|
"Ke mana lagi kalian akan lari? Di belakang hanya
lautan, di hadapan kalian hanya lawan. Demi Tuhan, kalian tak punya pilihan selain
kesetiakawanan dan ketahanan diri. Dan ketahuilah, di Semenanjung ini, kalian
hanya kumpulan yatim di perjamuan orang-orang tanpa empati. Musuh telah siap
menyambut kalian dengan bala tentara dan persenjataan. Perbekalan mereka
sungguh berlimpah. Adapun kalian, tiada beban selain pedang, dan tiada pula
pangan selain yang berhasil kalian rampas dari musuh-musuh kalian…."
Penggalan orasi
Thariq bin Ziyad (670-720), panglima perang legendaris Islam dalam Penaklukan
Andalusia sekitar tahun 711, itu saya kutip untuk menggambarkan bagaimana kini
dunia menyikapi Suriah. Ya, kini hampir semua pemimpin dunia memilih pendekatan
Bin Ziyad dalam menghadapi krisis Suriah. Dan, selama dua tahun lebih perang
berkecamuk di Suriah, seluruh pihak yang bersengketa tak jua menemukan jalan
ketiga. Tiada suara lebih nyaring dari genderang perang berdarah-darah.
Persoalan bermula
dari mimpi rakyat Suriah untuk mencicipi Musim Semi kebebasan sebagaimana di
negara-negara tetangga. Namun, rupanya, Musim Semi tetaplah unik di tiap negara
dan ia tidak datang dengan hawa yang sama. Di Tunisia, Musim Semi cukup
berbunga setelah Presiden Ben Ali ditampung Arab Saudi. Di Yaman,
dunia-terutama Saudi-berjasa penting dalam mengatasi kebuntuan politik
menjelang lengsernya Presiden Ali Abdullah Saleh. Di Mesir, kekuasaan Husni
Mubarak diambil alih Dewan Tinggi Militer, dan kita tahu kisahnya kini. Di
Libya, Muammar Qadhafi tumbang lewat aksi bersenjata NATO dan dunia dengan
mudah memakluminya.
Tapi di Suriah,
Musim Semi tidak mudah dan mengalami kebuntuan yang nyata. Dunia seolah tak
berdaya mencarikan pemecahan masalah. Ada apa? Jelas kini, Presiden Bashar
al-Assad semakin paham betapa lemah para pemimpin negara jirannya dalam
menanggapi aspirasi perubahan. Mereka seakan tak punya kawan yang rela membela
dalam senang dan susah. Assad bisa saja disetarakan Qadhafi dalam menyikapi
momen ini sebagai pertarungan hidup-mati. Bedanya, Assad lebih mampu beraliansi
sekalipun harus berperang sebagai proxy bagi kekuatan-kekuatan besar di
belakangnya.
Iran sampai kini
berada di balik Suriah karena khawatir, bila sekutunya itu tumbang, berarti
jalan bagi pelemahan posisinya di kawasan kian terbuka. Sokongan Saudi terhadap
oposisi Suriah lebih merefleksikan kekhawatiran regional karena terkepungnya
negara Wahabi itu oleh negara-negara berbasis Syiah. Bayangkan saja, di timur
Saudi, ada konsentrasi Syiah yang sedang marah. Di selatan, terdapat Yaman
selatan, yang juga berpopulasi mayoritas Syiah. Di Barat, ada pergolakan Syiah
Bahrain dan musuh bebuyutan Saudi, Iran sendiri. Irak pasca-Saddam di utara,
kini didominasi Syiah; sementara Libanon dan Suriah pun kuat dipengaruhi Negeri
Para Mullah.
Kekuatan-kekuatan
global pun terpilah dalam permusuhan geopolitik antara Saudi dan Iran ini.
Dalam kasus Suriah, yang terjadi bukan lagi pertarungan rezim Assad melawan
aspirasi kebebasan yang didambakan rakyatnya. Pertarungan geopolitik dan
buntunya diplomasi di antara kekuatan-kekuatan yang terlibat dalam
persengketaan ini membuat dunia seakan hanya punya opsi Thariq bin Ziyad di
kantong mereka. Dampaknya, tatkala gajah-gajah belum rampung bertarung, rakyat
Suriah hanyalah para pelanduk yang terjepit dalam sengit pertarungan itu.
Mana jalan ketiga?
Menyaksikan
pertarungan global di Suriah, saya tak melihat kuatnya inisiatif jalan ketiga.
Padahal Suriah kini bukan lagi sedang bergeliat dalam pertarungan menuju
demokrasi. Dan rakyat Suriah kini telah seperti "kumpulan yatim dalam
perjamuan orang-orang tanpa empati". Anak-anak yatim Suriah itu kini
berjibaku dalam memproteksi diri dengan cara melarikan diri (displacement) dari konflik, dan hanya
itulah cara bertahan yang kini diterapkan oleh tak kurang dari sepertiga mereka
(sekitar 6 juta orang).
Jika obyektif
melihat krisis Suriah, rakyat Suriah kini sesungguhnya menunggu jalan ketiga.
Sebab, andai saja Assad tumbang, mereka pun terancam seperti keluar dari mulut
singa untuk masuk ke moncong buaya. Laporan-laporan internasional kini
menyebutkan, kubu oposisi yang berupaya menjungkalkan Assad pun didominasi kaum
mujahid ekstrem bentukan Saudi, Turki, dan negara-negara Teluk. Ungkapan filsuf
Slovenia, Slavoj Žižek, benar belaka bahwa kasus Suriah adalah pertarungan
yang lancung (pseudo-struggle), dan tak sulit menebak arah angin Suriah
pasca-Assad: Afganistan era Taliban! (The
Guardian, 6 September 2013).
Inilah yang
menjelaskan mengapa Amerika dan sekutunya begitu enggan terlibat langsung dalam
intervensi bersenjata. Penggunaan senjata kimia sebagai garis merah (red lines) yang dipatok Presiden Barack
Obama untuk terlibat dalam opsi bersenjata di Suriah bisa dibaca sebagai bentuk
keengganan Obama kembali melakukan kesalahan fatal pendahulunya dalam kasus
Irak. Namun kini, lain Washington lain pula niat Riyadh dan Ankara. Kini,
Kerajaan Saudi dan Turki adalah dua negara yang paling bersemangat
mengipas-ngipasi Amerika untuk turun kancah langsung di Suriah.
Aliansi tak suci
Namun kini, dunia
pun terfokus pada proposal Rusia, yang dituding menunda ajal rezim Assad, yang
dikonfirmasi PBB telah menggunakan senjata kimia dalam sengketa. Tapi bukankah
konflik ini telah dua tahun lebih? Wajarlah bila sinisme muncul: Assad hanya
haram menggunakan senjata kimia, sementara senjata jenis lainnya seolah absah
digunakan Assad ataupun para mujahid penentangnya. Yang kini paling miris adalah
kasus Suriah, di mana kewajiban moral dunia untuk melindungi warga sipil dalam
situasi konflik dan perang (responsibility
to protect) atau R2P yang disahkan PBB pada 2005 kini seakan alpa dari
perdebatan para pemimpin dunia (Elizabeth Ferris, Brooking.Edu, 10 September
2013).
Dalam kasus Suriah
kini, dunia perlu opsi ketiga di luar "lautan" dan "musuh"
yang ditawarkan ilustrasi Thariq bin Ziyad tadi. Dunia perlu ketok palu, Suriah
adalah kasus Musim Semi yang gagal tumbuh dan bersemi. Kini tiba saatnya menjamin
seluruh tumpah darah Suriah untuk kembali ke masa transisi lewat perundingan
semua pihak yang bertali-temali dengan sengketa berdarah ini. Inisiatif
tersebut hanya mungkin ditempuh dengan melibatkan Iran dan Rusia sebagai patron
Assad, Saudi dan Turki sebagai patron mujahid, serta Amerika dan Eropa sebagai
"pihak penengah".
Jika inisiatif ini
tidak terealisasi, berarti telah terjadi aliansi tak suci di antara
kekuatan-kekuatan jahat yang menginginkan perang lebih dahsyat lagi. Aliansi
tak suci itu melibatkan Saudi, Turki, lobi Israel (AIPAC), yang kini giat
mendorong Obama untuk melancarkan aksi militer ke Suriah, juga Iran dan Rusia
yang keras kepala. Jika aliansi itu yang menang, dunia sungguh telah disuguhi
tontonan tentang "perjamuan orang-orang tanpa empati" di tengah lapar
sengsara "anak-anak Yatim Suriah" yang tak jelas masa depannya.
Rasanya, Indonesia pun punya kewajiban moral untuk ikut mendorong proses ini
agar nurani dunia tetap menyala. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar