Minggu, 22 September 2013

Di Bawah Bayang-Bayang Fatwa

Di Bawah Bayang-Bayang Fatwa
Fajar Riza Ul Haq ;   Direktur Eksekutif MAARIF Institute for Culture and Humanity
KORAN SINDO, 21 September 2013


Dikotomi Sunni dan Syiah mungkin sudah tidak relevan lagi. Masing-masing pihak sudah saling memengaruhi. Akan muncul proses melintas batas di antara kedua kelompok tersebut sebagaimana sudah terjadi pada orang NU dan Muhammadiyah. 

Dalam spektrum pemikiran, eksistensi Syiah sudah diakui bahkan tumbuh kecenderungan untuk hidup berdampingan secara damai antara Sunni dan Syiah. Pandangan optimistis ini dikemukakan Jalaluddin Rakhmat saat diwawancara oleh Ulumul Quran menjelang akhir tahun 1995. Keyakinan akan semakin membesarnya jembatan konvergensi tersebut telah mendorong dirinya bersama IJABI dan Dewan Mesjid Indonesia mendeklarasikan Majelis Ukhuwah Sunni Syiah Indonesia (MUHSIN) pada Mei 2011 di Jakarta. 

Persatuan ini merupakan yang pertama di dunia. Tujuan utamanya sebagai wadah bersama masyarakat Sunni dan Syiah guna mendialogkan pelbagai permasalahan sosial bahkan meredam konflik yang dilatarbelakangi sentimen agama. MUHSIN bukan upaya mencampurkan dua ajaran yang berbeda (the Jakarta Post, 21/5/2011). Namun upaya ini tidak lepas dari kontroversi. 

Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia saat itu, KH Tarmidzi Taher, menolak keterlibatan lembaganya dalam deklarasi tersebut. Nampaknya ikhtiar mendekatkan kelompok kelompok Sunni dan Syiah seperti yang dirintis MUHSIN masih sangat lemah, berbanding terbalik dengan gelombang provokasi kebencian, bahkan opini penyesatan dari pihak-pihak yang tidak setuju. 

Syiah di Jawa Timur 

Pada kenyataannya, jalan menuju pertemuan Sunni dan Syiah masih dipenuhi kerikil tajam bahkan kian berlubang. Penyerangan oleh sekelompok warga anti-Syiah terhadap Pesantren Darus Sholihin di Kecamatan Puger, Kabupaten Jember, Rabu lalu (11/9), sangat menyentak di saat proses rekonsiliasi warga Sunni dan Syiah di Sampang, masih belum tuntas. 

Aksi anarkistis perusakan terhadap fasilitas masjid, sekolah, dan puluhan motor milik simpatisan pesantren yang dituduh berpaham Syiah telah merenggut satu korban nyawa. Pihak kepolisian masih melakukan penyidikan dan pengamanan guna mengantisipasi bentrokan susulan. Beberapa media lokal melaporkan bahwa sempat bermunculan spanduk-spanduk yang menyuarakan anti-Syiah di Puger, menyusul kekerasan di Sampang pada Agustus 2012. 

Sebenarnya, ketegangan warga berpaham Sunni dan yang dituduh Syiah di Jember sudah meletup pada akhir Mei 2012. Kala itu beberapa warga mendatangi seorang tokoh Sunni karena keberatan dengan rencana pengajian yang narasumbernya dikenal keras terhadap Syiah. Pertemuan berujung kontak fisik. Fatwa MUI Jawa Timur pada Januari 2012 mengenai sesat dan menyesatkannya ajaran Syiah telah berkontribusi pada dinamika antar-kelompok masyarakat yang berbeda pandangan di tingkat akar rumput seperti di Jember dan Sampang. 

Dalam sebuah forum dialog ulama dan umara di Jember pada Juni tahun lalu, Ketua PCNU Jember mengusulkan Peraturan Gubernur untuk pelarangan Syiah di Jawa Timur. Ada fenomena menarik jika kita mencermati peta umum kekerasan terhadap kelompok minoritas dalam konteks intern umat Islam, utamanya kelompok Ahmadiyah dan Syiah. Ketika Ahmadiyah menjadi korban terbesar dari sejumlah kasus intimidasi bahkan persekusi di Jawa Barat, kelompok Syiah berada pada posisi yang sama di Jawa Timur. 

Kenapa ini bisa terjadi mengingat latar belakang sosial keagamaan masyarakat Jawa Timur didominasi budaya NU yang secara kultural dekat? Berdasarkan catatan MUI Jawa Timur, ada 63 lembaga berbentuk yayasan, delapan lembaga majelis taklim, sembilan organisasi kemasyarakatan, dan selapan sekolah/pesantren yang digolongkan berpaham Syiah dan tersebar di wilayah Jawa Timur. 

Penelitian Muhammad Baharun menemukan tiga tipologi Syiah di Jawa Timur yang direpresentasikan oleh tiga institusi, yaitu Yayasan Pesantren Islam (YAPI) yang berdiri tahun 1976 di Pasuruan, Yayasan Al-Hujjah yang berdiri tahun 1987 di Jember, dan Al-Kautsar di Malang. Pertama, Syiah ideologis yang dikembangkan oleh YAPI melalui pendidikan Syiah yang lebih terstruktur dengan rapi. Model ini menekankan militansi dan keaktifan menyebarkan ajaran Syiah. 

Kedua, “Su-Si” (Sunni-Syiah) yang muncul sebagai akibat kolaborasi dan pemahaman setengah-setengah antara Sunni dan Syiah dari Yayasan al-Hujjah. Ketiga, Syiah Simpatisan yang muncul disebabkan ketertarikan intelektual dengan buku-buku yang diterbitkan oleh al- Kautsar. Menurut MUI Kabupaten Jember, ada beberapa kasus konflik yang dipicu sentimen keagamaan sejak tahun 2011 hingga September 2012 seperti kasus aliran Qodriyatul Qosimiyah, konflik Rabbani, kasus penghapusan lafaz Allah dengan sepatu, dan konflik Syiah (kissfmjember, 1/9/2012). 

Adapun, Pesantren Darus Sholihin yang menjadi pusat perselisihan didirikan oleh Ali bin Umar al-Habsyi bersama Ahmad Kasip dan Sholihin pada tahun 1991. Meski pesantren ini dituduh berhaluan Syiah, pemimpinnya konsisten membantahnya. Mereka menyatakan bahwa lembaganya menganut paham Sunni yang inklusif seperti terpatri dalam petikan Mars Pesantren, “Darus Sholihinku untuk semua, Tanpa membedakan faham dan bangsa, Kita semua adalah saudara”. 

Pada konteks ini, penting untuk ditelusuri, mengapa Yayasan Al-Hujjah yang didirikan Husein al Habsyi justru tidak terlibat benturan dengan warga yang anti-Syiah? Ada dua hipotesis jawaban yang bisa disodorkan. Pertama, sangat mungkin pendekatan kolaboratif Syiah dan Sunni yang diterapkan Al-Hujjah mampu memediasi potensi konflik. Langkah ini menyusutkan lahan kontroversi maupun pertentangan di akar rumput. 

Kedua, perkembangan Pesantren Darus Sholihin dipandang telah mengancam otoritas atau pengaruh dari individu atau kelompok yang sudah mapan (baca: mayoritas) dibandingkan dengan Yayasan Al Hujjah yang kebetulan lokasinya di kecamatan yang berbeda. Seperti disinyalir seorang pejabat Pemerintah Kabupaten Jember dari Berita Jatim, konflik kepentingan antar-tokoh dan antar-ormas dimungkinkan menjadi motif dibalik desakan pengusiran Ali Al Habsyi, pemimpin Pesantren Darus Sholihin. 

Dua Prinsip 

Kasus Puger menambah beban persoalan konflik sosial yang menghadang di ujung Pemerintahan SBY. Salah satu konteks mikro dari album potret buram kehidupan toleransi beragama di negeri ini. Mengerasnya polarisasi dan eksklusivisme identitas sosial masyarakat merupakan faktor penting yang memicu rentetan konflik sosial. Acapkali distorsi informasi yang direproduksi melalui media internet mempercepat eskalasi kebencian. 

Masyarakat menjadi sangat rentan terbelah dan bersikap eksklusif berdasarkan garis sektarianisme atau kepentingan ideologi politik kelompoknya. Hemat penulis, paling tidak ada dua prinsip yang bisa dijadikan patokan bersama dalam mengelola kebinekaan yang sangat rawan konflik. 

Pertama, pemerintah tidak boleh terperosok (kembali) pada konflik kepentingan sebagai partisan ketika berhadapan dengan konflik sosial berlatar belakang agama. Hukum adalah panglima. Desakan mayoritas tidak bisa menjustifikasi pemerintah bertindak diskriminatif terhadap kelompok-kelompok minoritas meskipun atas nama fatwa keagamaan tertentu. 

Kedua, semua ormas sosial-keagamaan harus menegakkan prinsip-prinsip nonsektarian dan saling menjaga kehormatan kelompok lain dalam mengembangkan bahkan menyebarkan ajarannya. Yang tidak kalah penting, lembaga-lembaga keagamaan hendaknya tidak latah apalagi ceroboh dalam mengeluarkan fatwa mengenai eksistensi kelompok di luar dirinya karena terbukti berdampak sangat serius. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar