|
BERKAIT
Hari kebebasan Pers Sedunia tanggal 3 Mei lalu, jurnalis Tanah Air memperingati
keterampasan hak hidup sejumlah rekan mereka dalam melaksanakan tugas
jurnalistik. Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat tak kurang dari 55
jurnalis menjadi korban kekerasan sepanjang 2011-2012.
Masih
misteriusnya kasus terbunuhnya Munir dan aneka perampasan hak hidup dalam
pelanggaran HAM berat masa lalu yang lain jadi catatan tersendiri menjelang
akhir pemerintahan Presiden SBY.
Tulisan ini membahas mengenai hak hidup
sebagai hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, dan
kontekstualitasnya dalam permasalahan kebangsaan. Tulisan ini terasa relevan
setelah Rakernas Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta pidana mati bagi
koruptor.
Di
antara sekian banyak klausul dan muatan hak asasi manusia (HAM) dalam UUD 1945
hasil amendemen terbilanglah pasal yang secara spesifik mengatur mengenai HAM
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Hak itu adalah Pasal 28I Ayat
(1) yakni hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut berdasar hukum yang
berlaku surut.
Pemahaman
Pasal 28I tak dapat dilepaskan dari perjanjian internasional HAM yang mengatur
mengenai hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (nonderogable rights). Hal itu termaktub
dalam Pasal 4 ayat (1) International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Secara
ringkas disebutkan bahwa dalam keadaan tertentu, negara peserta dapat menunda
atau mengurangi penikmatan hak-hak yang ada di dalam ICCPR. Yang dimaksud
‘’keadaan tertentu’’adalah ketika negara dalam keadaan darurat. Namun tidak
semua keadaan genting dapat menjadi pembenar adanya penundaan atau pengurangan
HAM. Hanya bila memang dikehendaki oleh keadaan maka suatu hak tertentu bisa
dikurangi penikmatannya.
Selanjutnya,
Pasal 4 (2) ICCPR menyebutkan dalam keadaan darurat sekalipun, meskipun suatu
negara dalam keadaan darurat, tidaklah diperbolehkan ada penundaan atau
pengurangan terhadap hak-hak tertentu. Hak-hak tertentu tersebut adalah
sejumlah hak dalam beberapa pasal ICCPR yang termasuk non-derogable rights.
Rinciannya
adalah hak hidup, hak untuk tidak disiksa, tidak diperlakukan kejam dan
merendahkan, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dipenjara hanya karena
ketidakmampuan memenuhi kontrak, hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum
yang berlaku surut, hak atas pengakuan di muka hukum, dan hak berkeyakinan dan
beragama.
Khusus
tentang hak hidup, Pasal 6 (1) ICCPR mengingatkan supaya hak itu, bila masih
akan dipertahankan, hendaklah berkait kejahatan yang paling serius saja dan
harus sesuai hukum yang berlaku. Pada titik ini, penilaian serius atau tidak
kejahatan korupsi sebagai suatu kejahatan akan memengaruhi penilaian
rekomendasi Rakernas MUI tentang hukuman mati bagi koruptor.
Pidana Mati
Rumusan
Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 memiliki semangat sama dengan ICCPR, yaitu terdapat
beberapa hak dan kebebasan asasi manusia, sebagai hak yang tak dapat dikurangi
penikmatannya dalam keadaan apa pun.
Hak
hidup acap dihubungkan dengan pro dan kontra pidana mati, padahal sesungguhnya
hak hidup memiliki konotasi lebih luas. Kewajiban negara untuk mereduksi angka
kematian ibu dan anak dalam proses persalinan merupakan satu contoh negara
harus aktif melindungi nyawa tiap orang dalam wilayahnya.
Negara
harus mengupayakan tak ada orang mati karena kelaparan, kurang gizi tidak saja
disebabkan kemiskinan namun juga karena kemenurunan kualitas hidup berkait
kemiskinan yang disebabkan oleh korupsi.
Menggunakan
perspektif hak asasi manusia, kecelakaan karena dibiarkannya kondisi jalan yang
buruk harus dipandang sebagai ketidaksungguhan negara menjalankan kewajiban
konstitusional melindungi hak hidup warga. Termasuk perampasan hak hidup warga,
terlebih secara sewenang-wenang, sebagaimana kasus Cebongan Sleman DIY.
Tidak
terselesaikannya aneka persoalan pelanggaran HAM yang berkait hak hidup
sebagaimana penghilangan paksa aktivis 1997/1998, penembakan mahasiswa
Trisakti, kasus Munir dan aneka pelanggaran HAM berat yang lain merefleksikan
pengabaian negara terhadap hak hidup. Perlindungan HAM yang masih buruk terkait
hak hidup di negara ini memberi pesan penting bahwa negara masih harus didorong
dan diawasi supaya lebih serius melindungi hak hidup warga.
Tekanan
dan kontrol dari rakyat, baik melalui lembaga perwakilan maupun sarana
komunikasi politik lain, diharapkan bisa menggerakkan negara untuk melakukan
tindakan antisipatif atau represif bersaranakan hukum pidana. Upaya itu supaya
makin sedikit nyawa melayang, dan mereka yang merampas nyawa atau mengakibatkan
terampasnya nyawa bertanggung jawab di muka hukum.
Argumen
konstitusionalnya jelas, yakni segenap warga menyerahkan diri untuk memasuki
kehidupan bernegara supaya terlindungi segenap tumpah darahnya, bukan
sebaliknya yaitu keterampasan hak paling dasar justru ketika dalam keadaan
bernegara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar