|
Fenomena rapuhnya moral di negeri
ini kian menggelegak dan mengkhawatirkan. Media massa rasa-rasanya tidak pernah
absen mendedahkan berita tentang banyaknya pejabat negara yang mencuri harta
negara, pengusaha yang menyuap penguasa demi kemulusan bisnisnya, atau
akademisi (misalnya rektor) yang menyelewengkan dana pendidikan dan terlibat
perselingkuhan dengan bawahannya.
Di sinilah kita menyaksikan agama
sebagai sumber kekuatan dan pertahanan moral terlihat begitu ringkih. Di sini
pulalah kita melihat badai-badai nafsu rendah (korupsi, suap, perselingkuhan)
telah merenggut nilai-nilai agama sehingga keluar dari ruang keluhurannya.
Fungsi agama sebagai pembimbing dan pengarah tingkah laku manusia lenyap
digulung oleh kerapuhan kesungguhan para penganutnya dalam menjalankan ajaran
agamanya.
Dalam sejarah peradaban-peradaban
dunia, baik peradaban Barat maupun Timur, kemunduran suatu peradaban bangsa
seringkali dimulai dari kehancuran moral penghuni bangsa tersebut. Penguasa dan
rakyat sudah tidak lagi mengindahkan persoalan batas antara baik-buruk, dan
benar-salah. Mereka menganggap perbuatan yang melanggar demarkasi moral sebagai
bentuk kewajaran. Melabrak moral yang seringkali mengganggu kepentingan
masyarakat luas dianggap hal yang biasa dan lumrah.
Hukum yang tadinya dibuat sebagai
pencegah dan penjera mereka yang bersalah sebagai manifestasi pelanggaran moral
pun sudah tidak berfungsi lagi. Buktinya, masih saja ada penguasa atau
masyarakat yang melakukan kejahatan yang mencerminkan kerapuhan moralnya.
Justru, yang terjadi adalah
realitas hukum semakin dipermainkan oleh orang-orang yang bermodal besar, baik
modal uang maupun modal kekuasaan. Akibatnya, hukum hanya tajam ke sisi bawah
(rakyat jelata), namun tumpul ke sisi atas (penguasa).
Ketika hukum sudah manjadi bagian
dari kehancuran moral manusia itu sendiri dan sudah tidak lagi mampu menjadi
pengawal kekuatan moral, maka menanamkan kembali nilai-nilai agama ke diri kita
masing-masing perlu segera dilakukan. Umat manusia perlu menghidupkan kembali
(revitalisasi) ajaran-ajaran agama, karena agama mampu membuat manusia berbuat
baik dan mencegah perbuatan-perbuatan tercela.
Memang, hampir semua manusia
Indonesia saat ini telah memeluk agama tertentu. Itu terlihat dari identitas
yang dimiliki, misalnya Kartu Tanda Penduduk (KTP). Namun, manusia tidak
selamanya menjalankan ajaran agama yang dianut, sebagaimana yang tertulis di
KTP tersebut. Artinya, manusia seringkali tidak menjadi dirinya sendiri. Ia
terkadang menjadi makhluk yang biasanya diidentikkan dengan simbol kejahatan
(baca: setan). Godaan setan inilah yang siap menjerumuskan manusia ke lubang
kehinaan yang paling mendalam.
Secara naluriah, manusia
sebenarnya berkencenderungan berbuat baik. Ketidaktenangan manusia setelah
melakukan dosa dan kesalahan adalah bukti bahwa manusia sebetulnya menolak
segala bentuk kejahatan. Ia sadar bahwa kejahatan akan selalu menyengsarakan dirinya,
sahabat, keluarga, masyarakat, atau bahkan negara.
Ia paham bahwa setelah melakukan
perbuatan-perbuatan buruk hatinya akan menyesal. Lagi-lagi godaan nafsu sesaat
sangat tangkas menodai kebeningan hati dan kejernihan akal manusia.
Kita selalu membayangkan, andai
saja kaum agamawan mau menggali dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang ada
dalam agamanya masing-masing, barangkali kejahatan-kejahatan di dunia ini,
terutama yang terjadi di Indonesia, tidak terjadi. Tidak ada agama yang
mengajarkan keburukan kepada umatnya.
Semua ajaran agama mengajarkan
kasih sayang, keadilan, kerukunan, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Manusialah
yang pongah menjalankan kebenaran, kebaikan, dan keindahan agama tersebut.
Kita sebagai manusia beragama
selayaknya bertanya kepada diri kita masing-masing. Untuk apa bergama kalau
kita masih suka berbuat korup, buat apa beragama kalau kita masih hobi menyuap
untuk kelancaran keinginan kita, atau untuk apa bergama kalau kita masih senang
melanggar komitmen dengan pasangan kita (berselingkuh), misalnya. Dan masih
banyak pertanyaan yang perlu diajukan untuk menguji kualitas keberagaman kita.
Apakah kita sudah benar-benar beragama atau hanya menjadikan agama sebagai
simbol identitas belaka seperti yang tertera di KTP.
Orang-orang ateistis pun, misalnya
Bertrand Russell atau Albert Einstein, tidak merasa perlu memasuki agama-agama
formal (Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, atau Buddha), Namun, mereka memiliki
kepercayaan dan keharusan berbuat baik. Komitmen berbuat baik inilah yang
mestinya diteladani orang-orang beragama. Karena itu, agama yang pada
hakikatnya mengajarkan umatnya untuk selalu berbuat baik harus dijadikan
senjata untuk melawan kejahatan-kejahatan.
Sebagai akhir tulisan ini, kita
perlu mengajak diri kita sendiri untuk tidak "menelantarkan"
ajaran-ajaran agama kita masing-masing. Kita harus senantiasa menghayati
nilai-nilai luhur religius untuk direalisasikan ke dalam kehidupan pribadi,
masyarakat, dan bangsa. Kita jangan sampai membiarkan tuntunan baik agama hanya
tertulis di atas kertas tanpa pelaksanaan, sebagai bentuk tanggung jawab kita
dalam beragama.
Kita musti ingat, meskipun agama
memiliki kekuatan yang berpengaruh pada jiwa manusia, namun kekuatan ini
bergantung pada tingkat komitmen penerimaannya terhadap agama itu dan bukan
sekadar formalitas. Formalitas dalam beragama tanpa diikuti dengan tindakan
baik hanya mendatangkan bencana bagi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar