Minggu, 07 April 2013

Keterpakuan vs Keleluasaan


Keterpakuan vs Keleluasaan
Sawitri Supardi Sadarjoen ;   Penulis Rubrik Konsultasi Psikologi Harian Kompas, Dekan Fakultas Psikologi Universitas YARSI
KOMPAS, 07 April 2013
  

Bagaimana mungkin antar-pasangan suami istri terpaku pada gelombang interaksi emosional tertentu? Ternyata ketidakmampuan mengekspresikan kemarahan tidak selalu menjadi inti masalah interaksi antar-pasangan suami istri.
Pada umumnya perempuan mudah sekali marah dan mampu mengekspresikan kemarahan dengan lancar. Padahal, marah adalah tindakan yang sama sekali tidak terarah, bahkan justru menjadikan masalah yang dihadapi menjadi semakin rumit. Sebenarnya kita semua tahu bahwa bila kita marah, kita tidak akan mendapatkan solusi yang kita inginkan. Karena itu, sangat logis bila kita harus mencari jalan lain agar kita memperoleh solusi permasalahan yang kita inginkan.
Kasus
Rina berjalan-jalan dan masuk ke sebuah toko buku kecil. Di sana ia menemukan buku tentang perkembangan anak balita. Ketika sampai pada bacaan tentang perkembangan motorik anak usia 8 bulan, Rina terkejut karena di sana ada perkembangan motorik yang belum dialami oleh Ika (anak pertama Rina).
Rina langsung merasa dirinya cemas dan berlanjut mencemaskan keterlambatan perkembangan motorik anaknya. Pada mulanya Deni, suami Rina, menanggapi kecemasan Rina, tetapi lama kelamaan ia berpendapat bahwa anaknya, Ika, tampak baik-baik saja. Namun, bagi Rina penjelasan dalam buku yang ditemukan tersebut begitu memengaruhi dirinya, yang membuat dirinya secara berlanjut merasa cemas, apalagi tampaknya setelah Ika berumur 10 bulan pun belum juga memperlihatkan keinginannya untuk belajar berjalan, kecemasan Rina pun semakin menjadi-jadi.
Rina tidak dapat menahan kecemasan dan secara berlanjut mengeluhkannya kepada Deni, yang sering justru membuat Deni kesal dan bahkan sesekali membentak Rina dengan keras. ”Sudahlah, jangan mengeluh terus, bosan saya mendengarnya,” demikian reaksi Deni terhadap keluhan Rina.
Melihat reaksi Deni, keluhan Rina berkembang menjadi agresif. Rina marah sekali kepada Deni karena Deni tidak melihat kelambanan perkembangan motorik Ika seperti dirinya. Terungkaplah hal sebagai berikut: ”Dasar kamu ayah yang tidak mau tanggung jawab, melihat perkembangan anak kurang optimal diam saja.”
Maka tanpa disadari, terjalin suatu interaksi yang berhenti pada titik keterpakuan dan akhirnya membentuk relasi yang didominasi oleh gelombang kemarahan demi kemarahan pada kedua pasangan yang tidak saja menyangkut pada hambatan perkembangan motorik Ika, anak mereka, tetapi menyangkut masalah-masalah lain yang dihadapi dalam rumah tangga mereka. Tentu saja ungkapan Rina terlampau berlebihan dan ungkapan reaksi emosional tersebutlah yang membuat Deni menjadi terdiam seribu bahasa.
Analisis Kasus
Secara intelektual kita mengenali bahwa mengulang upaya-upaya yang tidak efektif tidak akan menghasilkan apa pun, bahkan justru akan menyebabkan situasi menjadi lebih buruk. Sayangnya kita sering terpaku pada reaksi emosi seperti halnya dilakukan oleh Rina, terutama kalau kita berada dalam situasi penuh stres.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Pertengkaran berulang bisa menjadi cara kita untuk mengatasi kecemasan kita akan kemungkinan terjadinya perubahan. Pertengkaran yang tidak efektif sering menjadi perisai bagi kita untuk menahan waktu agar kita terhindar dari kemungkinan kejelasan fakta yang harus kita hadapi dan justru akan membuat kita benar-benar merasa terancam.
Dalam hal ini, ketakutan Rina akan kenyataan bahwa Ika memang benar-benar mengalami kelambanan perkembangan motorik, sebagai, misalnya cacat bawaan, membuat diri Rina merasa sangat terancam. Dengan mempertahankan keterpakuan reaksi yang ditandai oleh gelombang kemarahan yang tidak efektif tersebut, tanpa kita sadari, akhirnya tiba waktunya kita merasa yakin betul bahwa kita mendapatkan keleluasaan ekspresi emosi baik yang positif maupun yang negatif, tanpa perasaan tertekan yang berarti.
Solusi
Hendaknya Rina mencari kerabat lain untuk mengungkapkan kecemasannya tentang kelambanan perkembangan motorik Ika. Kebetulan kerabatnya menganjurkan Rina berkonsultasi dengan dokter ahli penyakit anak terkemuka di kota tempat tinggal Rina, sekaligus menyarankan agar mengajak Deni.
Kenyataan apa yang akhirnya ditemukan oleh Rina dan Deni? Setelah dokter memeriksa fungsi saraf Ika secara menyeluruh, dokter menyatakan bahwa Ika normal. Dokter kemudian menjelaskan bahwa masalah perkembangan anak pada buku yang dibaca Rina adalah simpulan dari beribu kasus perkembangan motorik pada anak-anak seumur Ika. Namun, setiap anak memiliki karakter individual dalam setiap aspek perkembangan motoriknya, jadi tidak perlu cemas.
Memang benar, akhirnya pada usia 1 tahun 1 bulan, Ika mengalami proses percepatan perkembangan motorik, dari beberapa langkah awal sambil ditetah oleh Rina, Ika kemudian langsung mampu melangkah sendiri sambil melepas pegangan tangan ibunya.
Jadi Ika bisa berjalan, tetapi tidak diawali oleh keterampilan merangkak seperti pada umumnya anak-anak lain. Maka, serta-merta keterpakuan terhadap gelombang interaksi kemarahan antara Rina dan Deni sebagai pasangan suami-istri berubah menjadi gelombang keleluasaan interaksi antar-pasangan secara emosional baik yang positif maupun negatif yang membuat kedua pasangan merasa nyaman dalam kebersamaan mereka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar