Rabu, 14 Oktober 2015

Kritik Sastra dalam Peristiwa Kebudayaan

Kritik Sastra dalam Peristiwa Kebudayaan

Asef Saeful Anwar  ;   Sastrawan; Cerpenis
                                                       KOMPAS, 11 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam pengantarnya di buku The Function of Criticism, Eagleton (1996: iii) menyatakan bahwa kritik sastra dewasa ini tidak memiliki fungsi sosial yang substantif. Bagi Eagleton, kritik sastra hanya menjadi bagian dari cabang pemasaran industri buku atau seluruhnya bersifat internal dalam lingkungan perguruan tinggi. Apa yang diungkapkan Eagleton hampir dua dekade lalu itu terjadi di Indonesia pada masa sekarang.

Fungsi sosial kritik sastra di Indonesia hampir jauh dari masyarakatnya. Kritik sastra akademik yang dihasilkan ribuan mahasiswa sastra seolah mandek di perpustakaan kampus. Jangankan masyarakat sastra, para pengarang yang karyanya dibahas pun mungkin tidak tahu apa fungsi kritik itu terhadap perkembangan karier kepenulisan mereka. Sementara kritik yang muncul di media massa kebanyakan resensi yang lebih banyak bersifat seperti promosi untuk buku sastra terkait. 

Padahal, Eagleton menemukan fakta bahwa secara historis konsep modern mengenai kritik sastra sangat erat bila dikaitkan dengan bangkitnya publik liberal borjuis abad ke-18 di Inggris. Sastra, pada waktu itu, mampu membantu gerakan emansipasi kelas menengah sebagai alat untuk memperoleh harga diri serta mengungkapkan tuntutan-tuntutan manusiawi melawan negara absolut dan masyarakat hierarkis. Eagleton menguatkan pendapatnya dengan mengutip pandangan Peter Hohendahl bahwa pada masa pencerahan konsep kritik tidak dapat dilepaskan dari lembaga lingkup publik. Diskusi sastra yang sebelumnya berperan sebagai bentuk pengesahan masyarakat istana di dalam ruang-ruang aristokratik menjadi suatu arena untuk merintis jalan bagi diskusi politik dalam kelas-kelas menengah.

Fakta yang ditunjukkan Eagleton dan Hohendahl ini meluaskan pandangan bahwa (1) kritik sastra tidak hanya berupa tulisan, tetapi juga diskusi-diskusi tentang karya sastra, dan (2) fungsi dari kritik sastra tidak berhenti pada lingkup ilmu sastra saja, tetapi dapat pula menggerakkan masyarakat dan membangun kebudayaannya. Muara dari kedua fakta tersebut adalah bahwa kritik sastra dapat berasal dari sebuah peristiwa kebudayaan. Dengan demikian, siapa pun boleh mengeluarkan kritik sastra tanpa harus menuliskannya sehingga (penulisan) sejarah sastra perlu meluaskan kerjanya tidak hanya pada peristiwa-peristiwa kebudayaan, tetapi juga perlu pula menelisik sudah sejauh mana fungsi kritik sastra dalam perkembangan kebudayaan suatu masyarakat.  

Guna mengetahui hubungan kritik sastra dan perkembangan kebudayaan di Indonesia, polemik kebudayaan yang terjadi sebelum kemerdekaan dapat menjadi titik mula kajian. Polemik kebudayaan yang mengemuka sebelum Indonesia merdeka tidak dapat dilepaskan dari adanya kritik sastra terhadap karya Sanusi Pane yang dianggap mengagungkan budaya Timur dan karya Sutan Takdir Alisjahbana yang dianggap mewakili budaya Barat. Kritik sastra saat itu telah turut ambil bagian dalam perumusan awal bagaimana pembangunan kebudayaan di Indonesia akan dimulai.

Sejarah kemudian juga mencatat tindakan saling kritik antara Manikebu dan Lekra yang turut pula menggerakkan masyarakat untuk ikut merumuskan kebudayaan barunya yang lepas dari garis kekuasaan Orde Lama menuju Orde Baru. Pada posisi yang demikian tidak jelas apakah kritik sastra dimasuki atau masuk ke dalam ranah politik, tetapi apa yang tersirat kemudian adalah lahirnya gaya baru dalam kepenulisan karya sastra yang turut memengaruhi kebudayaan masyarakat Orde Baru dalam dimensi humanisme universal. 

Sastra kontekstual

Kemudian pernah muncul pula perdebatan sastra kontekstual pada pertengahan dekade 1980-an. Pada peristiwa tersebut, sastra dikritik dari sudut pandang fungsi sosialnya. Kritik ini tentu menginginkan karya sastra yang membangun kebudayaan masyarakatnya dan tidak sekadar menghibur pembacanya untuk menghabiskan waktu luang. Tercatat pula peristiwa- peristiwa kebudayaan lain tempat kritik sastra muncul dan mengambil peran penting dalam pembangunan kebudayaan, seperti merebaknya sastra sufistik yang mulai menggerakkan kaum muslim kelas menengah.

Uraian di atas hanyalah awal lintasan persinggungan antara kritik sastra dan perkembangan kebudayaan Indonesia sebagai salah satu jalan mengetahui pergeseran fungsi kritik sastra di negeri ini.

Tentu, kajian terhadap fungsi kritik sastra yang diambil dari peristiwa kebudayaan akan melengkapi pembicaraan sastra yang selama ini hanya berasal dari media massa-yang tidak dapat selalu meliput seluruh peristiwa kebudayaan-dan karya-karya akademik. Apa yang tidak boleh dilupakan ketika hendak menguraikan fungsi kritik sastra dalam peristiwa kebudayaan adalah faktor kekuasaan yang melatarbelakangi setiap peristiwa kebudayaan. Pada akhirnya kajian serupa itu dapat membedah ke arah mana selama ini wacana yang dibangun kritik sastra untuk kebudayaan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar