Eksperimentasi
Hukuman Mati
Agus Riewanto ; Peneliti Hukum dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum
Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 20 September 2012
“Fatwa NU itu tidak bertentangan dengan konstitusi
dan tradisi hukum internasional, bahkan dapat dijadikan landasan moral bagi
eksperimentasi penerapan hukum mati untuk kasus-kasus korupsi yang berskala
`megakorupsi' sebagai shock therapy dan ultimum remedium pada koruptor.”
PERSOALAN
korupsi tidak bisa dianggap biasa di negeri ini karena telah menjadi penyakit
kronis yang hinggap di semua ranah, dari eksekutif, legislatif, yudikatif,
hingga partai politik. Atas dasar itulah belum lama ini Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan fatwa hukum mati untuk koruptor sebagai
bentuk kepedulian ulama terhadap dekadensi moralitas penegakan hukum di negeri
ini (Media Indonesia, 18 September 2012).
Fatwa
NU itu selayaknya menjadi cambuk bagi pemberantasan korupsi di negeri ini sebab
harus diakui ternyata mencegah dan memberantas korupsi tak cukup hanya
menggunakan mekanisme konvensional yang cenderung mekanistis dan tak berhasil.
Karena itu, fatwa NU tersebut perlu dipertimbangkan dalam praktik penegakan
hukum di negeri ini.
Aspek Legalitas
Sesungguhnya
sanksi hukum mati tidak bertentangan dengan semangat HAM yang diberikan
konstitusi kepada warga negara, mulai Pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945
pascaamendemen, bahkan Pasal 28J, menegaskan hak asasi seseorang digunakan
dengan harus menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi
berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial.
Dasar
itu perlu diteruskan dalam semangat pemberantasan korupsi dengan penerapan
hukum mati kepada para koruptor. Pidana mati itu pun tidak bertentangan dengan
semangat UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang juga menyatakan pembatasan hak
asasi seseorang dengan adanya hak orang lain demi ketertiban umum.
Kendati
hingga akhir 2009 telah ada 129 negara di dunia yang menghapus ancaman hukuman
mati dalam semua peraturan perundangan, di Mahkamah Internasional tercatat
masih ada lebih dari 68 negara di dunia yang mempertahankan ancaman hukum mati
dalam berbagai peraturan perundangan, yakni Indonesia, Malaysia, dan kawasan
Asia lainnya.
PBB
juga pernah mengeluarkan Resolusi No 1984/50, 25 Mei 1984 (Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the
Death Penalty) yang masih memberikan pilihan hukum pada negara anggota PBB
dalam memberikan sanksi pidana, termasuk sanksi hukuman mati. Namun, itu harus
memenuhi kriteria penerapan hukuman mati, yakni dalam kasus yang dianggap luar
biasa bagi suatu negara, dilakukan dengan selektif, dan berdasarkan pada fakta
dan bukti yang tak terbantahkan.
Untuk
Indonesia, beberapa pasal dalam KUHP masih menerapkan ancaman hukuman mati.
Lihat Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 123, 124, 140 ayat (3), dan Pasal
340. Belum lagi beberapa pasal dalam undangundang terkait lainnya, seperti
Pasal 36, 37, 41, 42, dan Pasal 42 ayat (3) UU No 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM dan Pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15, dan 16 UU Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Terorisme.
Karena
itu, sesungguhnya penerapan segera hukuman mati untuk koruptor sangat
konstitusional. Selain dimaksudkan untuk membuat efek jera pada pelaku di
masyarakat, hal itu diharapkan memberikan efek psikologis efektif bagi
pencegahan korupsi yang telanjur sistemis di negeri ini.
Bagi
yang berpandangan kontra, hukum mati pada kasus-kasus pidana umum (ordinary crimes) dianggap tidak senapas
dengan prinsip yang diatur dalam Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan
Politik atau International Convention for
Civil and Political Rights (ICCPR) tentang hak untuk hidup. Indonesia pun
secara konstitusional telah meratifikasi konvensi internasional, yakni ICCPR
Tahun 1966 diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Juga Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam tidak
Manusiawi dan Merendahkan Martabat Tahun 1984 diratifi kasi dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1998. Hak tersebut menjadi prinsip hukum terpenting dalam
Deklarasi PBB dan Konvensi Antipenyiksaan, yang berlaku secara universal bagi
setiap manusia yang harus dilin dungi dan tiada satu badan pun (termasuk
negara) yang dapat mencabut hak itu (Achiel
Suyanto S, 2007 dan Todung Mulya Lubis, 2006).
Namun,
eksistensi hukuman mati untuk tindak pidana khusus dan kejahatan serius, seperti
korupsi, tidak serta-merta melanggar perjanjian internasional, termasuk ICCPR.
Bila dibaca secara saksama Pasal 6 ayat (2) ICCPR itu sendiri bahkan
membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus
untuk kejahatan yang paling serius. Apalagi Indonesia tidak menganut model HAM yang
mutlak, tetapi dibatasi hak hidup orang lain. Terlebih jika dikaitkan dengan
hak antara pelanggar hukum dan korban kejahatan yang harus diberi ruang yang
seimbang (balance) dalam akomodasi HAM di ranah UUD 1945 dan berbagai peraturan
di bawah UUD 1945, termasuk KUHP dan KUHAP.
Eksperimentasi Hukum
Agar
eksperimentasi penerapan hukuman mati untuk koruptor itu tidak menimbulkan
pelanggaran HAM baru, tentu saja diperlukan sensitivitas dan ketelitian para
penegak hukum (jaksa dan hakim) dalam menjatuhkan sanksi hukuman mati agar di
kemudian hari ketika terpidana telah dieksekusi tidak terdapat kekeliruan dalam
memutuskan suatu perkara.
Seperti
tecermin dalam kasus salah pemberian sanksi terhadap diri Sengkon dan Karta
pada 1974 di Desa Bojongsari, Bekasi, Jabar. Keduanya sempat dihukum 7 dan 12
tahun atas tuduhan pembunuh an dan perampokan suami istri Sulaiman-Siti Haya,
tetapi belakangan diketahui pembunuhnya bukan Sengkon dan Karta. Namun, jaksa
dan hakim telanjur meng hukum Sengkon dan Karta.
Di
samping itu, perlunya mempercepat proses eksekusi pidana mati karena itu
menjadi penyakit lain dalam penerapan hukuman mati selama ini dalam berbagai
kasus pidana dengan pemberatan. Faktanya puluhan orang kini masih menunggu
giliran untuk eksekusi, tetapi tidak ada kejelasannya. Soal teknis selalu
menjadi kendala, misalnya administrasi dan menunggu grasi presiden. Pendeknya,
penundaan eksekusi pidana mati akan berefek negatif pada narapidana, yakni
ketidakpastian hukum dan dampak secara psikologis lainnya.
Pada intinya, fatwa NU itu tidak bertentangan
dengan konstitusi dan tradisi hukum internasional, bahkan dapat dijadikan
landasan moral bagi eksperimentasi penerapan hukum mati untuk kasus-kasus
korupsi yang berskala ‘megakorupsi’ sebagai shock
therapy dan ultimum remedium pada
koruptor. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar