Senin, 09 Juni 2014

Antisipasi Pemanasan Global

Antisipasi Pemanasan Global

Indroyono Soesilo  ;   Direktur Perikanan dan Akuakultur,
Food and Agriculture Organization, Roma
KOMPAS,  07 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Pemanasan global benar-benar terjadi dan saat ini tengah berlangsung. Laporan terakhir Inter-Governmental Panel on Climate Change, kelompok pakar PBB yang ditugasi mengkaji secara ilmiah perubahan iklim global, pada pertemuan di Yokohama, Jepang, 31 Maret 2014 lalu, melaporkan bahwa pada 100 tahun terakhir, suhu muka Bumi naik 0,8 derajat Celsius. Bahkan, pada 30 tahun terakhir merupakan periode terpanas.

Tampaknya, kenaikan suhu muka Bumi akan menembus ambang batas 2 derajat Celsius pada tahun 2100 dibandingkan periode pra-industri, yaitu sebelum tahun 1850-an. Jelas, ini akan berdampak pada mencairnya es di kutub utara dan kutub selatan sehingga permukaan laut naik 20 sentimeter dari awal 1900-an. Pulau-pulau akan tenggelam, curah hujan meningkat, dan bencana banjir di mana-mana.
Lautan menyerap banyak karbon dioksida sehingga menjadi lebih asam dan ikan akan susah hidup. Di daratan, produksi jagung, gandum, dan padi diprakirakan anjlok 25 persen pada tahun 2050 dan dapat mengganggu ketahanan pangan global.

Inter-Governmental Panel on Climate Change (IPCC) menegaskan, 95 persen pemanasan global disebabkan ulah manusia, utamanya pada 50 tahun terakhir, akibat gas rumah kaca di mana akumulasi gas CO2 meningkat 40 persen lebih tinggi dibandingkan periode pra-industri. Dunia harus segera meninggalkan energi fosil dan menerapkan energi bersih, seperti tenaga air, tenaga matahari, tenaga angin, tenaga gelombang, tenaga panas bumi, biofuel, dan tenaga nuklir.

Bagaimana Indonesia

Sama seperti kondisi global, temperatur di Indonesia juga meningkat antara 0,2-0,3 derajat Celsius pada beberapa dekade terakhir. Hal ini berdampak pada pola kelembapan Nusantara, yaitu semakin basah di wilayah Sumatera dan Kalimantan, serta semakin kering di wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Musim kemarau panjang dan musim hujan berkepanjangan kerap muncul. 

Bencana banjir pun tak terelakkan. Gejala variabilitas iklim, seperti El Nino dan La Nina, semakin sering hadir dan berdampak pada kemarau panjang, gagal panen, kebakaran hutan, dan lahan, serta gejala kebalikannya, yaitu hujan berkepanjangan dan banjir. Produksi pangan dan ketahanan pangan akan terganggu.

Muka laut di wilayah Indonesia naik sekitar 5 milimeter per tahun dan bisa menenggelamkan pulau-pulau kita. Ini tak boleh terjadi. Apalagi, ada 12 pulau terluar milik Indonesia tempat titik-titik pangkal batas negara berada. Tahun 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri harus menyelamatkan dan mereklamasi Pulau Nipah di Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura, dan tahun 2005 Presiden Yudhoyono harus ke Pulau Sebatik di Kalimantan Timur, yang berbatasan dengan Malaysia, guna mempertegas bahwa pulau-pulau tadi adalah wilayah kedaulatan NKRI.

Pemanasan global juga mengancam keragaman hayati kita karena 50 persen keanekaragaman hayati di darat berisiko rusak, 80 persen terumbu karang terancam hancur, dan bisa berakibat punahnya habitat ikan. Belum lagi dampaknya bagi kesehatan manusia, seperti meningkatnya malaria dan demam berdarah.

Indonesia menempuh berbagai cara untuk mengantisipasi hal itu. Ada berbagai kegiatan seperti pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, penerapan agro-ekosistem terpadu baik di darat maupun di lautan, juga program pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.

Tahun 2009, Indonesia, Filipina, Brunei, Timor Leste, Malaysia, dan Kepulauan Solomon meluncurkan program Coral Triangle Initiative (CTI) guna menyelamatkan 75.000 kilometer persegi terumbu karang di wilayah CTI dari dampak perubahan iklim global.

Hasil lima tahun CTI dibahas pada kegiatan World Coral Reef Conference 2014 (WCRC ’14) di Manado, pertengahan Mei 2014. Melalui Program Global Environmental Facility (GEF), Indonesia dan Food and Agriculture Organization (FAO) melaksanakan kegiatan penyelamatan keragaman hayati perikanan air tawar dan ekosistem laut Indonesia.

Mitigasi

Agenda mitigasi Indonesia mendorong penggunaan ragam energi bersih seperti konversi minyak tanah ke gas, aplikasi sel surya dan panel surya, energi hidro, energi angin, energi gelombang, energi panas bumi, dan penambahan komponen biofuel pada bensin.

Dalam rangka mitigasi perubahan iklim ini, pada KTT G-20 di Pittsburgh, AS (2007), Presiden Yudhoyono mencanangkan rencana Indonesia menurunkan emisi karbon sukarela 26 persen tahun 2020 dan menjadi 41 persen. Hutan dan lahan gambut Indonesia berpotensi menurunkan emisi karbon 52 persen, bahkan ada potensi Karbon biru, yaitu dari mangrove dan padang lamun yang belum diperhitungkan.

Dunia menyambut gembira komitmen Indonesia dan berbondong-bondong menyodorkan bantuan, termasuk hibah 1 miliar dollar AS dari Pemerintah Norwegia. Pada 16 April 2014, sebanyak 30 negara menawarkan 4,3 miliar dollar AS hibah untuk Program GEF 2014-2018 guna membantu 140 negara berkembang, termasuk Indonesia. Dana itu digunakan untuk menangani perubahan iklim, keragaman hayati, tanah, air, laut, dan ketahanan pangan. Semua telah dibahas pada Sidang Umum GEF di Cancun, Meksiko, akhir Mei 2014.

Saatnya Indonesia bersama badan-badan multilateral, seperti FAO, semakin terlibat di dalam kegiatan konservasi dan preservasi Planet Bumi beserta penghuninya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar