Sebagai salah satu filsuf
kontemporer Eropa yang terkemuka, Slavoj Zizek mulai diperbincangkan di
Indonesia beberapa tahun terakhir ini. Namun, perbincangan itu masih
sebatas dalam ranah filsafat, sementara ruang lingkup konsep teoretis
Slavoj sangatlah luas. Slavoj melakukan kajian terhadap beragam obyek,
seperti karya-karya filsafat, film, sastra, iklan, perang, wacana, syair
lagu, dan video klip. Konsep dasar yang digunakan Slavoj untuk mengkaji
beragam obyek tadi adalah konsep subyek dan tindakannya.
Sebagai seorang marxis, Slavoj
percaya bahwa subyek masih ada, yakni subyek yang mengubah struktur dan
menjalankan sejarah dengan tindakannya. Namun, seperti halnya Jacques Lacan,
subyek bagi Slavoj tidak pernah utuh, selalu terbelah dalam hubungannya
dengan Yang Riil, Yang Imajiner, dan Yang Simbolik. Subyek terdiri atas
atau tidak bisa dilepaskan dari ketiga aspek tersebut. Yang Simbolik
adalah apa yang dikenal sebagai realitas yang (telah) terbahasakan.
Secara konkret, Yang Simbolik mewujud pada seluruh arena, wacana,
institusi, ataupun gagasan yang ada dalam sebuah masyarakat.
Yang Riil secara sederhana
dipahami sebagai dunia sebelum ditangkap oleh bahasa atau arena yang masih
belum terbahasakan. Yang Riil tidak mungkin menampakkan diri kecuali
aspek-aspek atau gejalanya melalui apa yang bernama Yang Imajiner, yakni
ruang di mana terdapat sisa kegagalan dalam menerjemahkan Yang Riil.
Ketidakmampuan menggapai Yang
Riil atau tembok yang selalu diciptakan Yang Simbolik membuat subyek
selalu bergerak demi mencapai keutuhan. Tindakan selalu bergerak inilah
yang mampu mengubah struktur (Yang Simbolik) sejauh ia bersifat radikal.
Bagi Slavoj, tindakan dibedakan
dengan hanya sekadar aksi. Tindakan harus radikal. Seorang subyek yang
bertindak radikal adalah yang mampu melepaskan diri dari segala yang
melekat di dirinya, melepaskan diri, menjaga jarak atau sekadar
mengacaukan tatanan Yang Simbolik. Subyek yang terus- menerus bergerak itu
berpotensi menjadi subyek yang bebas dan otentik.
Sastrawan Sebagai Subyek
Sastrawan sebagai subyek juga
mampu menunjukkan kualitas tindakannya yang radikal menuju keotentisan.
Tindakan itu bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-harinya dan terutama
dalam menulis karya sastra. Seperti subyek lainnya, sastrawan mempunyai
keterbelahan dalam tiga aspek Yang Riil, Yang Simbolik, dan Yang
Imajiner.
Yang Riil dalam diri sastrawan
tecermin melalui keinginannya atau harapannya untuk bebas, melepaskan
diri, bahkan dalam penolakannya terhadap berbagai ideologi atau aturan
Yang Simbolik. Yang Riil ini muncul pada momen-momen traumatik dan
mendeotomatisasi hidup pengarang itu sendiri sehingga ia tidak pernah
stagnan atau berada dalam kondisi totalitas tertentu. Proses tersebut
bisa terlihat ketika kita mengamati perjalanan pemikiran seorang
sastrawan ataupun pergeseran karakter karya-karyanya.
Sementara itu, Yang Imajiner
merupakan ruang di mana trauma muncul. Trauma itu tidak hanya yang
bersifat psikis, tetapi juga ideologis. Artinya, ketika pengarang hidup
dalam kungkungan ideologi tertentu, ketika ideologi mulai melakukan
totalisasi, maka lack dari ideologi itu akan muncul dan potensi
trauma menjadi semakin besar. Yang Imajiner ini juga menyediakan
ruang-ruang fantasi yang kemudian oleh pengarang ”dikonkretkan” dengan
dan dalam karya sastra. Misalnya, seorang Pramoedya dalam banyak novelnya
menolak feodalisme dengan menawarkan sosialisme atau humanisme, untuk
kemudian meninggalkan dan menawarkan hal lain lagi.
Yang Simbolik di dalam
analisis-analisis Slavoj terhadap sastra serta dalam kaitannya dengan
pengarang sebagai subyek dimaksudkan untuk menyebut masyarakat pada
umumnya dengan gagasan dan pandangan yang eksis di dalamnya. Yang
Simbolik bisa terlembaga dalam bentuk institusi-institusi kesastraan
ataupun kepercayaan umum yang lingkupnya lebih sempit.
Karya Sastra Sebagai Tindakan
Berdasarkan cara Slavoj
memperlakukan karya sastra dan hubungannya dengan pengarang, maka karya
sastra dapat disebut sebagai tindakan. Konsep tindakan ini diartikan
sebagai upaya pengarang dengan karya sastranya melakukan radikalisasi
terhadap Yang Simbolik. Karya sastra sebagai tindakan dibedakan dengan
karya sastra sebagai cermin atau alat. Konsep karya sastra sebagai
cermin/gambaran/dan lain-lain yang sifatnya reflektif berarti mengukuhkan
karya sastra itu sendiri sebagai bagian dari Yang Simbolik. Sementara
sebagai alat, berarti memisahkan entitas karya sastra itu dari diri
pengarangnya. Sementara sebuah tindakan dipahami dalam satu kesatuan
dengan subyek.
Karena karya sastra mengandung
tindakan pengarang, maka di dalamnya ada satu kegiatan yang aktif dari
seorang pengarang. Slavoj menemukan aktivitas tersebut dalam bentuk
pergerakan sudut pandang. Yang menentukan sudut pandang ini adalah
pengarang. Pada karya sastra, pengarang bisa menjadi narator atau orang
di luar cerita yang menggunakan matanya untuk melihat peristiwa yang
terjadi di dalamnya.
Ia adalah pelaku semua pekerjaan
membangun cerita. Penceritalah yang mengemukakan prinsip-prinsip dasar
penilaian, dialah yang menyembunyikan atau mengutarakan pikiran para
tokoh. Dialah yang memilih antara ujaran langsung dan ujaran yang
disesuaikan, antara urutan peristiwa secara kronologis atau
pemutarbalikan waktu peristiwa. Pendek kata, pengarang sangat menentukan
pergerakan di dalam karyanya.
Dari tindakannya dalam
menentukan sudut pandang itu akan terlihat sejauh mana karakter radikal
seorang pengarang. Jikalau tokoh-tokoh di dalam karya sastra dianggap
menjadi bagian dari Yang Simbolik tertentu, bagaimana pengarang
menempatkan, menceritakan, mendekati atau menjauhinya, memasuki atau
menghindari akan menunjukkan sejauh mana karakter radikal dari pengarang
tersebut.
Bagaimana Pramoedya bersikap
sebagai narator dalam salah satu novelnya, misal Perburuan, dapat
menjadi contoh yang baik dalam menerangkan determinasi pergerakan sudut
pandang tadi. Sebagai narator, Pramoedya suatu ketika masuk ke dalam
tubuh Hardo (sebab Pram bisa mengetahui suara hati tokoh Hardo). Pram
adalah Hardo yang mengelak seluruh keluarganya, meninggalkan rumahnya
yang nyaman, melepaskan kedudukannya sebagai shodanco dan
tunangannya yang cantik untuk memberontak serta hidup dalam pelarian.
Semua itu dilakukan untuk menghindarkan diri dari totalisasi Yang
Simbolik feodalisme, kolonialisme, nasionalisme sempit dan bahkan
familialisme (kekeluargaan).
Subyek harus selalu bergerak
menghindari totalisasi untuk bisa semakin dekat dengan Yang Riil. Dengan
bergerak pula, struktur akan berubah dan relasi hierarkis ataupun yang
otoritatif akan terhindarkan. Keterkaitan antara Yang Simbolik di dalam
novel dengan yang ada dalam kehidupan nyata seorang Pram kemudian
dicermati bentuk-bentuknya, apakah menunjukkan kesejajaran, keterbalikan
atau bentuk yang lain yang spesifik sesuai konteks sosiologis dan
historis seorang Pramoedya.
Konsep-konsep dari Slavoj dan
contoh penerapannya di atas memiliki peluang besar bukan hanya sebagai
bagian dari perkembangan kajian atas karya sastra dan sastrawan di
Indonesia pada umumnya, melainkan menjadi sebuah keniscayaan ketika kita
sadari begitu banyak sastrawan Indonesia yang menunjukkan karakter dan
potensi menjadi subyek yang bebas dan otentis. Terpenting lagi, alih-alih
dianggap sebagai sesuatu yang destruktif, teori sastra Slavoj memberikan
peluang kepada tindakan radikal sebuah pemahaman yang lebih produktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar