Bagaimana mungkin antar-pasangan
suami istri terpaku pada gelombang interaksi emosional tertentu? Ternyata
ketidakmampuan mengekspresikan kemarahan tidak selalu menjadi inti
masalah interaksi antar-pasangan suami istri.
Pada umumnya perempuan mudah
sekali marah dan mampu mengekspresikan kemarahan dengan lancar. Padahal,
marah adalah tindakan yang sama sekali tidak terarah, bahkan justru
menjadikan masalah yang dihadapi menjadi semakin rumit. Sebenarnya kita
semua tahu bahwa bila kita marah, kita tidak akan mendapatkan solusi yang
kita inginkan. Karena itu, sangat logis bila kita harus mencari jalan
lain agar kita memperoleh solusi permasalahan yang kita inginkan.
Kasus
Rina berjalan-jalan dan masuk ke
sebuah toko buku kecil. Di sana ia menemukan buku tentang perkembangan
anak balita. Ketika sampai pada bacaan tentang perkembangan motorik anak
usia 8 bulan, Rina terkejut karena di sana ada perkembangan motorik yang
belum dialami oleh Ika (anak pertama Rina).
Rina langsung merasa dirinya
cemas dan berlanjut mencemaskan keterlambatan perkembangan motorik
anaknya. Pada mulanya Deni, suami Rina, menanggapi kecemasan Rina, tetapi
lama kelamaan ia berpendapat bahwa anaknya, Ika, tampak baik-baik saja.
Namun, bagi Rina penjelasan dalam buku yang ditemukan tersebut begitu
memengaruhi dirinya, yang membuat dirinya secara berlanjut merasa cemas,
apalagi tampaknya setelah Ika berumur 10 bulan pun belum juga
memperlihatkan keinginannya untuk belajar berjalan, kecemasan Rina pun
semakin menjadi-jadi.
Rina tidak dapat menahan
kecemasan dan secara berlanjut mengeluhkannya kepada Deni, yang sering
justru membuat Deni kesal dan bahkan sesekali membentak Rina dengan
keras. ”Sudahlah, jangan mengeluh terus, bosan saya mendengarnya,”
demikian reaksi Deni terhadap keluhan Rina.
Melihat reaksi Deni, keluhan
Rina berkembang menjadi agresif. Rina marah sekali kepada Deni karena
Deni tidak melihat kelambanan perkembangan motorik Ika seperti dirinya.
Terungkaplah hal sebagai berikut: ”Dasar
kamu ayah yang tidak mau tanggung jawab, melihat perkembangan anak kurang
optimal diam saja.”
Maka tanpa disadari, terjalin
suatu interaksi yang berhenti pada titik keterpakuan dan akhirnya
membentuk relasi yang didominasi oleh gelombang kemarahan demi kemarahan
pada kedua pasangan yang tidak saja menyangkut pada hambatan perkembangan
motorik Ika, anak mereka, tetapi menyangkut masalah-masalah lain yang
dihadapi dalam rumah tangga mereka. Tentu saja ungkapan Rina terlampau
berlebihan dan ungkapan reaksi emosional tersebutlah yang membuat Deni
menjadi terdiam seribu bahasa.
Analisis Kasus
Secara intelektual kita
mengenali bahwa mengulang upaya-upaya yang tidak efektif tidak akan
menghasilkan apa pun, bahkan justru akan menyebabkan situasi menjadi
lebih buruk. Sayangnya kita sering terpaku pada reaksi emosi seperti
halnya dilakukan oleh Rina, terutama kalau kita berada dalam situasi
penuh stres.
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Pertengkaran berulang bisa menjadi cara kita untuk mengatasi kecemasan
kita akan kemungkinan terjadinya perubahan. Pertengkaran yang tidak
efektif sering menjadi perisai bagi kita untuk menahan waktu agar kita
terhindar dari kemungkinan kejelasan fakta yang harus kita hadapi dan
justru akan membuat kita benar-benar merasa terancam.
Dalam hal ini, ketakutan Rina
akan kenyataan bahwa Ika memang benar-benar mengalami kelambanan
perkembangan motorik, sebagai, misalnya cacat bawaan, membuat diri Rina
merasa sangat terancam. Dengan mempertahankan keterpakuan reaksi yang
ditandai oleh gelombang kemarahan yang tidak efektif tersebut, tanpa kita
sadari, akhirnya tiba waktunya kita merasa yakin betul bahwa kita
mendapatkan keleluasaan ekspresi emosi baik yang positif maupun yang
negatif, tanpa perasaan tertekan yang berarti.
Solusi
Hendaknya Rina mencari kerabat
lain untuk mengungkapkan kecemasannya tentang kelambanan perkembangan
motorik Ika. Kebetulan kerabatnya menganjurkan Rina berkonsultasi dengan
dokter ahli penyakit anak terkemuka di kota tempat tinggal Rina,
sekaligus menyarankan agar mengajak Deni.
Kenyataan apa yang akhirnya
ditemukan oleh Rina dan Deni? Setelah dokter memeriksa fungsi saraf Ika
secara menyeluruh, dokter menyatakan bahwa Ika normal. Dokter kemudian
menjelaskan bahwa masalah perkembangan anak pada buku yang dibaca Rina
adalah simpulan dari beribu kasus perkembangan motorik pada anak-anak
seumur Ika. Namun, setiap anak memiliki karakter individual dalam setiap
aspek perkembangan motoriknya, jadi tidak perlu cemas.
Memang benar, akhirnya pada usia
1 tahun 1 bulan, Ika mengalami proses percepatan perkembangan motorik,
dari beberapa langkah awal sambil ditetah oleh Rina, Ika kemudian
langsung mampu melangkah sendiri sambil melepas pegangan tangan ibunya.
Jadi Ika bisa berjalan, tetapi
tidak diawali oleh keterampilan merangkak seperti pada umumnya anak-anak
lain. Maka, serta-merta keterpakuan terhadap gelombang interaksi
kemarahan antara Rina dan Deni sebagai pasangan suami-istri berubah
menjadi gelombang keleluasaan interaksi antar-pasangan secara emosional
baik yang positif maupun negatif yang membuat kedua pasangan merasa
nyaman dalam kebersamaan mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar