|
Berdasarkan catatan Metro-TV, selama satu tahun terakhir
(hingga 1 Mei 2013), sekitar 89 kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Polri) dirusak dan dibakar massa. Malah ada Kapolsek yang dianiaya sampai
meninggal dunia saat melaksanakan tugas. Pemicu pengrusakan maupun pembakaran
kadang hanya persoalan sepele. Misalnya, salah paham soal penangkapan atau
penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana kemudian massa meminta
agar dilepaskan. Atau, karena massa kecewa terhadap perlakuan polisi atas
sengketa antara warga sipil dengan pengusaha perkebunan di berbagai daerah yang
menimbulkan korban jiwa.
Ada juga yang kecewa atas perlakuan polisi dalam penegakan
hukum. Jika pelaku berasal dari keluarga mapan, perlakuan polisi begitu
istimewa. Berbeda dengan pelaku dari rakyat kebanyakan, polisi akan secepatnya
memproses dan melimpahkan berkasnya kepada penuntut umum. Kita juga tidak bisa
menafikan bentrok antara polisi dengan mahasiswa pengunjuk rasa saat menolak
kenaikan harga bahan bakar minyak.
Semuanya bisa jadi pemicu kemarahan rakyat sehingga kantor
polisi menjadi sasaran amuk massa. Fenomena kekerasan aparat kepolisian dalam
melaksanakan tugas, bisa jadi merupakan kesalahan hegemonik tentang betapa
luasnya kewenangan polisi yang belum sepenuhnya rampung dikoreksi.
Banyaknya perlawanan rakyat terhadap polisi tidak terlepas
dari belum berhasilnya Polri membangun kerjasama yang erat (partnership
building) dengan masyarakat untuk mendukung tugas dan fungsi kepolisian. Polisi
dianggap tidak sensitif, tidak mampu menjadi pelindung, pengayom, dan pelayanan
masyarakat. Padahal, sensitivitas dan etos kerja yang terukur menjadi modal
untuk membangkitkan motivasi masyarakat bermitra dengan polisi.
Kepolisian harus dijaga dari ancaman masyarakatnya sendiri.
Tetapi polisi harus bijak dan berwibawa dalam menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat atau saat melindungi, mengayomi, melayani, serta menegakkan hukum
(Pasal 30 ayat 4 UUD 1945). Sebab akan susah menertibkan masyarakat, jika
personil polisi tidak menampilkan perilaku yang bisa diteladani.
Salah satu keluhan Polri selama ini adalah soal
kesejahteraan yang masih rendah. Belum memadai untuk menghidupi keluarga
sehari-hari dalam sebulan. Lantaran gaji kecil, menimbulkan dampak negatif
dalam mengapresiasi tugas dan tanggung jawabnya. Tidak sedikit anggota polisi
yang cari kerja sampingan. Meski begitu, tidak boleh dijadikan pembenaran untuk
berperilaku menyimpang dari tatanan hukum yang berlaku.
Kerja sampingan yang terkait dengan kasus yang ditangani
sudah pasti akan memengaruhi kewibawaan. Misalnya, suap atau pungli di jalan,
membekengi tempat-tempat prostitusi dan perjudian ilegal, atau memeras saat
menangani kasus. Membenahi kesejahteraan polisi adalah keniscayaan, tetapi
harus ada jaminan agar betul-betul meninggalkan perilaku buruk. Jika
kesejahteraan sudah baik, tetapi masih saja melanggar, maka sidang profesi
kepolisian dan sidang pengadilan menanti tanpa pandang bulu. Termasuk pada
perwira tinggi yang diduga memiliki rekening gendut yang diduga berasal dari
kerja sampingan.
Yang juga patut diatensi adalah masih minimnya jumlah
personil, sehingga belum seimbang dengan jumlah penduduk. Jumlah personil
polisi sekitar 395 ribu orang lebih, tetapi melayani 230 juta penduduk dengan
rasio perbandingan 1:580 orang. Padahal rasio ideal 1:300 orang warga, sehingga
negeri ini butuh minimal 760 ribu polisi.
Mulai dari atas
Jika pembenahan dari perilaku menyimpang tidak serius
dilakukan, diyakini citra polri akan terus tergerus. Tetapi harus dimulai dari
atas, sebab penyelewengan wewenang di tubuh Polri hampir tidak pernah
disebabkan dari bawah. Penyimpangan anggota polisi tidak selalu disebabkan oleh
watak individu bawahan, tetapi mencontoh pada perilaku pimpinan, atau terpaksa
mengikuti keinginan atasan.
Bagi bawahan yang setiap hari bersentuhan dengan
masyarakat, secara psikologis akan terbebani dengan kondisi internal di kantor
yang kurang memberi ruang untuk berperilaku bersih. Dugaan adanya pimpinan yang
melakukan penyimpangan harus segera dihentikan. Misalnya, meminta setoran
bawahan agar lulus pendidikan atau maraih jabatan tertentu, atau memberi
peluang bawahan memainkan kasus yang sedang ditangani.
Begitu pula, metode kerja "perpolisian
masyarakat" yang belum terlihat hasilnya, kalau tidak dikatakan gagal, harus
secepatnya dibenahi. Sebab warga yang dipilih sebagai mitra justru bertindak
lebih polisi daripada polisi asli. Akibatnya, masyarakat apatis dan menganggap
perpolisian masyarakat tak lebih dari "upaya kosmetis" jangka pendek.
Juga perlu membangkitkan lagi prinsip "senyum, sapa, dan salam" dalam
memberikan pelayanan, perlindungan masyarakat, dan penegakan hukum.
Polisi harus memberi contoh dengan secara adil dan
transparan memproses pelanggaran hukum yang terjadi tanpa mengenal golongan
atau kelompok. Kegagalan polisi menegakkan hukum akan menimbulkan risiko, malah
merembet pada sendi-sendi kemasyarakatan sehingga dengan mudah terjadi tindak
kekerasan antara berbagai elemen dalam masyarakat.
Boleh jadi penilaian ini keliru akibat ekspektasi yang
begitu besar terhadap Polri. Kritik membangun untuk membenahi Polri semoga
tidak menimbulkan amarah apalagi dendam, karena sungguh mewakili isi hati
rakyat. Apalagi reformasi birokrasi Polri belum mencapai sasaran, belum membumi
di akar rumput. Jangan sampai rakyat merasa tidak nyaman jika bersentuhan
dengan polisi, sehingga saksi sekalipun tidak bersedia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar