Memilih
di Medan Keruh
Mochtar Pabottingi ;
Profesor Riset LIPI
|
KOMPAS,
04 Juli 2014
KONTESTASI Pilpres 2014 berlangsung seru pada medan politik yang amat
keruh. Dalam kondisi seperti itulah dua pasangan calon presiden-wakil
presiden, yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla,
berlomba. Belum pernah bangsa kita memasuki medan kontestasi politik dengan
pengeruhan empat kali lipat.
Pertama, lantaran umumnya bertolak dari, memperjuangkan, dan
mengatasnamakan hal-hal ultimat, perjuangan politik pada hakikatnya memang
selalu merupakan kegiatan sarat kontestasi. Para pemikir politik, seperti
John Rawls, William Connolly, dan Michael Sandel, sangat menyadari hal ini.
Kedua, di kalangan para kontestan politik selalu ada yang tergoda
menghalalkan cara, bahkan memanipulasi fakta dan menyebarkan fitnah, demi
merebut kemenangan. Skala dan intensitas manipulasi serta fitnah biasanya
berbanding lurus dengan besarnya taruhan politik. Dan, pada negara-negara di
mana prinsip Rechtsstaat—prinsip
negara hukum—tidak dilaksanakan secara tegar, pengeruhan akibat rangkaian
penghalalan cara akan berdampak luas dan parah, termasuk merisikokan
konsekuensi tragis atas bangsa.
Ketiga, khusus dalam kasus Indonesia, terutama di sepanjang masa
setelah kemerdekaan, kontestasi atau evolusi politik berlangsung sebagian
besar dalam aturan main yang bersifat ad
hoc, berjangka pendek, dan berjalan sekenanya. Di sebagian besar masa
kemerdekaan, yaitu sejak demokrasi terpimpin, negara-bangsa kita berkiprah
tanpa perangkat aturan main politik produk deliberasi yang matang dan yang
ditopang oleh prinsip Rechtsstaat
tadi–singkatnya, tanpa rasionalitas politik. Bangsa kita belum lepas penuh
dari tudingan Clifford Geertz: tiada hentinya terombang-ambing di antara
kegairahan pada demokrasi dan kerinduan pada otoritarianisme.
Keempat, kita memulai apa yang disebut era reformasi, tanpa kebersihan
pergantian rezim. Ia justru dimulai dengan implantasi penuh personalia Orde
Baru (hanya minus Soeharto) pada bangunan awal reformasi. Pengeruhan dan
sekaligus pengotoran reformasi serta berlakunya krisis multidimensi yang
agaknya tak bertara di zaman modern merupakan akibat kontan dari laku evasif
itu. Sementara kita semua mengetahui bahwa telah terjadi pengkhianatan atau
penggadaian masif dan merata atas ideal-ideal kebangsaan kita oleh para
pelaksana Rezim Orde Baru, tidak satu pun dari mereka—apalagi pemimpin
tertingginya—yang diadili dan dihukum sebagaimana mestinya.
Pengkhianatan
Pancasila
Bisa disimpulkan bahwa Orde Baru telah memberi bangsa kita paling tidak
dua kutukan: pengkhianatan besar-besaran atas sila kedua hingga sila kelima
Pancasila dan pengaburan sejarah, terutama sepanjang 1965-2014. Dalam pengaburan
sejarah itu, alangkah kuat arus untuk membuat barisan dan pimpinan
pengkhianat jadi pahlawan.
Dengan berjalannya waktu, impunitas raksasa ini membuat ujung pangkal
masalah tambah sulit ditangkap orang banyak, apalagi oleh generasi muda yang
tidak mengalami masa Orde Baru. Merekalah yang paling rawan salah pilih. Di
sini ”yang salah” dan ”yang benar” sungguh kabur. Di medan keruh,
posisi-posisi antagonis sama-sama berpeluang untuk serempak menjadi (atau
dijadikan) ”benar” atau ”salah”.
Kian dalam bangsa kita terjebak ke dalam medan kontestasi politik yang
keruh, kian mudah pula kita terbawa oleh aneka jalan pikiran yang keliru,
bahkan sesat. Dari situ, kian mudah pula kita lupa untuk apa kita bangkit
sebagai bangsa lewat timbunan pengorbanan tak terperi.
Juga lupa untuk kembali berteguh hati pada rumusan cita-cita luhur di
atas mana kita memperjuangkan dan memancangkan kemerdekaan. Ibarat di tengah
serbuan polusi suara dan jelaga hitam sekaligus, masyarakat kita pada
hari-hari ini dipersulit untuk memusatkan perhatian dan memantapkan pijakan
ke arah yang benar.
Untunglah bahwa setiap manusia dewasa dan terdidik dikaruniai kemampuan
akal budi untuk melepaskan diri dari perangkap-perangkap momen/medan
kontestasi politik yang keruh. Dan, semakin luas perhatiannya serta semakin
dalam pemahamannya atas masalah-masalah kenegaraan dan kebangsaan, semakin
sanggup pula mereka mengambil pilihan-pilihan yang tepat meskipun dalam
sungkup kekeruhan.
Taruhan
politik raksasa
Dalam rubungan polusi suara dan jelaga hitam sekalipun, mereka akan
tetap sanggup menjatuhkan pilihan secara cerdas dan bertanggung jawab. Begitu
pula dalam Pilpres 2014 yang kontestasinya begitu riuh rendah pada hari-hari
ini.
Di sini kita memberikan sembilan kiat untuk menembus tebalnya polusi
suara dan jelaga hitam kontestasi, di mana kubu Prabowo-Hatta dan
Jokowi-Jusuf Kalla berlomba dengan sengit sehingga kita dapat memilih secara
cerdas dan bertanggung jawab. Kesembilan kiat ini bersifat imperatif
semata-mata karena, seperti sudah disinggung, sengitnya kontestasi politik
merupakan pertanda gamblang akan adanya taruhan-taruhan politik raksasa. Mari
kita urai satu per satu.
Pertama, kita, utamanya tiap warganegara cerdas dan terdidik—termasuk
generasi muda, dituntut menapis rekam jejak yang akurat dan yang bisa
dipertanggungjawabkan, khususnya dari setiap pasangan calon. Capres-cawapres
ideal haruslah memiliki rekam jejak bakti publik atau bakti bangsa yang
substansial dan tak terbantahkan. Akan sangat istimewa jika capres dan/atau cawapres
memiliki bakti nasional dan/atau bakti berskala internasional yang juga tak
terbantahkan.
Kedua, kita perlu menyimak secara saksama bagaimana koalisi pada kedua
kubu pasangan capres-cawapres terbentuk. Makin sedikit proses dagang sapi
yang berlaku di dalam pembentukan tiap koalisi, makin baik. Koalisi kubu yang
terbentuk dengan praktik dagang sapi yang kental sangat perlu dihindari
karena itu merupakan pertanda dini dari minimnya ketulusan bakti bangsa pada
kubu tersebut. Itu juga merupakan indikasi nyata betapa kuatnya probabilitas
laku dagang sapi selanjutnya untuk menggarong dana-dana publik jika nanti
pasangan calon presiden-wakil presidennya terpilih.
Ketiga, kita harus mewaspadai capres yang rekam jejaknya menimbulkan
kontroversi laten, luas, dan tajam di tengah-tengah masyarakat, apalagi yang
tidak menunjukkan kesegeraan (promptness)
untuk menyelesaikan model perilaku keji Orde Baru secara akuntabel dan
transparan. Jika capres demikian terpilih, akan sangat sulit baginya untuk
menegakkan stabilitas politik dalam pemerintahan semata-mata lantaran luasnya
ketidakpercayaan masyarakat terhadapnya.
Keempat—sejalan dengan butir kedua—kita harus bisa menangkap sinergi,
kesejalanan, dan kesamaan arah serta langgam kerja setiap pasangan
capres-cawapres. Setiap pasangan capres-cawapres itu sendiri sudah merupakan
inti (kernel) dari koalisi. Makin besar kadarnya terbentuk di atas landasan
ketulusan untuk bekerja sama demi bakti bangsa dan bukan atas dasar dagang
sapi, makin baik.
Kelima dan bersambung dengan butir ketiga, kita wajib mengamati
kecenderungan pasangan capres-cawapres untuk mengutamakan pencitraan dan
retorika vis-a-vis gereget nyata
untuk menyelesaikan rangkaian masalah pada bangsa kita secara sistemik.
Keenam, kita perlu mewaspadai jika ada kecenderungan pada satu atau
kedua pasangan capres-cawapres untuk berlaku bacar dengan janji-janji besar
tanpa pengetahuan akan rincian operasional dan fisibilitasnya. Setiap pemilih
yang bertanggung jawab wajib menjauhi sikap terlalu mudah percaya (gullible) pada janji-janji muluk.
Ketujuh, kita pun perlu memastikan apakah setiap pasangan
capres-cawapres memiliki sifat ketenangan dan kesabaran dalam menghadapi
aneka persoalan bangsa yang tingkat urgensi dan kerumitannya berbeda-beda dan
terus meloncat-loncat tiada habisnya dari masalah yang satu ke masalah
lainnya. Kecenderungan otoriter atau watak penaik darah pada capres pasti
bukanlah modal yang baik untuk memimpin suatu bangsa.
Kedelapan, tak kurang pentingnya, kita sebagai warga negara yang
bertanggung jawab perlu menyeleksi kriteria-kriteria yang relevan untuk
memilih pasangan capres-cawapres. Setiap kriteria yang relevansinya dalam
tugas kepresidenan tidak signifikan sebaiknya ditanggalkan saja. Lalu,
himpunan kriteria yang sudah kita tetapkan perlu diurut menurut tingkat
urgensinya. Sebagai salah satu kriterium, karakter terpuji dengan kompetensi
dan integritas jelas menduduki hierarki yang jauh di atas wajah gagah.
Kesembilan, berhadapan dengan realitas gencarnya kampanye hitam yang
menyerang kedua pasangan capres-cawapres dan miskinnya tanggung jawab
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mengatasinya mengingat
tajamnya kegentingan dan tingginya taruhan politik yang ada, satu-satunya
sikap arif yang bisa kita ambil adalah menghitung secara kredibel frekuensi
dan prevalensi serangan kampanye hitam terhadap setiap pasangan
capres-cawapres.
Dari situ, demi keadilan dan demi menghindari naivitas, kita sebaiknya
tidak memilih pasangan capres-cawapres yang kubunya paling diuntungkan oleh serangan
kampanye hitam terhadap lawannya.
Semoga dengan kesembilan kiat ini, di tengah kekeruhan puncak pada
momen dan medan Pilpres 2014, kita—sekali lagi terutama generasi muda—bisa
tetap memilih secara cerdas dan bertanggung jawab demi menyelamatkan bangsa
kita dari risiko malapetaka besar akibat salah pilih pada Pilpres 2014 ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar