Minggu, 22 Oktober 2017

Pancasila, Esa dan Ketuhanan Kita

Pancasila, Esa dan Ketuhanan Kita
Syaiful Arif ;   Tenaga Ahli pada Deputi Pengkajian dan Materi Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP Pancasila)
                                                      KOMPAS, 21 Oktober 2017



                                                           
Ruang publik kita sempat diramaikan oleh munculnya diskursus tentang ketuhanan menurut Pancasila akibat pernyataan kontroversial Eggi Sudjana yang menyebut teologi non-Islam sebagai teologi yang bertentangan dengan Pancasila.

Artikel ini hendak menjernihkan persoalan tersebut sehingga kita tidak terjebak dalam kesilap-pandangan massal. Sejatinya, pemahaman kita terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa masih belum menyentuh konsepsi dasarnya sendiri. Sebab, arti esa sebagai satu tak sepenuhnya tepat karena ia tak menggunakan definisi awalnya. Dalam bahasa Sanskerta, arti satu diwakili oleh kata tunggal, sebagaimana seloka Bhinneka Tunggal Ika (Beragam itu, Satu itu).  Sementara kata esa hanya bisa dipahami dalam terminologi Buddhisme. Ia tak merujuk pada arti satu, melainkan kekosongan (Sunnata) yang adalah prinsip dasar dari segala sesuatu, serta hakikat dari kondisi spiritual (Iqbal, 2017).

Sunnata (kekosongan dari diri) merupakan jalan spiritual untuk menghilangkan ego yang telah menyebabkan kemelekatan. Kemelekatan inilah yang menjadi dosa besar bagi Buddhisme karena ia menciptakan dhuka. Jadi duka itu sebenarnya kondisi kegelapan spiritual ketika seseorang terlalu melekat pada dunia dan kediriannya (Sankhittena pancupadanakkhanda-dukkha).

Untuk menghapus kemelekatan, Buddhisme tak hanya menganjurkan jalan spiritual, tetapi juga metode berpikir. Maka, hakikat sesuatu sebenarnya kosong karena ia terbentuk oleh ketergantungan musabab (pratituasamutpada). Oleh karenanya, tidak ada yang absolut di dunia ini karena semua hal disebabkan oleh rangkaian sebab-akibat.

Dengan merelatifkan sesuatu, Buddhisme ingin mengajak umatnya terbebas dari konsep, doktrin, dan pemahaman yang menghalangi perjalanan spiritual. Seperti membersihkan debu yang menutupi kacamata agar penglihatan kita jernih.

Dengan cara ini, manusia diajak mengosongkan pikiran demi pengosongan hati dari kemelekatan. Tepat dalam kondisi seperti inilah, seseorang bisa mendapatkan pencerahan dan kebahagiaan tak terbatas. Lalu apa maksud Tuhan itu Sunnata? Bukankah Buddhisme tak mengenal konsep Tuhan, sebagaimana didakwakan Eggi Sudjana?

Sebagai bagian dari tradisi non-monoteisme, agama Buddha memang tidak memahami Tuhan sebagai person, melainkan kondisi spiritual. Jika di dalam Islam, Buddhisme sebenarnya sangat dekat dengan sufisme yang bertujuan membersihkan diri agar potensi Ilahiah di dalam diri jadi aktif. Nasihat Sang Buddha, ”Perdebatan tentang Tuhan yang tak menghasilkan kebijaksanaan adalah kesia-siaan”. Maka pengabdian kepada Tuhan dijalankan oleh umat Buddha melalui pembersihan hati agar mampu menapaki jalan-jalan ketuhanan yang hakiki.

Dengan demikian, alih-alih agama Buddha bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, karena kata esa itu sendiri kosakata Buddhisme yang tak akan dipahami tanpa memahami tradisi dan falsafah agama ini. Penafsiran seperti ini juga ada di agama lain, termasuk Kristen, Katolik, Hindu, Khonghucu, dan Islam dengan konsep beragam.

Persatuan keragaman

Rangkaian makna kata esa menurut Buddhisme menunjukkan bahwa setiap agama punya penafsiran dan pemahaman sendiri tentang ketuhanan sehingga tidak bisa dinafikan berdasarkan perspektif agama tertentu.

Soekarno sendiri dalam pidato kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945, menegaskan, ”Prinsip Indonesia merdeka ialah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Almasih, yang Islam menurut petunjuk Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Segenap rakyat Indonesia hendaknya bertuhan: secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme-agama, ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain”.

Sejak awal Pancasila telah menyadari realitas kemajemukan agama di negeri ini dan menganjurkan toleransi demi pola beragama yang beradab. Pada titik ini, terdapat beberapa prinsip dasar ketuhanan yang termuat dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Pertama, ketuhanan Pancasila tak merujuk pada pribadi Tuhan (kata benda), melainkan nilai-nilai yang diperintahkan Tuhan. Nilai-nilai itu menurut Yudi Latif (2014) ialah ketuhanan yang welas asih dan lapang dada.

Kita diperintahkan untuk menauladani sifat welas asih (Rahman, Rahim)-Nya, melalui cara beragama yang lapang dada (toleran). Ini ditegaskan misalnya dalam Surat Al Maidah: 48, di mana Allah memerintahkan kita menghargai kemajemukan yang sengaja diciptakan-Nya, dengan menjadikan ”perlombaan berbuat baik” sebagai parameter utama dalam menyikapi perbedaan.

Kedua, Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip umum ketuhanan semua agama. Jadi ia tak hanya milik Islam karena setiap agama memiliki konsepsi ketuhanan berbeda-beda. Makna kata esa seperti perspektif Buddhisme menunjukkan bahwa agama Buddha juga memiliki konsep di dalam sila pertama Pancasila.

Dilepaskannya ketuhanan Pancasila dari konsep agama tertentu terjadi sejak tujuh kata ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus 18 Agustus 1945. Sejak itu, sila ketuhanan jadi milik semua agama. Meski demikian, oleh Soekarno pada 1959, tujuh kata Piagam Jakarta itu tetap ditempatkan sebagai ”jiwa” UUD 1945. Artinya, spirit Islam tetap mendasari Pancasila dan bangunan konstitusional negara.

Ketiga, ketuhanan Pancasila yang menaungi semua tradisi agama juga jadi dasar yuridis bagi persamaan hak semua umat beragama di hadapan hukum. Jadi, Pancasila melindungi semua agama meski belum semuanya dilayani melalui fasilitas birokrasi negara. Pada titik inilah Pancasila bukan hanya milik satu golongan, tetapi semua warga Indonesia.

Berdasarkan pandangan ini, maka Eggi bukan hanya tak memahami konsep ketuhanan Pancasila, tetapi juga tak mengerti konsepsi Pancasila itu sendiri. Membaca Pancasila tak bisa melalui pembacaan yang memisahkan keterkaitan antarsila. ”Pancasila ialah sistem nilai yang bulat yang dibentuk oleh keterhubungan antar-sila”. Demikian rumus paradigma Pancasila menurut Notonagoro (1952).

Dengan mengklaim sila ketuhanan hanya milik umat Islam, Eggi telah memisahkan sila ketuhanan dengan keempat sila lain. Dalam terang keterkaitan antar-sila ini, ketuhanan bukan merupakan doktrin teologis an sich, tetapi pendasaran religius bagi prinsip persatuan dalam keragaman (unity in diversity). Oleh karenanya, alih-alih hanya sesuai dengan teologi Islam, ketuhanan Pancasila justru menaungi semua teologi agama di Indonesia.

Apakah dengan demikian Pancasila menganut prinsip penyamaan semua agama (wahdatul adyan) yang dilarang Majelis Ulama Indonesia? Tentu tidak, karena teologi Pancasila sudah menurunkan statusnya dari teologi metafisik menjadi teologi etis bagi pelaksanaan moralitas agama-agama. Ini terjadi karena sila ketuhanan diterjemahkan dan diamalkan melalui nilai kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan yang merupakan prinsip utama moralitas publik.

Teologi Pancasila juga jadi dasar bagi perlindungan UU terhadap kebebasan beragama, bukan sebagai dasar bagi penentu, mana agama yang benar dan mana yang salah. Wallahu ’alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar