Awalnya,
masyarakat leluasa masuk hutan dan mengakses sumber daya hutan. Lalu mereka
membangun rumah dan bercocok tanam. Namun, kekuatan yang lebih besar, sebutlah
kerajaan dan kemudian penjajah Belanda, mengatur serta menuntut upeti dari
mereka dan akhirnya mengeksploitasi hutan secara besar-besaran (Peluso, 2006).
Pengelolaan
hutan di Jawa berjalan lebih sentralistis di tangan Daendels, Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, tahun 1808. Ia mendirikan Administrasi Kehutanan (Administratie
der Bosschen), sejenis Jawatan Kehutanan, dan sejak itulah negara memonopoli
hutan sekaligus menghapus hak milik umum atas hutan.
Tahun 1830, di
bawah Gubernur Jenderal Van den Bosch, Belanda menerapkan Cultuurstelsel
(sistem tanam paksa). Petani-petani Jawa dipaksa menggunakan sebagian tanah
garapan dan sebagian dari tenaga kerjanya untuk membudidayakan tanaman kopi,
nila, dan tebu. Masyarakat kehilangan lahan garapan dan, kalaupun ada, tidak
sempat lagi mengerjakan tanahnya.
Meski
pemerintah kolonial kurang menaruh perhatian terhadap sumber daya hutan, pada
masa ini untuk pertama kalinya lahir undang-undang kehutanan untuk Jawa dan
Madura yang dinamakan Boschordonantie voor Java en Madoera 1865.
Tahun 1870,
Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet), yang di
dalamnya terdapat bab Domeinverklaring yang menetapkan batas kawasan
hutan yang dikuasai negara, dalam hal ini Boschwezen (Jawatan
Kehutanan).
Jawatan
kehutanan membatasi akses dan pemanfaatan hutan oleh masyarakat. Pengambilan
kayu dari hutan harus seizin polisi hutan. Penataan batas dan petak-petak hutan
dilakukan dengan memindahkan permukiman penduduk yang semula tersebar di dalam
hutan ke satu daerah. Perluasan hutan jati dilakukan dengan mengambil alih
tanah-tanah kerajaan dan merampas tanah-tanah penduduk.
Saat Jepang
berkuasa, fokusnya adalah mencukupi kebutuhan pangan tentara Jepang. Di bidang
kehutanan, Jepang hanya meneruskan hukum dan peraturan perundang-undangan
bentukan pemerintah kolonial Belanda, terus mengeksploitasi hasil hutan di
bawah wewenang Sangyobu (Departemen Ekonomi) dan Zoosen Kyo Ku (Departemen
Perkapalan) serta membuka lahan hutan besar-besaran untuk palawija.
Setelah merdeka
Pasca-kemerdekaan,
Pemerintah Republik Indonesia tak banyak mengubah penataan hutan. Tahun 1952,
dibentuk Jawatan Kehutanan yang menguasai tanah-tanah negara yang ditetapkan
sebagai kawasan hutan. Tahun 1960, keluar Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
yang memberi akses masyarakat kepada sumber daya alam dan mengamanatkan land
reform.
Namun, UU ini
diingkari dengan keluarnya undang-undang sektoral di bidang kehutanan pada masa
Orde Baru, yakni UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan yang
isinya bertentangan dengan semangat UUPA. UU ini menegaskan peran Perhutani
sebagai pengelola hutan negara di Jawa.
Pada masa
Reformasi 1998, terjadi pengambilan sumber daya hutan besar-besaran. Namun,
kejadian ini tidak membuat pemerintah sadar telah menyakiti masyarakat. Tahun
1999, pemerintah mengeluarkan UU No 41/1999 tentang Kehutanan yang menggantikan
UU Kehutanan No 5/1967.
UU No 41/1999
dan membatasi masyarakat pinggir hutan dalam mengakses hutan. Pada masa ini,
konflik tenurial antara petani penggarap dengan Perhutani meningkat
karena Perhutani tidak mengakui kepemilikan dan penguasaan tanah masyarakat.
Lembaga
Bantuan Hukum Semarang pada 2005 mencatat sembilan kasus tanah berbasis hutan,
dengan total luas lahan yang disengketakan 1.039,59 hektar. Tahun 2006, kasus
tanah hutan meningkat menjadi 16 kasus dengan total luas lahan yang disengketakan
lebih dari 1.722, 59 hektar.
Adapun tahun
2007, sengketa tanah bertambah 14 kasus dengan tambahan luas lahan seluas
601,58 hektar di sembilan wilayah kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Pada 2008, ada
41 kasus yang terjadi di 18 kabupaten/kota dengan jumlah korban 7.414 kepala
keluarga. Kasus demi kasus terus berlangsung sampai sekarang. Terakhir, dua
pemimpin organisasi tani di Banjarnegara dan Ngawi ditangkap polisi dan dibui.
Upaya dekolonisasi
Memasuki
wilayah hutan Rajabasa (nama disamarkan) tampak ”kemegahan” sekretariat Serikat
Petani Organisasi Tani Lokal (OTL) Rajabasa. Sekretariat ini menjadi simbol
bahwa lahan yang dulu dikuasai Perhutani telah kembali ke masyarakat Desa
Rajabasa.
Menurut warga,
dulu wilayah tersebut adalah permukiman penduduk. Tahun 1918, masyarakat diusir
Belanda dan ”ditampung” di daerah yang lebih rendah. Pengusiran didahului
dengan ditariknya surat ”cap Singa” yang dianggap sebagai ”bukti pemilikan”
lahan. Bukti bahwa masyarakat pernah tinggal di sana, salah satunya, adalah kuburan
di tengah hutan.
Tahun 2000,
warga memasuki wilayah hutan, dimulai dengan ajakan kepada masyarakat yang
tidak mempunyai tanah untuk mendaftar sebagai anggota serikat tani. Ada 1.200
pendaftar dan mereka mendapat lahan lewat pengundian, rata-rata 1-3 hektar.
Mereka
mengelola lahan dengan sistem ”kebon”, yakni menanam beberapa macam tanaman,
seperti kopi, kelapa, albasia, dan karet. Hasilnya relatif bagus. Model hak
kelola rakyat ini membuat masyarakat sejahtera sekaligus mengamankan dan
melestarikan hutan.
Setelah 10
tahun, rata-rata warga sudah memiliki rumah senilai Rp 100 juta, bisa
menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi, mempunyai motor bahkan mobil,
dan bisa naik haji. Kondisi yang baik pada pengelolaan hutan model rakyat ini
membuktikan bahwa hutan rakyat telah membuat masyarakat sejahtera sekaligus
melestarikan hutan. ●
|
Bila Anda tertarik untuk membaca artikel melalui postingan artikel setiap hari di Grup WA, silakan bergabung dengan kami di Grup WA LOD melalui link berikut ini : https://chat.whatsapp.com/GTWUZic9Kbr5fwvfYN74mH
Kamis, 19 September 2013
Dekolonisasi Hutan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar