|
“Apa yang telah berhasil dilakukannya juga sekaligus
penegasan atas hipotesis Peter Berger dan William James yang menyebutkan
"agama punya seribu nyawa" dan sampai kapan pun modernisme tak akan
mampu membunuhnya.”
Masyarakat muslim
Indonesia, khususnya muslim perkotaan (urban) di Jakarta, kembali berduka.
Setelah sebelumnya pada 26 April lalu Ustad Jefri Al Buchori wafat, kali ini
giliran Habib Mundzir Al-Musawa yang dipanggil ke sisi-Nya, yang juga dalam
usia relatif muda. Selain itu, kesamaan lain di antara kedua ustad tersebut,
yang justru signifikan dan fundamental, adalah metode dakwahnya. Kedua sosok
panutan umat Islam itu sama-sama menghadirkan Islam dalam formulasi dakwah yang
dikontekstualkan dengan lingkup masyarakatnya, yakni muslim perkotaan-kosmopolitan.
Walaupun dalam bentuk keduanya memiliki corak, metode dan nuansa dakwah yang
berbeda yang sekaligus menjadi ciri khas dakwah masing-masing sesuai dengan
konteks pendengar masing-masing pula.
Namun, menurut penulis, setidaknya
semangat, kesadaran, serta konsep dasar dakwah kedua ustad tersebut relatif
sama, yakni beradaptasi dengan konteks umat perkotaan-kosmopolitan dengan
segala ciri khasnya. Dakwah kedua ustad itu cenderung berorientasi mendidik
generasi muda dan mengajak mereka berpaling dari euforia dan hedonisme
perkotaan menuju spiritualitas Islam berbingkai kecintaan kepada Nabi Muhammad
melalui ritual zikir dan salawat.
Adapun dalam
konteks Habib Mundzir sendiri, menurut penulis, ada peran dan kontribusi
positif khas yang telah ditorehkan olehnya terhadap masyarakat muslim perkotaan
di Jakarta melalui Majelis Rasulullah-nya. Pertama, dengan ciri paling khasnya
yang pragmatis-kosmopolit, modernisme di kota besar serta metropolitan semacam
Jakarta secara tidak langsung mengalienasi dan tak menyisakan ruang ekspresi
bagi fenomena berbasis spiritualitas-tradisionalis. Namun, melalui Majelis
Rasulullah-nya, Habib Mundzir kemudian justru hadir untuk mengisi kebutuhan
paling primordial dalam diri manusia (khususnya di perkotaan), yakni
spiritualisme, yang memang merupakan fitrah setiap manusia.
Kedua, melalui
Majelis Rasulullah-nya itu, Habib Mundzir relatif berhasil mengubah paradigma
masyarakat perkotaan Jakarta tentang wisata, yang sering kali mengaitkan
wisata, yang sekadar media pemuas kenikmatan indrawi semata, dengan sebuah
media pemberi kenikmatan insani yang sublim. Habib Mundzir mengubah malam hari
di Jakarta-khususnya bagi anak muda-sehingga tak hanya lagi sebagai malam
wisata indrawi dengan segala euforia dan hedonisme khas anak muda perkotaan,
tapi juga sebagai wahana studi, kontemplasi, dan rekreasi.
Ketiga, melalui
Majelis Rasulullah-nya itu pula, Habib Mundzir menggeser luapan cinta kasih
anak muda perkotaan yang biasanya dicurahkan kepada lawan jenis dengan berbasis
nafsu-libido, dengan dikelola sedemikian rupa melalui zikir dan salawatnya
sehingga kecintaan itu bermuara pada Allah dan Rasul-Nya.
Menurut penulis,
pesatnya perkembangan Majelis Rasulullah, yang dipimpin Habib Mundzir, juga
majelis-majelis serupa yang muncul setelahnya, justru karena modernisme yang
semakin merajalela dan terus mengikis nilai-nilai spiritualitas di Jakarta.
Karena itu, publik Jakarta makin membutuhkan "sajian" spiritualisme
instan dari majelis-majelis semacam itu guna memenuhi kebutuhan primordial-fitrah
dalam dirinya-yaitu spiritualisme-yang telah teralienasi dan hilang dari
manusia modern perkotaan, sebagaimana hipotesis Herbert Marcuse dalam One Dimension Man. Melalui Majelis
Rasulullah-nya, Habib mengisi krisis spiritualitas masyarakat modern-perkotaan.
Apa yang telah berhasil dia lakukan juga sekaligus penegasan atas hipotesis
Peter Berger dan William James yang menyebutkan "agama punya seribu
nyawa" dan sampai kapan pun modernisme tak akan mampu membunuhnya. Dan,
penulis sendiri cenderung menyebut dakwah perkotaan Habib Mundzir dan Majelis
Rasulullah-nya sebagai fenomena sufisme perkotaan (urban sufism).
Jika ditelusuri,
dakwah ala Habib Mundzir itu sebenarnya memiliki jejak historis di kalangan
habaib (bentuk jamak dari kata habib) di Indonesia. Fenomena dakwah itu
sejatinya bukan fenomena baru, kendati metodenya baru karena diakulturasikan
dengan tuntutan ruang dan zaman. Sejak dulu, hampir di setiap kota besar di
Indonesia memang dikenal sosok habib yang difigurkan serta memiliki majelis
pengajian massal di kota masing-masing sebagai media dakwah Islam-nya.
Pekalongan terkenal akan sosok Habib Luthfi, di Surabaya ada Habib Neon, di
Solo tersohor nama Habib Ali Habsyi, dan di Jember masyhur nama Habib Sholeh
Tanggul. Termasuk pula di Jakarta. Malah, justru di kota modern-metropolitan,
seperti Jakarta, fenomena tersebut lebih subur. Maka, sejak dulu kemudian
dikenal nama Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, yang tinggal di Kwitang, yang
wibawanya hingga mendorong pembangunan Islamic
Center Indonesia, yang diresmikan langsung oleh Presiden Soeharto pada
1970-an di Kwitang, yang kini menjadi pusat pengajian massal di Jakarta.
Kemudian, dikenal pula nama Habib Kuncung di Kalibata, Habib Ibrahim di Kramat
Pulo, Habib Luar Batang, serta Habib Salim bin Jindan di Condet. Jangan lupa
pula pada karisma Habib Mbah Priok, yang sampai-sampai makamnya saja
dipertahankan begitu kuat oleh umat Islam sekitar sebagai bentuk penghormatan
terhadap kontribusi beliau.
Ciri utama dan
mendasar dari dakwah para habib itu sejak dulu (termasuk sejak arus pertama
diaspora habaib dari Hadhramaut Yaman dalam upaya penyebaran Islam di Nusantara
dan Asia Tenggara, yakni sekitar abad ke-13) adalah damai dan berakulturasi
dengan budaya lokal. Corak itulah yang kemudian kental dan bisa kita lihat dari
dakwah Habib Mundzir, yang cenderung merangkul kalangan muslim perkotaan
(khususnya anak muda) dengan segala keadaan dan trennya, serta mengarahkannya
secara perlahan, damai, dan penuh kesantunan pada nilai-nilai Islam secara
substansial.
Selain itu, corak
utama dan mendasar dakwah para habib sejak dulu adalah pengajaran Islam
berbasis cinta kasih kepada Allah melalui zikir, kepada Rasulullah melalui
salawat, dan kepada sesama manusia melalui ukhuwah (persatuan atau
persaudaraan). Karena itu, dalam salah satu ceramah terakhirnya pada 2
September lalu di majelis rutinnya, ketika membahas kitab Ar-Risalatul Jami'ah,
Habib Mundzir mengulas tentang hadis yang berbunyi: "Mencaci-maki orang muslim adalah kefasikan dan memeranginya
adalah kekufuran ". Dalam penjelasannya, beliau menegaskan bahwa dosa
atau maksiat yang telah dilakukan seseorang (apalagi muslim) bukan sepatutnya
direspons dengan cacian atau makian, apalagi kekerasan. Tapi justru dengan
ajakan (dakwah) yang santun dan bijak. Dengan begitu, Islam sebagai rahmatan lil 'alamin benar-benar terasa
di bumi Allah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar