|
“MENIKMATI” Vicky Prasetyo jelas berbeda dari menyaksikan
Thukul Arwana. Aksentuasi “Twenty nine my
age...” terasa gimanaaa gitu
dibandingkan dengan cara Thukul mengucapkan “Don’t
go anywhere...”, atau mungkin ketika pada masa kecil kita sering
mencelutukkan “no what-what” untuk
menutupi kekurangan dalam kemampuan berbahasa Inggris.
Gimanaaa-nya Vicky sangat terasa sebagai cara untuk “tampil lebih”
(intelek) ketimbang Thukul yang sengaja mengutip beberapa penggal kalimat
Bahasa Inggris agar “tampil lebih” (gila), juga kita pada masa kecil agar
“tampil lebih” (bergaya).
“Intelektualitas” Vicky yang kemudian banyak “dikaji” oleh
para intelek sejati segera mengingatkan saya akan celetukan-celetukan guyon
pada masa kecil kita dengan memelesetkan serangkaian kata menjadi kalimat yang
“seolah-olah Inggris”, “seakan-akan Belanda”, menjawakan Inggris, atau menginggriskan
Jawa.
Anda yang seusia dengan saya, dan mengenang tahun 1960-an
atau 1970-an, pastilah mengakrabi kalimat yang jika diucapkan dengan aksentuasi
tertentu seolah-olah ber-taste Belanda, “Bur
nas koppen”. Hehehe, itu “bubur panas
kokopen”. Atau kemasan kalimat njawani ini, “Blek-ket-det-in-the-ceret”. Walah, ternyata itu berserempetan
dengan gathuk-mathuk kata-kata Inggris, “Black
cat death in the chair red”, “Kucing
hitam mati di kursi berwarna merah”.
Hadeh! Ternyata strukturnya kok ya “ke-Vicky-Vicky-an”,
seperti ketika dengan pe-de dia mengemukakan “Twenty nine my age”, atau “I
am froms the birthday in Karang Asih city...”
Saya juga masih ingat bagaimana mengasah kefasihan
keinggris-inggrisan itu lewat kalimat, “Lut
my ndhut, you my wrong” sebagai pelesetan “Welut omahe ngendhut, yuyu omahe ngerong”. Juga “Dhah bong leng you” untuk mengatakan, “Dhadhahe kobong celenge mlayu”.
Bahkan yang Inggris beneran “Lion on the table” ini ternyata untuk menyebut nama “Mbah Singodimejo”, dan “You get boy”, “Wong ayu joget ditabuhi”.
Ke-pede-an untuk “tampil lebih” lewat eksploitasi
penggunaan simbol-simbol bahasa, terbukti dijadikan jalan oleh orang-orang
tertentu untuk meraih target-target tertentu. Vicky jelas berbeda dari Thukul,
dari aspek panggung kehidupan yang sesungguhnya dan dari rasa panggung komedi
untuk membuat khalayak tertawa.
Vicky tampil senekat itu bukan supaya ditertawai, tetapi
berorientasi pengelabuan, agar orang terkesan dengan kemampuan bahasa
Inggrisnya, sedangkan Thukul sengaja menunjukkan kebelepotan bahasanya untuk
memperkuat ke-ndesa-an tampilan yang
memancing tawa orang, karena memang yang “dijual” adalah kesan kekatrokan.
PENGELABUAN lewat simbol kemampuan mengemas bahasa,
sejatinya merupakan refleksi dari panggung kehidupan kita juga. Ya, banyak
Vicky di sekitar kita. Di ranah kekuasaan misalnya, betapa banyak politikus
yang mencoba membius publik dengan menghamburkan retorika penuh janji.
Lihatlah di pentas-pentas talk show televisi, kepintaran menekak-nekuk lidah untuk unjuk diri
dan menohok lawan, sungguh mirip dengan gaya Vicky ketika masih bernama
Hendrianto di panggung kampanye Pilkades Karang Asih.
Dalam interaksi sosial, modus “pembiusan” juga banyak
dilakukan oleh orang-orang yang tampilannya mampu meyakinkan pihak lain.
Kasus-kasus penggandaan uang, penyertaan modal yang rendah logika, hingga para
calo pekerjaan dan jabatan jelas menggunakan kelihaian persuasi berbekal
kemampuan masing-masing dalam mengemas simbol bahasa.
Di sisi lain, kondisi kehidupan keindonesiaan kita seperti
dibuka lebar oleh kehadiran Vicky Prasetyo dan Zaskia Gotik. Antara fenomena
orang yang pintar membius dengan tampilan yang dibuat “plus”, dan fenomena
orang yang mudah terpesona oleh kulit luar.
Kepintaran memindah panggung ke kehidupan nyata itulah yang
dimiliki oleh orang-orang seperti Vicky, juga mereka yang dari berbagai
panggung masing-masing direfleksikan oleh munculnya “tokoh fenomenal” ini.
Saya, juga mungkin sejumlah teman di masa SD atau SMP yang
sempat menikmati kreasi panggung masa lalu tentu masih ingat ketika dalam drama
17 Agustusan diberi kasting peran sebagai tokoh Kumpeni. Dengan mondar-mandir
kita berlagak kikuk bicara, “En kowe
orang ekstremis van Batavia ya?”, atau ada juga yang mati-matian bergaya
cedal menirukan aksen Tionghoa, “Haiyyaaa,
blek dudu tong, tong dudu blek...”
Nah, sekarang Vicky mampu meminggirkan sekaligus mengaduk
kembali kenangan masa kecil kita itu dengan lagak yang lebih nekat dan
tendensius. Bahkan perbendaharaan kata “akademis” seperti “konspirasi
kemakmuran”, “labil ekonomi”, atau “kontroversi hati” saya perkirakan
menciptakan kondisi betapa orang-orang akademis pun bakal mulai malu mengumbar
kosa kata ilmiah karena takut dikesankan “terkena Vickynisasi”.
Ya, sudahlah. Dari sisi konspirasi kegilaan, tulisan ini
mungkin sedikit melengkapi statusisasi tampilan-tampilan yang dilebihkan, atau
selanjutnya bisa kita komunikasikan untuk membangun harmonisisasi... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar