|
Suatu ketika, Presiden Sukarno menyeru, "Kita bukan bangsa
tempe." Saat itu, sebutan bangsa tempe memang buruk. Bangsa tempe identik
dengan citra yang serbajelek dan buruk. Citra buruk tempe ternyata masih
lestari sampai sekarang, seperti tecermin pada ungkapan `mental tempe', mental
lemah. Boleh jadi, karena citra buruk itu, kita tidak pernah serius mengembangkan
kedelai, bahan inti tempe-tahu.
Kini, terbukti, kita bukan bangsa tempe. Ketika harga kedelai
naik tinggi, tempe- tahu hilang di pasaran. Selama tiga hari, Senin-Rabu
(9-11/9), produsen tahu dan tempe mogok berproduksi. Kenaikan harga kedelai
memang jauh dari toleransi para produsen tahu-tempe. Dibandingkan pada Januari,
kini harga kedelai naik lebih dari 40 persen.
Jalan menekan margin keuntungan dan kapasitas produksi,
mengurangi ukuran dan menurunkan mutu produk tidak lagi mampu menolong. Dari
sisi input, semua bahan perantara industri ini harganya naik, seperti terigu,
gula, dan telur. Di sisi lain, menaikkan harga terkendala daya beli yang
rendah. Lagi pula, tidak seperti sektor yang entry-exit barrier-nya tinggi, konsumen tahu dan tempat amat peka
terhadap harga. Ketika harga naik, permintaan akan turun atau konsumen lari.
Jika itu terjadi, satu-satunya jalan yang ada: menutup usaha.
Jika itu terjadi, barisan penganggur akan bertambah. Sebab,
sektor ini menghidupi jutaan rakyat jelata, dari petani kedelai, produsen
tempe-tahu-kecap, pedagang tahu-tempe, hingga penjual gorengan pinggir jalan.
Dari sisi kesehatan dan sumber daya manusia, peran tahu-tempe amat strategis.
Kandungan gizi dan vitamin tahu-tempe amat tinggi. Ia bisa jadi makanan diet,
pengganti makanan kaya lemak. Profesor Hembing Wijayakusuma menjuluki tempe
makanan super--karena tak tertandingi makanan sejenis. Dari sisi harga, protein
dari tempe jauh lebih murah ketimbang telur dan daging.
Karena itu, tempe
sebenarnya bisa jadi solusi masalah kekurangan energi protein warga miskin.
Di Belanda, AS, Malaysia, Jepang, dan Singapura, tempe
dikembangkan besar-besaran sejak 1980-an. Dengan de lapan asam amino
esensial--di antaranya thianisin (vitamin B1), ribovlafin (B2), asam
pantotenat, asam nikotinat, pirodiksin (B6), dan vitamin B12--dan antioksidan isoflavon, vitamin D, E, dan sterol,
tempe bisa diracik sebagai makanan diet, makanan antidegeneratif, antikanker,
dan tumor. Tidak seperti di sini yang wujudnya dari zaman dulu tidak berubah
(generasi I), di luar negeri tempe diproduksi secara industrial ke generasi II
dan III. Di Jepang, misalnya, tempe telah diolah jadi miso tempe.
Itu menandakan, ada sentuhan ilmu, ada rakitan teknologi
dalam produksi tempe. Ada keseriusan untuk mengembangkan tempe menjadi makanan
bermutu tinggi dengan sentuhan ilmu teknologi. Karena itu, tidak heran, meski
tempe ditemukan di Jawa (baca: Encyclopedia
van Nederlandsch Indie, 1922), hanya ada tiga paten tempe yang terdaftar
atas nama periset/perekayasa asal Indonesia. Sedangkan, yang dikantongi Jepang,
AS, dan Jerman sebanyak 15 buah paten.
Ketidakseriusan mengembangkan tempe-tahu, jejak-jejaknya
tampak jelas pada kedelai. Meminjam istilah Prof Pantjar Simatupang (2012),
yang terjadi saat ini adalah fenomena `dekedeleisasi'. Dekedeleisasi terjadi
lantaran tiga segitiga berikut ini: penurunan hasil relatif kedelei, penurunan
harga relatif, dan serbuan impor. Penurunan hasil relatif kedelai terjadi
karena daya saing kedelai terhadap jagung, tebu, dan padi merosot. Produktivitas
dan harga relatif menurun. Ujung- ujungnya, usaha tani kedelai tidak menguntungkan.
Ini yang membuat petani domestik meninggalkan kedelai.
Emoh menanam kedelai ini sudah amat gawat. Pada 1992, luas
panen kedelai masih 1.665.706 hektare (ha), turun jadi 1.279.079 ha, dan
tinggal 567.624 ha pada 2012 (34 persen dari 1992). Ka - rena produktivitas
naik lambat, konsekuensinya, produksi pun merosot: dari 1,869 juta ton (1992)
tinggal 0,843 juta ton (2012) atau tinggal 45 persen. Ini terjadi karena
jalinan dua faktor: liberalisasi dan senjang hasil penelitian-adopsi petani. Penurunan
harga relatif terjadi karena tidak ada kebijakan dukungan harga pada kedelai,
seperti beras atau gula.
Saat Orde Baru, harga kedelai diatur 1,5 dari gabah. Pada
saat sama, produk impor yang sebagian besar dari Amerika Serikat dan transgenik
lebih murah. Ini tak lepas dari kebijakan ofensif AS yang memberikan subsidi
(langsung dan ekspor) amat besar. Kini, ketika nilai tukar rupiah melemah dan
harga kedelai di pasar dunia cenderung naik, kita merasakan dampaknya. Tidak
ada kata mudah untuk ke luar dari masalah ini. Politik pembiaran (hands-of economic policy) telah
menghancurkan modal sosial petani kedelai.
Liberalisasi tidak terkendali berujung pada destabilisasi
harga. Pembebasan bea masuk dipastikan tidak banyak menolong. Untuk keluar dari
masalah ini, tak ada cara lain, harus dirakit kebijakan komprehensif di level
usaha tani, distribusi, stok, dan perdagangan. Tanpa itu, gonjang-ganjing
kedelai di republik ini selalu berulang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar