itu hendak
dibangun Majapahit Park seluas 2.190 meter persegi. Peletakan batu pertama
Majapahit Park dilakukan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pada 3
November 2008.
Konyolnya, dalam proses pembangunan, akibat penanaman 50
tiang pancang beton di dalam tanah, justru terjadi perusakan sejumlah
peninggalan bersejarah, seperti dinding sumur kuno, gerabah, dan pelataran
rumah kuno. Proyek Majapahit Park jelas mengulangi kesalahan yang pernah
dilakukan Kodam VIII Brawijaya ketika membangun gedung pendopo berbentuk
"joglo" di salah satu kawasan di situs Majapahit pada 1966.
Yang lebih memprihatinkan, tindakan destruktif juga
dilakukan sebagian masyarakat Trowulan yang menggali tanah dan menjadikannya
batu bata. Ini sudah menjadi mata pencaharian mereka, bahkan menjadi industri.
Yang paling parah, pencurian, penggalian serampangan, serta perdagangan benda
purbakala di pasar gelap sudah lama berlangsung tanpa dapat ditindak secara
tegas. Yang terakhir ini jelas merupakan sebuah vandalisme yang patut dikutuk.
Akibatnya, hari-hari ini, situs Majapahit benar-benar
memasuki fase paling pahit dalam perjalanan sejarahnya. Jika tidak ada upaya
penyelamatan segera, jelas situs Majapahit akan menjadi puing-puing yang hancur
dan tidak lagi memiliki nilai sejarah. Padahal situs Trowulan adalah salah satu
saksi sekaligus bukti kita memiliki nenek moyang dengan peradaban tinggi, tidak
kalah oleh bangsa-bangsa di Eropa.
Jangan lupa pula, bangsa-bangsa Eropa, seperti Belanda atau
Inggris, pun tahu betapa bernilainya situs Trowulan, sehingga mereka pun
tertarik untuk meneliti dan mengapresiasinya. Peneliti pertama adalah Wardenaar
pada 1815 atas instruksi Gubernur Thomas Raffles. Hasil penelitian Wardenaar
kemudian ikut dicantumkan dalam buku History
of Java (1817).
Dalam buku itu di antaranya ditulis, "Situs Trowulan, terletak 60 kilometer barat daya Kota Surabaya,
mungkin merupakan ibu kota kerajaan Majapahit. Di kawasan seluas 11 x 9
kilometer, telah ditemukan sedikitnya 32 kanal, satu kolam seluas lebih-kurang
6,5 hektare, serta dua pintu gerbang; Gapura Bajangratu dan Gapura Wringin
Lawang. Selain itu, ditemukan permukiman dan pendapa kuno, candi Hindu dan
Buddha, seperti Candi Brahu, Candi Tikus, dan Candi Gentong. Sebagai bekas ibu
kota, Situs Trowulan memang memiliki ratusan ribu peninggalan arkeologis, baik
berupa artefak, ekofak, serta fitur berbagai obyek arkeologis."
Kemudian banyak peneliti lain mengikuti jejak Wardenaar,
seperti W.R. van Hovell (1849), J.V.G. Brumund, dan Jonathan Rigg. Kemudian R.D.M.
Verbeek (1889), R.A.A. Kromodjojo Adinegoro, Bupati Mojokerto (1849-1916), J.
Knebel (1907), dan kemudian Henry Maclaine Pont (1921-1924).Yang menarik
menurut Maclain Pont, ibu kota Majapahit di Trowulan berulang kali tertimpa
debu gunung berapi sehingga bekas ibu kota yang menjadi saksi kejayaan
Majapahit dari tahun 1293 hingga 1521 Masehi itu semakin lama semakin tertimbun
di dalam tanah.
Para peneliti yang notabene orang asing itu tahu betapa
berharganya warisan sejarah kita, seperti situs Trowulan. Mereka juga punya
kesadaran sejarah yang luar biasa, sehingga punya apresiasi tinggi kepada kita.
Para pengelola museum dan situs memang harus mau belajar dari Belanda. Di
Negeri Belanda, misalnya, banyak tersimpan semua hal yang terkait dengan warisan
budaya kita yang hingga kini terus mengundang decak kagum kalangan ilmuwan atau
awam.
Malah, konyolnya, jika sejarawan atau mahasiswa Indonesia
ingin memperdalam atau mengetahui bahasa atau warisan budaya Jawa, misalnya,
mereka harus ke Universitas Leiden atau mengaduk-aduk semua literatur di
perpustakaan KITLV, yang merupakan pusat dokumentasi terbesar di dunia.
Kita sendiri suka terkagum-kagum pada prestasi bangsa atau
negara lain. Kita tidak mau menggali mengapa mereka menjadi besar. Mereka
menjadi besar karena mereka begitu menghargai warisan sejarahnya. Mereka punya
kesadaran sejarah, kesadaran spasio temporal (ruang dan waktu) bahwa masa depan
tidak bisa dibangun tanpa pemahaman yang benar tentang masa lalu. Negara-negara
Eropa Barat bisa maju karena mereka sadar akan sejarah masa lalunya. Kesadaran
sejarah mereka mendorong mereka menjadi bangsa yang sungguh menghargai waktu,
sangat berdisiplin, suka bekerja keras, dan bertanggung jawab. Kemajuan pun
akhirnya mereka capai. Beda dengan bangsa kita, yang maunya instan meraih
kemajuan, namun disertai sikap menolak atau mengingkari masa lalunya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar