|
Pernyataan calon Menlu Australia yang baru, Julie Bishop,
yang berada di bawah PM Tony Abbott mengakhiri kekuasaan Partai Buruh selama
enam tahun dengan tersingkirnya Kevin Rudd, menerapkan kebijakan tanpa
persetujuan Indonesia terkait manusia perahu, adalah arogansi yang tidak kita
harapkan dari hubungan bilateral.
Menlu Marty Natalegawa mengatakan kebijakan itu tidak sejalan
dengan kemitraan kedua negara (Kompas, 17/9). Kita pun melihat kebijakan baru
”mad monk” (biarawan gila, sebutan Abbott oleh pers Australia ketika ia masih
menjadi anggota parlemen karena sangat agresif) bisa merusak tatanan hubungan
Indonesia-Australia.
Keputusan Abbott menggelar ”Operasi Perbatasan Berdaulat” di
bawah seorang jenderal bintang tiga menjadi serangan langsung kedaulatan
Indonesia dengan cara membeli kapal-kapal nelayan Indonesia agar tidak bisa
dipakai para pengungsi serta mengirim polisi membayar warga Indonesia yang
melaporkan adanya orang asing di wilayah mereka.
Kita akan menuduh kebijakan manusia perahu yang ingin
ditetapkan sebagai prioritas utama PM Abbott sebagai sangat rasialis, dan
menghina Indonesia yang selama ini menganggap kedekatan hubungannya dengan
Australia menjadi bagian penting dinamika geopolitik di kawasan Asia-Pasifik.
Kita harus mengingatkan kembali kalau kedaulatan adalah instrumen penting dalam
demokrasi yang juga dianut oleh Australia.
Pemerintah baru di Australia perlu menyadari Indonesia
memiliki tanggung jawab dalam persoalan manusia perahu seperti membuka Pulau
Galang ketika berakhirnya Perang Vietnam pertengahan tahun 1970-an. Dengan
demikian, kita perlu menegaskan, persoalan manusia perahu tidak bisa dilakukan
secara unilateral karena ada beberapa faktor memengaruhinya.
Pertama, manusia perahu berbondong-bondong ke Australia
disebabkan karena perbedaan tingkat kesejahteraan yang berbeda di setiap
negara. Pendapatan per kapita Australia lebih tinggi dibanding negara-negara
Asia Tenggara sehingga masuk akal kalau mereka menjadikan Australia sebagai
negara tujuan.
Kedua, manusia perahu berasal dari beberapa negara mulai dari
Iran, Irak, Sri Lanka, Afganistan, ataupun Pakistan. Artinya, ini persoalan
beberapa negara yang harus ikut diajak bicara dan tidak hanya bisa ditujukan
kepada Indonesia yang menjadi tempat transit. Tanpa kerja sama negara-negara
asal, transit, dan tujuan, masalah manusia perahu ini akan terus menjadi momok
buat siapa saja.
Dan ketiga, pemerintah koalisi konservatif di Australia tidak
terpaku pada janji kampanye dan mengabaikan ataupun mengorbankan kedaulatan
negara lain seperti Indonesia. Ketegangan diplomatik di kawasan ini mengarah
ambisi supranasional rasialis atas nama demokrasi, tidak akan menguntungkan
Indonesia maupun Australia.
Semangat Julie Bishop tentang politik luar negeri Australia
yang baru disebut not exclusively but unambiguously (tidak eksklusif
tapi tegas) tidak sesuai dengan semangat kemitraan, stabilitas, dan keamanan di
kawasan Asia-Pasifik ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar