Belajar
Membangun Demokrasi Sehat
Ferry Santoso ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
06 Agustus 2014
SAAT penghitungan cepat mencapai 90 persen dalam pemilihan
kepala daerah DKI Jakarta tahun 2012, calon gubernur Fauzi Bowo sudah
memberikan selamat kepada pesaingnya, Joko Widodo. ”Kami sadar, dalam setiap kompetisi ada yang menang, ada yang kalah.
Ada yang terpilih dan tidak terpilih. Mari kita junjung proses demokrasi yang
menentukan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2012-2017. Kepada
masyarakat, saya imbau jaga ketenangan karena kemenangan ini adalah milik
Kota Jakarta. Saya ajak warga Jakarta untuk menyikapi hasil pilkada dengan
baik,” ujar Fauzi (Kompas,
21/9/2012).
Sikap negarawan Fauzi Bowo itu memang pantas diingat kembali dan
menjadi pembelajaran ketika proses Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 masih
berlangsung saat ini. Sikap negarawan Fauzi itu menunjukkan suatu sikap
berdemokrasi yang sehat dan dewasa. Mampu berkompetisi secara ketat, mampu
menerima kekalahan, mampu memberikan selamat kepada pemenang, dan bahkan
mengajak masyarakat untuk menyikapi hasil pilkada dengan baik.
Tanggal 6 Agustus, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang
permohonan sengketa pilpres. Berbagai dugaan pelanggaran dalam pilpres akan
diuji dalam sidang terhormat MK. Penyelesaian sengketa pilpres di MK memang
menjadi amanat dan mekanisme konstitusional yang layak ditempuh oleh capres
dan cawapres yang ingin menggugat dugaan pelanggaran pilpres. Terlepas dari
substansi permohonan, putusan MK yang final dan mengikat seharusnya dapat
diterima dengan lapang dada.
Selanjutnya, bangsa Indonesia, terutama kedua pasangan capres-cawapres
yang berkompetisi, termasuk kalangan politisi dari kedua kubu, perlu memiliki
kesadaran bersama dan sikap kenegarawanan. Kesadaran bahwa membangun
demokrasi yang sehat dan dewasa, serta membangun bangsa ini jauh lebih
penting daripada persoalan menang atau kalah.
Akan tetapi, pemberitaan akhir-akhir ini semakin membuat banyak
kalangan mengelus dada. Berbagai upaya akan terus dilakukan untuk
mengekspresikan ketidakpuasan, kekalahan, atau mungkin nafsu kekuasaan yang
besar. Misalnya, membentuk panitia khusus (pansus) pilpres, memboikot Sidang
Umum MPR, bahkan sampai gerakan people
power.
Jika dilakukan, berbagai upaya itu semakin menguatkan persepsi
selama ini bahwa kalangan politisi hanya haus kekuasaan, pragmatis, dan tidak
pernah memikirkan nasib rakyat. Kekuasaan ingin diraih sekadar untuk mencapai
kepuasan pribadi, bukan membela dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Padahal, rakyat sudah berperan aktif menyukseskan Pilpres 2014 sehingga
berlangsung aman dan damai.
Pengamat politik J Kristiadi menilai, politisi yang melakukan
manuver dan tidak menerima kegagalan dalam pilpres merupakan politisi yang
memiliki kedangkalan berpikir. ”Karakter
politisi sudah tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi
bangsa yang besar ini,” katanya.
Rencana manuver politik yang berlebihan, seperti membuat pansus,
memboikot Sidang Umum MPR, atau melakukan gerakan massa, juga menunjukkan
terjadi reduksi terhadap kehidupan demokrasi. Demokrasi yang seharusnya
menjadi instrumen untuk menyejahterakan rakyat dijungkirbalikkan.
Demokrasi semata-mata dipandang sebagai alat untuk mencapai
kekuasaan. Kekuasaan yang gagal diraih dianggap atau ibarat sebagai ”bencana”
yang menghancurkan berbagai kepentingan, baik kepentingan politik maupun
ekonomi.
Juru bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Jusuf Kalla, Ferry
Mursyidan, menilai, sikap para elite politik terhadap demokrasi dan
kontestasi politik sedang diuji. ”Jangan sampai ada pandangan dari masyarakat
bahwa yang tidak siap dan tidak mau berdemokrasi dengan sehat dan dewasa
ternyata elite politik,” katanya. Jika itu yang terjadi, demokrasi Indonesia
dan parpol akan memasuki masa suram.
Mudah-mudahan saja, para elite dapat menghormati semua proses
yang berjalan, terutama sidang di MK. Para hakim MK yang mengadili sengketa
pilpres diharapkan independen dan jujur. Apa pun putusan MK, diharapkan tensi
atau ketegangan dalam pilpres benar-benar mulai meredup sehingga seluruh
komponen bangsa kembali bekerja dan beraktivitas dengan tenang membangun
negeri sesuai tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Karena itu, jika MK sudah memutus sengketa pilpres dan Jokowi
tetap menjadi presiden terpilih sesuai penghitungan suara yang dilakukan KPU,
pemerintahan Jokowi seharusnya didukung penuh. Dengan demikian, seluruh
elemen bangsa dapat bersatu membangun bangsa ini dan memberikan kesempatan
kepada pemerintahan kabinet Jokowi bekerja keras. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar