|
MIRIP dengan
yang terjadi dalam sepak bola, Indonesia menempati urutan ke-120 dalam survei
daya saing Doing Business Bank Dunia, yang menyusun peringkat seberapa mudah
atau sulit memulai dan menjalankan bisnis di 189 negara. Singapura, Hongkong,
China, Selandia Baru, Amerika Serikat, Denmark, Malaysia, Korea Selatan,
Georgia, dan Norwegia adalah 10 teratas negara dengan kemudahan berbisnis.
Posisi Indonesia sudah naik dari tahun lalu, di urutan ke-128.
Dalam hal
menjalankan kemudahan menjalankan bisnis, Indonesia kalah bersaing dari sesama
negara ASEAN, yakni Malaysia (peringkat ke-6), Thailand (18), Brunei (59),
Vietnam (99), dan Filipina (108). Indonesia hanya lebih baik daripada Kamboja
(137). Pemeringkatan negara-negara disusun atas sejumlah kriteria, mulai dari
berapa lama waktu dan prosedur yang dibutuhkan untuk memulai bisnis hingga lama
waktu mendapatkan sambungan daya listrik, kemudahan kredit, dan biaya ekspor
impor.
Secara
intuitif, saya tidak yakin Indonesia kalah bersaing dengan Vietnam dan Filipina.
Vietnam sedang melambat dalam dua tahun terakhir setelah berakselerasi tinggi
sejak tahun 2005 (Bloomberg, 27/9). Memanfaatkan situasi ini, PT Semen
Indonesia (PT Semen Gresik) pun berhasil mengakuisisi perusahaan semen Vietnam,
Thang Long Cement Joint Stock Company, senilai 157 juta dollar AS untuk 70
persen saham. Menurut Direktur Utama PT Semen Indonesia Dwi Soetjipto, pabrik
semen tersebut kelebihan pasokan karena proyeksi pertumbuhan ekonomi Vietnam
tidak sesuai dengan realisasi.
Filipina saat
ini memang sedang menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi, hingga 7,7 persen.
Namun, seperti halnya Indonesia, Filipina juga masih terkendala infrastruktur.
Bahkan, Bandar Udara Internasional Ninoy Aquino di Manila, Filipina, dinobatkan
sebagai bandara terburuk di dunia dalam dua tahun terakhir (CNN, 22/10).
Meski survei
ini mengandung bias sehingga peringkat Indonesia mestinya bisa lebih baik,
survei ini tidak bisa diabaikan karena dilakukan Bank Dunia, yang mau tidak mau
banyak menjadi referensi bagi para pelaku bisnis. Sudah lama kita mengetahui
bahwa titik lemah kita terletak pada beberapa hal yang fundamental:
infrastruktur, birokrasi, kualitas dan produktivitas sumber daya manusia, serta
korupsi.
Dari sisi
infrastruktur, sudah mulai muncul geliat. Keberhasilan memecah kebuntuan
pembangunan mass rapid transit (MRT) di Jakarta—setelah cuma menjadi
wacana sejak 25 tahun yang lalu—akan menjadi tonggak penting (milestone) yang
bisa sedikit mengubah persepsi investor. Tentu saja kita semua harus terus mencermati,
bagaimana kemajuan proyek ini. Hal yang sama juga terjadi pada kasus monorel.
Antusiasme Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pihak swasta (Edward
Soeryadjaya), dalam membangun dan menyelesaikan proyek monorel, tidak boleh
mengendur. Kita harus rajin memantaunya.
Jakarta tidak
cuma butuh MRT dan monorel. Bandara Internasional Soekarno-Hatta, jika tidak
segera dilengkapi dengan pembangunan terminal dan runway baru,
nasibnya bisa sama dengan Bandara Internasional Ninoy Aquino di Manila.
Pelabuhan Tanjung Priok juga sudah tak kuat menampung beban. Waktu tunggu
kontainer (dwelling time) yang mencapai delapan hari merupakan yang terburuk di
kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, dalam radius 100 kilometer, pantai
utara Jawa seyogianya memiliki satu pelabuhan.
Masalah
kualitas sumber daya manusia juga harus menjadi perhatian. Di tingkat
pendidikan tinggi, pemerintah memberi banyak beasiswa program S-2 dan S-3 di
luar negeri, tetapi sayang kuota tidak bisa dipenuhi. Banyak orang memilih
menempuh S-2 dan S-3 di dalam negeri. Padahal, kompetisi yang sesungguhnya baru
akan dirasakan jika kita harus menghadapi mahasiswa China, India, dan Korea
Selatan, yang sedemikian tangguh di perguruan tinggi luar negeri.
Di tingkat di
bawahnya, kita sedang menghadapi maraknya protes buruh yang ingin bergaji
minimal Rp 3,7 juta per bulan. Buruh, pemerintah, dan pengusaha harus duduk
bersama-sama untuk menghitung dengan kepala jernih. Berapa tingkat upah yang
masih memberi kesempatan perusahaan untuk bertahan hidup, tetapi juga bisa memenuhi
sebagian (tak mungkin semua) ekspektasi buruh? Saya menduga angka Rp 3,7 juta
merupakan lonjakan tingkat upah yang terlalu terjal sehingga perlu dibuat lebih
landai.
Di luar isu-isu
strategis tersebut, tersembul berita baik dari sisi moneter. Inflasi Oktober
2013 tercatat rendah, hanya 0,09 persen. Ini melanjutkan tradisi inflasi rendah
pada bulan Oktober: 0,45 persen (2008), 0,19 persen (2009), 0,06 persen (2010),
0,12 persen (2011), dan 0,16 persen (2012). Salah satu penyebab inflasi rendah,
saya duga karena banyak pelaku usaha merelakan margin keuntungannya berkurang.
Di industri perbankan, bank-bank banyak yang mengalami penurunan net
interest margin (NIM).
Di sektor riil,
produsen otomotif menahan diri tidak menaikkan harga produknya karena beberapa
hal. Meski kurs rupiah melemah, yang semestinya menyebabkan harga mobil dan
sepeda motor naik, hal itu tak dilakukan. Mereka lebih baik menurunkan margin
laba, tetapi tetap bisa menjual produk.
Dalam upaya
meraih laba, terdapat dua paradigma. Jika menuruti Augustine Cournot (1835),
perusahaan akan menentukan volume atau kuantitas barang yang harus terjual
untuk mencapai laba yang dikehendaki. Sementara, menurut Joseph Bertrand
(1883), perusahaan akan menentukan harga untuk memaksimalkan keuntungannya. Dalam
situasi sekarang, lebih baik harga tidak naik, tetapi bisnis terus berjalan
sambil menunggu situasi kembali normal. Inilah paradigma yang kini dijalankan
para pebisnis otomotif. Penjualan mobil tahun ini bakal menembus 1,2 juta unit,
sedangkan sepeda motor kembali mendekati 8 juta unit, tingkat tertinggi yang
pernah tercapai pada tahun 2011.
Dengan inflasi
tahun ini yang diperkirakan di bawah 9 persen, BI Rate diperkirakan ditahan
7,25 persen hingga akhir tahun. Hal ini akan membuka peluang pertumbuhan kredit
industri perbankan mencapai 19 persen. Kombinasi antara kerelaan dan
pengorbanan pelaku usaha untuk menahan kenaikan harga jual produknya, dengan
suku bunga yang tidak naik hingga akhir 2013, merupakan garansi yang bisa
memastikan pertumbuhan ekonomi tahun ini bakal mencapai titik optimal 5,8 atau
5,9 persen.
Tahun depan,
jika kita berhasil menyelenggarakan pemilu, kemudian menghasilkan kepemimpinan
nasional baru yang lebih segar, berani, dan bertenaga, tidak salah jika kita
boleh merajut asa pertumbuhan ekonomi bakal kembali terhela ke tingkat 6
persen. Ini bukanlah impian semata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar