|
Bila polisi ditembak oleh orang tak
dikenal dan tewas, pasti akan banyak spekulasi tentang hal itu. Yang paling
dominan, orang segera bicara tentang betapa mengkhawatirkannya rasa aman di
negeri ini. Pasalnya, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), yang punya tugas
dan tanggung jawab menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, ternyata tak
mampu mengamankan anggota korpsnya.
Wajar bila rakyat menjadi khawatir. Resah.
Hidup membutuhkan rasa aman agar tercapai stabilitas. Bukankah pemerintah
selalu mengedepankan pentingnya stabilitas dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, sejak zaman revolusi sampai zaman reformasi? Puluhan tahun merdeka,
kita masih hidup dalam trauma. Kita masih hidup dalam kecemasan.
Situasi seperti ini, tentu, membuat para
politikus punya alasan kuat untuk mempertanyakan kebijakan pemegang kekuasaan
negara terkait dengan rasa aman rakyat. Tewasnya seorang polisi bukanlah
persoalan politik kekuasaan, meskipun di negeri yang sedang dalam transisi ini
segala sesuatu selalu dikait-kaitkan dengan politik. Soal ini adalah soal
sejarah kekerasan di ruang publik, soal bagaimana sejarah itu tidak boleh
terulang, sehingga rasa aman tetap terjaga.
Kekerasan di ruang publik punya sejarah
panjang di negeri ini. Kita bisa mendefinisikan fenomena ini dengan
mengedepankan kisah matinya preman atau anggota-anggota gali. Seno Gumira
Ajidarma dalam cerpennya, Penembak Misterius, bisa menjadi titik tolak
pembicaraan kita.
Ia berkisah tentang orang-orang yang mati,
ditemukan mati, di dalam karung, dan tidak seorang pun mengaku mengenali si
mayat meskipun mengenalnya. Zaman ketika banyak mayat ditemukan, dan sebagian
besar mayat itu punya ciri yang sama, yakni punya tato, kita menandainya
sebagai era penembak misterius (petrus). Konon, pelaku petrus adalah militer
dan tujuannya untuk menghabisi preman, karena keberadaan mereka dianggap dapat
merusak stabilitas nasional.
Penguasa negara pada zaman itu meyakini,
sebuah negeri yang sedang dalam masa transisi membutuhkan stabilitas nasional
untuk bisa membangun. Meskipun akhirnya kita tahu, yang terbangun hanya
hegemoni kekuasaan negara hingga menjadi otoriter dan megalomania. Pemerintah
yang menghalalkan kekerasan adalah pemerintah yang tak pernah memahami bahwa
kekuasaan seperti candu dan dapat menjadi penghalal atas apa pun.
Sebelum petrus, kita tak mengenal
kekerasan di ruang publik. Apalagi kekerasan dengan senjata api. Meskipun
sebagai warga bangsa yang datang dari budaya beragam, kita punya kesamaan
tradisi karena senantiasa dekat dengan senjata tajam. Masyarakat punya tradisi
kuat untuk selalu menenteng senjata di depan publik: badik, mandau, celurit,
belati, keris, rencong, kujang, tombak, parang, panah, dan lain sebagainya.
Kapten Pattimura muncul dalam mata uang
tukaran Rp 1.000 sambil memanggul parang. Penari perang dari suku Dayak
menenteng mandau juga muncul dalam mata uang kita. Tapi tradisi menenteng
senjata tajam itu tidak menghasilkan sejarah kekerasan luar biasa di
ruang-ruang publik. Sebab, senjata-senjata itu tidak membuat warga hidup dalam
kekerasan, karena membawa senjata bagian dari tradisi budaya.
Keris harus terselip di pinggang orang
Jawa, tersembunyi di balik punggung, dan hampir tak pernah keluar dari
sarungnya. Badik identik dengan orang Palembang, melekat sebagai bagian yang
tak terpisahkan dari pakaian adat budaya masyarakat Palembang. Tapi senjata
tajam itu tidak membuat kita memaklumkan kekerasan. Pembunuhan tidak
ditradisikan.
Berbeda dengan para ronin dalam tradisi
Jepang. Mereka menenteng samurai karena memilih "jalan pedang":
dibabat atau terbabat. Yang bukan ronin tak akan menenteng samurai. Sedangkan
di Indonesia, di dalam kebudayaan mana saja, siapa saja boleh membawa senjata
tajam tanpa harus memilih jalan hidup di ujung senjatanya.
Hidup telah berubah. Modernisasi menggusur
budaya menenteng senjata tajam itu, juga nilai-nilai luhur yang dikandungnya.
Menenteng senjata ke mana-mana tidak lagi menjadi laku luhur budaya, melainkan
bagian dari ekspresi kekuasaan. Orang merasa sangat berkuasa manakala menenteng
senjata. Kekuasaan semakin besar ketika senjata yang ditenteng semakin modern,
dan pilihan utama jatuh pada senjata api.
Teknologi memperkenalkan kepada warga
bangsa banyak hal yang selama ini muskil dan mustahil menjadi sesuatu yang
teramat biasa. Senjata api bisa diperoleh dengan mudah, seperti mendapatkan
permen karet di warung-warung. Hanya dengan beberapa juta rupiah, seseorang
bisa mendapatkan izin menggunakan senjata api secara legal. Menenteng senjata
itu ke mana saja, memamerkannya kepada siapa saja, dan merasa telah sangat
berkuasa.
Di kota metropolitan seperti Jakarta,
perkara seperti ini bisa melahirkan pertempuran yang berkepanjangan, karena
setiap orang menjaga kekuasaannya dengan menghalalkan apa saja. Ini tradisi
baru dalam pertarungan hidup. Tradisi ini tidak cuma dilakoni orang-orang
kecil, tapi juga orang-orang besar. Semua itu untuk satu hal: mempertahankan
kekuasaan.
Dalam kekuasaan, ada rezeki yang terjamin.
Karena itu, kekuasaan kait-berkait dengan naluri paling dasar manusia untuk
mempertahankan hidupnya. Hukum rimba berlaku di sana, siapa paling kuat maka
akan berkuasa. Dan sejarah kekerasan di ruang publik akhirnya berubah. Pada
periode awal reformasi, ketika hampir seluruh hal di negeri ini mengalami
transisi, banyak peraturan perundang-undangan yang direvisi. Masa ini adalah
periode yang kalut dalam segala dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.
Stabilitas pertumbuhan perekonomian nasional tak kunjung tercapai, kriminalitas
meningkat, dan jenis kejahatan bertambah. Pada periode inilah beredar senjata
api rakitan secara luas, yang bisa diperoleh siapa saja dengan hanya beberapa
ratus ribu rupiah.
Polri sendiri tidak bisa berbuat banyak
mengatasi peredaran senjata api, meskipun memiliki hak untuk melegalisasi
kepemilikan senjata api di lingkungan masyarakat. Bahkan, belakangan kita tahu,
senjata api organik yang biasa dipergunakan Polri dan TNI beredar luas di
lingkungan masyarakat: revolver, Scorpio, FN, Beretta, dan lain sebagainya
diperjualbelikan sebagai bagian dari gaya hidup di kalangan kelas menengah.
Wajar bila kemudian mereka yang jadi
sasaran peluru bukan lagi hanya preman, tapi juga para penegak
hukum.
Tergantung siapa yang paling lengah. Sebab, semua orang, kalau saja ada
kesempatan, punya hasrat yang kuat untuk menjadi brutal.
Sejarah kekerasan di ruang publik sangat
bergantung pada siapa yang memegang senjata api. Jika selama ini suara letusan
bisa dipastikan datang dari senjata seorang petugas, sekarang suara yang sama
bisa saja datang dari senjata seorang pengusaha, politikus, begal, rampok,
pelawak, dan pengawal pribadi seorang kiai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar