Arab
Saudi, Ekstremisme, Geopolitik
Zuhairi Misrawi ; Analis
Pemikiran dan Politik Timur Tengah
di The Middle East Institute
|
KOMPAS,
05 Februari 2015
MANGKATNYA Raja Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud
meninggalkan pertanyaan besar soal masa depan negara kaya minyak itu. Pasalnya,
negara-negara Arab sedang mengalami guncangan politik yang cukup serius.
Akankah Salman bin Abdul Aziz al- Saud yang sudah dibaiat sebagai raja mampu
menjaga stabilitas politik Arab Saudi dan kawasan Timur Tengah serta
melakukan moderasi atas ekstremisme?
Sementara ini, fakta yang mengemuka pergantian kekuasaan
dari Abdullah bin Abdul Aziz al- Saud ke Salman bin Abdul Aziz al-Saud
berjalan damai, tanpa ada perdebatan dan hiruk-pikuk di dalam internal
kerajaan. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran almarhum Raja
Abdullah yang mampu membentuk tim formatur dari keluarga kerajaan untuk
memilih raja baru jika raja mangkat.
Selain itu, Raja Salman juga menunjuk Pangeran Muqrin
sebagai putra mahkota yang akan membantu raja dalam melaksanakan tugas
terkait dengan stabilitas politik dan pemerintahan. Lalu, Pangeran Muhammad
bin Nayef ditunjuk sebagai deputi putra mahkota yang bertugas melakukan
moderasi dan reformasi pemikiran keagamaan.
Penunjukan Pangeran Muqrin sebagai putra mahkota bermakna
penting bagi stabilitas politik di internal kerajaan. Pangeran Muqrin
digadang-gadang sebagai penerus kepemimpinan Arab Saudi setelah Raja Salman.
Apalagi dalam usia ke-79 tahun, kesehatan Raja Salman tidak begitu prima.
Maka, penunjukan Pangeran Muqrin sebagai putra mahkota secara implisit
menegaskan bahwa setidaknya dalam enam dekade yang akan datang Arab Saudi
tidak akan mengalami krisis suksesi kepemimpinan.
Pangeran Muqrin dan Muhammad bin Nayef dianggap sebagai
sosok yang mempunyai pengalaman dan keahlian, serta diterima oleh keluarga
besar Kerajaan Arab Saudi. Kekhawatiran banyak pihak soal gonjang-ganjing
politik pasca Raja Abdullah—termasuk munculnya revolusi—tidak akan terjadi.
Ekstremisme
Raja Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud dikenal sebagai
pemimpin yang mampu membangun stabilitas politik sekaligus reformasi
keagamaan. Ia membentuk Dewan Permusyawaratan sebagai bagian dari pembangunan
demokrasi secara terbatas. Lalu, ia mulai melibatkan perempuan dalam posisi
strategis, seperti tenaga pengajar dan medis.
Di samping itu, Raja Abdullah telah melakukan reformasi
pemikiran keagamaan, khususnya nalar Wahabisme yang selama ini dianut oleh
kerajaan Arab Saudi. Wahabisme, yang menekankan pentingnya pemurnian dan
pengafiran, dianggap senjata makan tuan yang dapat mengganggu stabilitas
politik dan keamanan nasional. Terorisme yang selama ini diduga dipicu paham
Wahabisme ibarat senjata makan tuan.
Aksi bom bunuh diri yang dilancarkan oleh kaum teroris
tidak hanya mengancam negara- negara Barat, tetapi juga Arab Saudi. Buktinya,
pada 2004, bom bunuh diri juga meledak di Riyadh, ibu kota Arab Saudi. Osama
bin Laden yang dianggap mempunyai hubungan dekat dengan keluarga kerajaan pun
mulai menabuh genderang perlawanan terhadap Kerajaan Arab Saudi.
Ekstremisme selama ini selalu dikait-kaitkan dengan
Wahabisme. Khaled Abou el Fadl dalam The Great Theft: Wrestling Islam from
the Extremists menegaskan, genealogi ekstremisme dalam tradisi Islam berasal
dari Wahabisme yang selama ini dianut sebagai ideologi resmi Arab Saudi.
Raja Abdullah melakukan reformasi dengan membuat program
deradikalisasi bagi para ulama yang punya pemikiran ekstrem. Bahkan, para
ulama al-Azhar Mesir sengaja diundang ke Arab Saudi untuk menyebarluaskan dan
mengukuhkan moderasi Islam. Al-Azhar selama ini dikenal sebagai benteng
moderasi Islam yang sudah teruji selama berabad-abad. Di samping itu, Raja
Abdullah juga mendorong dialog antariman dan dialog antaragama yang
sebenarnya merupakan hal yang tabu bagi kelompok Wahabi.
Tantangannya, selama ini sulit mendapatkan pemikir atau
ulama Arab Saudi yang berpikiran moderat. Wahabisme terlalu kuat dalam
tradisi pemikiran keagamaan. Reformasi akan berhasil jika di internal ulama
Arab Saudi muncul tokoh-tokoh reformis, seperti Muhammad Abduh di lingkungan
Al-Azhar yang dijadikan simbol reformasi Islam.
Kaum muda
Mengantisipasi ledakan generasi muda, Raja Abdullah punya
program beasiswa besar-besaran bagi generasi muda Arab Saudi untuk menuntut
ilmu di Barat. Dalam satu dekade terakhir, ada ratusan ribu generasi muda
yang belajar di beberapa perguruan tinggi ternama di dunia. Raja Abdullah
mempunyai kesadaran penuh bahwa masa depan Arab Saudi harus berada di tangan
para generasi muda yang mempunyai keahlian dalam berbagai sektor kehidupan.
Arab Saudi memang masih mengalami masalah serius dengan
isu jender, terutama peran perempuan di ruang publik. Baru-baru ini muncul
perdebatan serius soal larangan bagi perempuan untuk mengemudi kendaraan.
Tapi, Raja Abdullah telah melakukan terobosan: menggalakkan pentingnya
pendidikan bagi kalangan perempuan.
Begitu pula pada saat meletus revolusi di Tunisia, Mesir,
Yaman, Libya, dan Bahrain, Raja Abdullah langsung mengambil langkah-langkah
luar biasa dengan menaikkan gaji pegawai dan meredam berbagai gejolak politik
yang dilakukan oleh kelompok Syiah dan kaum muda revolusioner. Intinya, Raja
Abdullah mampu mengantisipasi gerakan perlawanan yang sedang mendapatkan
angin segar dari negara-negara Arab lainnya.
Meski demikian, masa depan Arab Saudi masih menimbulkan
tanda tanya. Fakta yang tidak bisa berubah bahwa seruan terkait reformasi
politik di kalangan kaum muda masih terus menggema, terutama suara kritis
yang muncul di sosial media, khususnya Facebook.
Raja Salman bin Abdul Aziz Al Saud yang akan menahkodai
Kerajaan Arab Saudi harus mampu mengelola aspirasi dari generasi muda, yang
umumnya terdidik dari sejumlah kampus terkemuka di Barat. Mereka harus
mendapatkan lapangan pekerjaan dan punya peran yang signifikan di ruang
publik.
Dalam bidang ekonomi, Arab Saudi sedang menghadapi
turunnya harga minyak dunia. Tren ini akan sangat berpengaruh karena
perekonomian Arab Saudi selama ini sangat bergantung pada sektor minyak. Raja
Salman perlu mengantisipasi dengan cermat tren ini karena akan menentukan
perekonomian Arab Saudi.
Dalam konteks geopolitik, hubungan Arab Saudi dan AS tidak
akan mengalami tantangan. Kedua negara ini terlibat dalam ”cinta suci” akibat
persekongkolan dalam sektor minyak dan persenjataan. Kunjungan Obama ke Arab
Saudi setelah meninggalnya Raja Abdullah menunjukkan betapa dekatnya
hubungannya dengan Amerika Serikat.
Masalah utama yang dihadapi Arab Saudi, yaitu memperbaiki
hubungan dengan Iran. Raja Salman harus memperhitungkan posisi strategis Iran
di kawasan Timur Tengah. Ketegangan dengan Iran akan sangat mengganggu
terhadap stabilitas politik di kawasan Timur Tengah.
Maka dari itu, Arab Saudi di bawah tonggak kepemimpinan
Raja Salman harus mampu menormalkan hubungan dengan Iran. Sebab, jika tidak,
harga politik yang harus dibayar sangat mahal, yaitu instabilitas politik di
beberapa negara Arab yang selama ini mempunyai hubungan dekat dengan Iran,
seperti Suriah, Bahrain, dan Yaman. Idealnya, Arab Saudi mampu keluar dari
pengaruh AS yang selama ini cenderung memecah belah politik di kawasan Timur
Tengah, yang sebenarnya hanya ingin melapangkan kepentingan imperialisme
Israel atas Palestina. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar