|
Publik harus sadar bahwa di antara 6.607 Daftar Calon
Legislator Tetap yang diumumkan KPU untuk memulai kampanyenya per 25 Agustus
2013, sebanyak 9 partai parlemen dari total 12 partai peserta pemilu memasang
hampir semua anggota Dewannya yang kini in
power (DPR RI periode 2009-2014).
Berdasarkan temuan Pol-Tracking Institute, sekitar 90 persen anggota Dewan yang
dicalonkan kembali tersebut menduduki nomor urut satu dalam daftar caleg.
Artinya, sekalipun Pemilu 2014 menggunakan suara terbanyak daftar terbuka,
perilaku pemilih sering memilih gambar partai daripada caleg. Suara partai itu
umumnya akan dilimpahkan ke nomor urut satu, lalu ke nomor urut selanjutnya.
Singkat kata, DPR RI periode 2014-2019 ke depan berpotensi diisi oleh mayoritas
orang-orang yang sama, atau lebih dari 50 persen kinerja DPR post-2014
kira-kira hampir mirip periode 2009-2014 saat ini. Mungkinkah catatan DPR
periode ini menjadi dasar sketsa buram periode 2014-2019 ke depan?
Publik mungkin mafhum bahwa DPR periode 2009-2014 dipenuhi catatan
politik buram dari kasus hukum seperti korupsi, perilaku amoral seperti skandal
seks, soal kedisiplinan seperti rendahnya tingkat kehadiran, hingga pilihan
sikap dan kebijakan anti-publik seperti rencana gedung baru atau kunjungan ke
luar negeri.
Berdasarkan data KPK, jika kita hitung sejak 2004 sampai
per 30 Juni 2013, paling tidak ada 72 anggota Dewan yang ditangkap KPK sebagai
tersangka. Tahun 2013 (per 30 Juni 2013) saja "tangkapan" KPK dari
unsur anggota Dewan menempati urutan kedua terbesar setelah unsur swasta.
Secara kuantitatif, wajah parlemen periode 2009-2014 ini sebenarnya diisi 70
persen pendatang baru, sehingga logika publik mungkin berasumsi bahwa parlemen
kini bisa menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Namun ternyata, wajah DPR tetap
dipenuhi oleh terseretnya banyak nama anggota Dewan dalam beragam kasus,
seperti simulator kemudi, Hambalang, daging sapi impor, hingga korupsi
Al-Quran. Narasi korupsi para anggota Dewan ini hanyalah satu catatan dari
beberapa catatan lain di luar fungsi-fungsi DPR RI sebagai lembaga legislatif.
Pertama, fungsi legislasi DPR periode ini pun berjalan tak
jauh beda dengan periode sebelumnya. Jika kita merujuk data Formappi, dari 30
rancangan undang-undang atau RUU yang disahkan pada 2012, sebanyak 20 RUU
merupakan kumulatif terbuka yang bukan merupakan regulasi prioritas. Ada tiga
jenis RUU kumulatif tersebut: pemekaran wilayah (12 RUU), ratifikasi konvensi
internasional (lima RUU) dan APBN (tiga RUU). Pada 2011, RUU prioritas yang
disahkan sebanyak 18 RUU atau 19,35 persen dari total RUU dalam Prolegnas.
Sedangkan pada 2012, RUU prioritas yang disahkan sebanyak 10 RUU atau 15,25
persen dari total RUU dalam Prolegnas. Artinya, penurunan produktivitas
legislasi RUU prioritas tersebut berkorelasi dengan kalender Pemilu 2014 yang
semakin dekat. Sebab, jika kita jumlahkan RUU prioritas dan RUU kumulatif
terbuka, produktivitas DPR pada 2012 meningkat bila dibanding pada 2011.
Jelasnya, peningkatan ini terletak pada program legislasi terkait dengan
pemekaran daerah. Tentu ada motif politik di balik kuantifikasi fungsi
legislasi DPR ini: baik soal dugaan uang pelicin dari daerah maupun sebagai
bentuk usaha menggalang suara di daerah menjelang pemilu.
Kedua, kita melihat terjadi paradoks fungsi penganggaran
DPR terutama pada periode 2009-2014. DRP terlihat tidak terlalu
mempermasalahkan pos anggaran yang diajukan pemerintah dalam APBN, kecuali
isu-isu yang menarik atensi publik seperti kenaikan harga BBM, tapi pada saat
yang sama DPR sangat kuat memperjuangkan pos anggaran bagi dirinya. Hal ini
terlihat dari ide kontroversial pembangunan gedung baru DPR senilai Rp 1,6
triliun, dana aspirasi Rp 15 miliar per anggota (Rp 8,4 triliun), serta rumah
aspirasi Rp 200 juta per anggota (Rp 112 miliar dan Rp 3,3 triliun untuk
infrastruktur). Ada juga persoalan item bantuan dana negara yang diperuntukkan
bagi korban lumpur Lapindo yang lekat dengan isu barter politik Golkar dengan
PD dalam isu harga BBM. Terakhir, menjelang Pemilu 2014, dana reses anggota
Dewan dinaikkan menjadi sekitar Rp 1 miliar. Hal ini belum termasuk kasus
korupsi dan para mafia anggaran yang bekerja menggunakan jejaring proyek
negara. Akhirnya, Badan Anggaran DPR sudah telanjur dibayangkan publik sebagai
sentrum triangulasi korupsi: pemerintah, swasta, dan parlemen.
Ketiga, dalam hal pengawasan, anggota Dewan justru
cenderung menjadikan parlemen sebagai panggung akrobat politik yang
dipertontonkan di depan layar media. Sebagai misal, ketidakjelasan dan
ketidaktuntasan kasus Bank Century menjadi potret paling terang dari
ketidakseriusan DPR. Pun demikian dengan nasib hak angket mafia pajak. Jika
bukan alasan pencitraan, fungsi pengawasan DPR dalam beberapa kasus bersifat
reaksioner, seperti polemik hak interpelasi dalam kasus kongkalikong yang
terkait dengan anggota Dewan dan jajaran pimpinan BUMN.
Lepas dari catatan buruk tersebut, tentu ada beberapa poin
catatan yang bisa kita apresiasi, tapi poin itu tertutup oleh catatan-catatan
buram kinerja Dewan. Dengan melihat komposisi yang ada dalam DCT di atas,
sketsa DPR 2014-2019 berpotensi mempunyai potret yang mirip. Jika demikian,
parlemen yang memegang fungsi representasi publik justru akan menciptakan public distrust yang akhirnya mengubah
logika representasi publik menjadi representasi elite. Pada dasarnya, satu akar
masalah yang penting terkait dengan efek destruktif perilaku anggota Dewan
terhadap fungsi-fungsi parlemen adalah malfungsi partai politik.
Catatan buruk anggota Dewan ini terjadi karena beberapa
bentuk malfungsi partai: kaderisasi partai dalam nalar kartel, sistem rekrutmen
yang elektoralis, dan personalisasi partai politik oleh figur tunggal. Pertama,
nalar kartel yang menjadi logika kaderisasi politik di dalam partai diwujudkan
dalam bentuk transfer pengetahuan untuk mengamankan basis material organisasi
partai dan individu di dalamnya. Akibatnya, siapa pun yang menang berpotensi
membajak anggaran negara untuk menutup dana kampanye sebelumnya.
Kedua, partai politik cenderung melakukan rekrutmen
elektoralis dengan menggandeng siapa pun yang berpotensi dapat mengatrol
perolehan suara dalam pemilu, baik berdasarkan basis popularitas maupun basis
material orang. Akibatnya, rekrutmen elektoralis ini mempekerjakan anggota tak
becus. Akibatnya, legislasi parlemen demikian lambat dan kadang mandul kajian.
Ketiga, penunggalan kuasa partai menyebabkan anggota Dewan
melakukan representasi elite dengan mengikuti kehendak patron partai sekalipun
bertolak belakang dengan nalar pemecahan masalah kebijakan publik ataupun
aspirasi publik yang berkembang terkait dengan sebuah kebijakan. Namun kita
tetap bisa berharap semoga catatan suram 2009-2014 tak menjadi sketsa buram
periode 2014-2019. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar