|
PUBLIK
dikejutkan oleh berita penangkapan model cantik Vanny Rossyane terkait kasus
narkoba (SM, 18/9/13). Wanita yang mengaku bekas kekasih gembong narkoba Fredy
Budiman itu langsung ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 112
(kepemilikan narkoba secara tidak sah) dan 127 (penggunaan narkoba) UU Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika. Vanny mengaku dijebak tapi hasil tes urine
menunjukkan ia positif mengonsumsi metamphetamine
(sabu).
Nama
Vanny mencuat ke publik pada pertengahan Ramadan 2013. Dia mengeluarkan
testimoni menghebohkan berkait aktivitas Fredy di LP Cipinang. Dari
keterangannya, terkuak Fredy tetap mengendalikan bisnis narkoba dari dalam
penjara. Bahkan, lelaki itu bisa menyewa ruang khusus untuk pesta sabu dan
bercinta di lembaga pemasyarakatan.
Setelah
testimoni itu, muncul berbagai usulan Vanny supaya dilindungi dengan menetapkan
sebagai justice collaborator. Namun
usulan itu menghadapi sejumlah kendala. Dalam Peraturan Bersama Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Polri Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama,
ada beberapa persyaratan yang tak dimiliki Vanny.
Pertama;
ketentuan umum Pasal 1 regulasi itu menjelaskan bahwa yang dimaksud saksi yang
bisa dilindungi, yaitu orang itu harus memberikan keterangan di pengadilan
sebagai saksi atas terdakwa kasus tertentu, dan karena kesaksiannya dia
terancam jiwa dan raganya. Padahal Vanny bukanlah salah satu saksi dalam kasus
Fredy.
Kedua;
saksi pelapor atau saksi yang bekerja sama adalah orang yang melaporkan secara resmi ke lembaga berwenang
tentang kejahatan yang dia ketahui. Beberapa informasi yang disampaikan Vanny
melalui media memang membantu aparat mengungkap peredaran narkoba di LP
Cipinang. Namun dia banyak ”berkicau” di media dan tak melaporkan secara resmi
ke instansi berwenang.
Ketiga;
harus ada lembaga resmi yang menetapkan Vanny sebagai justice collaborator. Lembaga itu institusi negara yang berwenang
menangani pemberantasan narkoba, yakni Polri dan Badan Narkotika Nasional
(BNN). Atas dasar penetapan dari lembaga resmi, LPSK punya kewenangan
melindungi Vanny. Mengingat Vanny tidak melaporkan ke lembaga resmi tentang
informasi seputar bisnis narkoba Fredy, tentu tidak akan ada lembaga yang bisa
menetapkan sebagai justice collaborator.
Menyimak
cerita Vanny tentang Fredy, kita bisa membuka kisah anggota sindikat mafia
narkoba Meksiko yang punya cerita sama. Joaquin Archivaldo Guzman Loera atau
populer dipanggil El Chapo adalah gembong kartel narkoba Sinaloa, terbesar di
Meksiko. Dari dalam penjara Puente Grande, negara bagian Jalisco, ia
mengendalikan semua bisnis narkobanya, bahkan sampai ke AS.
Itulah
sebabnya tatkala El Chapo melarikan diri dari penjara pada 2001, badan resmi
antinarkoba AS, Drug Enforcement
Administration (DEA) memberikan imbalan 5 juta dolar AS untuk tiap
informasi yang mengarah pada keberadaannya. Majalah Forbes pada 2009 dan 2010
memasukkan nama pria itu sebagai salah satu miliarder tahunan dan daftar orang
kaya di dunia. Seperti halnya Freddy, di penjara El Chapo dikelilingi sejumlah
wanita cantik.
Seperti
halnya El Chapo, bandar narkoba di Indonesia pun, terutama yang punya jejaring
internasional, terus berupaya membangun imperium bisnis narkoba meskipun sudah
mendekam di penjara. Fredy misalnya, ia terpidana mati kasus impor 1,4 juta
butir ekstasi dari China yang diungkap BNN pada Mei 2012. Padahal waktu itu
posisi Fredy adalah napi kasus narkoba yang sudah disidik oleh Polda Metro
Jaya.
Peringatan Keras
Sebelum
dilimpahkan oleh BNN ke kejaksaan untuk kemudian kembali disidangkan, Fredy
bersumpah tak akan berhenti berbisnis narkoba meskipun berada di penjara.
Pernyataan itu ia buktikan karena pada Maret 2013, Polri kembali mengungkap
keterlibatan Fredy dalam penyelundupan 400 ribu ekstasi dari Belanda, yang
melibatkan mantan ketua DPC PDIP Blora Colbert Mangaratua.
Kasus
lain adalah Nico. Hanya beberapa hari sebelum divonis mati, tepatnya pada Juni
2013, gembong narkoba dan penembak bus TransJakarta yang ditahan di LP Cipinang
tersebut ketahuan mengendalikan pabrik ekstasi di Kalideres Jakarta Barat. Dari
hasil pemeriksaan, Nico diperintah Fredy untuk membuat ekstasi.
Rentetan
kejadian itu merupakan peringatan keras bagi seluruh pemangku kepentingan di
negeri ini bahwa pemberantasan peredaran narkoba tidak boleh main-main. Harus
diakui anggota sindikat narkoba masih bisa bermain mata dengan aparat penegak
hukum dan perangkat negara sehingga leluasa menjalankan bisnis haram mereka.
Aparat
harus mengapresiasi informasi dari justice
collaborator semisal Vanny dalam kasus peredaran narkoba di LP Cipinang dan
Yohanes Paulus Setia Dharma dalam kasus serupa di LP Kedungpane Semarang.
Negara perlu melindungi mereka yang siap bekerja sama memberikan informasi
sehingga justice collaborator tidak
takut memberikan pengakuan karena mendapat perlindungan dari negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar