|
“Citra sosok
politikus di mata masyarakat yang cenderung terus merosot, justru di zaman
demokrasi ini, adalah akibat saja dari proses mandeknya demokrasi di tubuh
internal partai politik.”
Sejak semula, cukup banyak kritik yang dilontarkan terhadap
rencana penyelenggaraan konvensi Partai Demokrat (PD). Mereka umumnya memandang
skeptis rencana konvensi, dan melihatnya tidak lebih sebagai suatu tindakan
"akal-akalan", dengan tujuan mendongkrak popularitas PD yang belakangan
merosot. Proses konvensi sering kali dituduh sebagai proyek pencitraan belaka,
tidak lebih dari itu.
Bagaimanapun harus diakui, kehidupan politik di Indonesia
pasca-reformasi memang menunjukkan gejala anomali. Ini bisa dilihat dari gejala
bahwa, ketika kondisi demokrasi politik kita secara keseluruhan menunjukkan
kemajuan, justru situasi demokrasi politik di tingkat kepartaian malah tidak
mengalami perkembangan yang berarti, kalau tidak bisa dibilang mandek.
Lihat saja, Indonesia mendapat banyak pujian dari dunia
internasional atas kemajuan demokrasinya. Tapi anehnya, praktek kehidupan
politik kepartaian sehari-hari kelihatan tidak mencerminkan kemajuan itu.
Seolah-olah ada kesenjangan antara perkembangan di tingkat makro dan mikro
dalam kehidupan politik kita. Berdasarkan perkembangan realitas politik seperti
ini, penyelenggaraan konvensi PD bisa dilihat dalam dimensi yang lebih positif,
yaitu sebagai suatu proses politik yang berpotensi mendorong kemajuan demokrasi
di tubuh internal partai.
Mandeknya proses demokrasi di tubuh internal partai selama
ini memang telah menjadi sumber dari berbagai penyakit yang menjangkiti
partai-partai politik di Indonesia. Itulah sebabnya, umumnya partai politik
belum mampu melepaskan diri dari jeratan praktek kolusi dan korupsi, rekrutmen
kader dan kepemimpinan partai yang tidak transparan sehingga menyuburkan
kekuasaan oligarkis, kesenjangan yang tak terjembatani antara aspirasi
konstituen dan kebijakan partai, dan lain sebagainya.
Kalau dicermati, penyakit demokrasi seperti yang disebutkan
itu tidak hanya menjangkiti partai-partai yang baru muncul sejak zaman
reformasi. Partai-partai berusia tua, yang berkesempatan untuk berkembang lebih
matang, juga masih harus bergulat dengan masalah yang sama. Citra sosok
politikus di mata masyarakat yang cenderung terus merosot, justru di zaman
demokrasi ini, adalah akibat saja dari proses mandeknya demokrasi di tubuh
internal partai politik.
Kondisi ini jauh berbeda bila dibandingkan dengan situasi
pada 1950-an, ketika para politikus masih memperoleh gengsi yang cukup tinggi
di mata masyarakat. Kala itu, para politikus masih dianggap sebagai sosok
pembawa pembaruan dengan gagasan-gagasan atau ide-ide yang diperjuangkannya.
Tidak mengherankan kalau saat itu, ide-ide dan nilai-nilai menempati posisi
tinggi dalam arena perjuangan politik.
Bandingkan saja dengan masa sekarang, di mana ide-ide dan
nilai-nilai tidak lagi menjadi yang utama dalam menarik minat para pendukung.
Uang tidak jarang malah lebih dipandang ketimbang ide dan gagasan, sehingga
sering ada yang bilang politik pada dewasa ini nyaris mengalami kebangkrutan
ide.
Proses konvensi
Ada beberapa hal menarik yang bisa dicermati dari
penyelenggaraan konvensi PD. Pertama, pemilihan peserta konvensi dilakukan
secara semi-terbuka, sehingga peserta konvensi tidak mesti dari internal
partai, tapi juga berasal dari luar partai. Walhasil, dari sebelas peserta
konvensi terpilih, misalnya, hanya empat orang berasal dari lingkup internal
partai, sedangkan tujuh orang sisanya berasal dari luar partai atau independen.
Yang kedua, konvensi dilaksanakan secara transparan, dan
yang lebih penting, proses penyelenggaraan serta penetapan pemenangnya
melibatkan masyarakat. Pelibatan masyarakat ini, antara lain, dilakukan dengan
menjaring pendapat masyarakat lewat survei jajak pendapat. Pengenalan kemampuan
peserta konvensi ke publik dilakukan, antara lain, lewat debat publik, termasuk
pengenalan visi, misi, dan program strategis si calon.
Itulah sebabnya komite konvensi sebagai penyelenggara
kegiatan konvensi, para anggotanya dipilih dari kalangan dalam partai dan juga
para tokoh independen yang berada di luar partai. Tercatat, misalnya, dari 17
anggota komite konvensi, sepuluh di antaranya berasal dari luar partai,
sedangkan sisanya dari internal partai. Harapannya, konvensi bisa
diselenggarakan dengan mengikuti prinsip-prinsip yang telah digariskan sebelumnya,
yaitu semi-terbuka, transparan, dan melibatkan masyarakat luas.
Dan yang menarik, proses penentuan pemenang konvensi tidak
mengenal "babak penyisihan". Artinya, semua peserta akan mengikuti
semua proses konvensi dari awal (September 2013) hingga akhir (April 2014),
kecuali yang bersangkutan mengundurkan diri. Dengan demikian, masyarakat bisa
berkesempatan menggali secara penuh semua informasi terkait dengan kandidat
capres dari awal sampai akhir selama delapan bulan.
Lewat proses konvensi yang lamanya delapan bulan itu,
misalnya ada kemungkinan terjadinya "membeli kucing dalam karung"
dalam proses pengajuan kandidat capres, bisa diminimalisasi. Sebab, masyarakat
sejak awal bisa ikut terlibat dalam memberikan penilaian dari A sampai Z tentang
siapa-siapa calon yang akan dimajukan.
Sedangkan bagi kandidat capres, proses konvensi yang cukup
lama akan memberikan kesempatan baginya untuk lebih dalam mendengar, mengerti,
dan memahami apa keinginan atau aspirasi masyarakat yang sesungguhnya. Pendek
kata, terbuka kemungkinan proses interaksi timbal-balik yang konstruktif antara
calon pemimpin (kandidat capres) dan masyarakat.
Semuanya itu pada gilirannya berpotensi mendorong tumbuhnya
rasa kepercayaan, kepedulian, dan kepemilikan masyarakat atas kandidat capres,
dan yang berimbas pada partai yang bersangkutan. Tentu dengan syarat bahwa
masyarakat bisa diyakinkan bahwa proses konvensi betul-betul bisa berjalan di
atas prinsip yang telah digariskan. Kalau ini bisa terjadi, proses konvensi
bisa memberikan sumbangan bagi semakin tegaknya prinsip demokrasi di tubuh
internal partai.
Atas dasar itu, proses konvensi berpeluang menjadi suatu
terobosan untuk mempersempit jarak kesenjangan antara perkembangan politik di
tingkat makro dan tingkat mikro. Karena potensi positifnya itu, ketimbang
memandang negatif dan menuduh penyelenggaraan konvensi PD sebagai proses
"akal-akalan" belaka, jauh lebih bermanfaat untuk mencermati,
mengawasi, dan mengkritik keseluruhan proses konvensi agar arahnya tetap berjalan
lurus sesuai dengan prinsip yang telah ditetapkannya sendiri.
Bagaimanapun, apabila konvensi ini berhasil, banyak hal
yang bisa digulirkan dari situ, termasuk memajukan demokrasi di tubuh internal
partai. Ini tentu saja suatu inisiatif politik yang positif. Dan tentu,
konvensi PD bukan satu-satunya model inisiatif politik. Tentu masih banyak
model lainnya yang mungkin dikembangkan oleh partai-partai lainnya di
Indonesia, dalam rangka terus mengembangkan kehidupan demokrasi di Indonesia.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar