|
ALKISAH, di
suatu waktu, di sebuah pondok pesantren, di pelosok Sukabumi, Jawa Barat, Kiai
Marwan Syarifin tampak sedang terlibat dialog serius dengan seorang mantan
santrinya. Sangidi Riawan, sang mantan santri itu sengaja datang dari
Jakarta menemui gurunya. Ia dilanda kegelisahan mendalam tentang situasi umat
Islam akhir-akhir ini, terkait dengan isu Miss World. Di kampusnya,
mahasiswa terbelah dua: yang pro dan kontra terhadap penyelenggaraan
kontes Miss World. Bahkan, di kalangan aktivis mahasiswa Islam, ada
juga yang secara terbuka mendukung kontes Miss World.
Sangidi
gelisah. Gurunya, Kiai Marwan, dilihatnya tergabung dalam demonstrasi menentang
kontes Miss World. Di mata Sangidi, penyelenggara Miss
World telah melakukan upaya mulia untuk kemajuan bangsa, karena telah
mengubah konsep Miss World menjadi kontes tanpa bikini. Budaya
dan pariwisata Indonesia pun diharapkan dapat makin meningkat.
Meski
sempat mengenyam pendidikan pesantren, di bawah asuhan Kiai mumpuni pula,
pergaulan hidup dan informasi global telah mengubah pola pikirnya. Sangidi kini
dikenal sebagai aktivis mahasiswa. Latar belakangnya sebagai lulusan pesantren
terkenal pun menambah daya tarik tersendiri. Lidahnya fasih melafalkan berbagai hujjah, dilengkapi
dengan hiasan istilah-istilah Inggris dan Arab.
Meskipun
sangat tidak lazim bagi seorang santri untuk mmengkritisi pendapat atau
tindakan Kiai, kali ini, Sangidi memaksakan diri bertanya dan jika perlu
mengkritisi pendapat-pendapat gurunya. Tekadnya sudah bulat untuk – jika
mungkin – membawa gurunya itu ke kubu pendukung kontes Miss World.
Sekurangnya, tidak aktif menentangnya.
“Pak Kiai,
saya mohon dijelaskan, kenapa Pak Kiai ikut-ikutan demo menentang kontes Miss
World?” Sangidi memberanikan diri menggugat Kiainya. Jantungnya
berdegup cukup kencang.
“Saya
tidak ikut-ikutan, Sangidi! Saya sangat sadar dengan apa yang saya lakukan. Ini
kewajiban kita sebagai Muslim,” jawab Kiai Marwan.
“Kewajiban
yang mana, Pak Kiai?” tanya Sangidi, sambil memandang wajah
Kiainya.
“Harusnya
sebagai lulusan pesantren kamu tahu. Ini kan kewajiban al-amaru
bil-ma’ruf wal-nahyu ‘anil munkar. Kita wajib menegakkan kebenaran
dan mencegah kemungkaran. Itu salah satu pilar ajaran agama kita. Bahkan,
kata Imam al-Ghazali, itu yang menentukan hidup matinya umat Islam. Kata
Nabi kita Shallallahu ‘alaihi Wassalam, siapa yang melihat kemungkaran, maka
hendaknya ia berusaha mengubah dengan kekuatannya. Jika tidak mampu, dengan
kata-kata atau pikirannya; dan jika tidak mampu juga, cukup dengan hati. Jadi,
minimal, ingkar dan tidak ridho terhadap kemungkaran. Kamu kan paham akan
hadis Nabi itu, Sangidi!
Sangidi
terdiam. Ia tampak gelisah. Kiai Marwan seperti memahami kondisi
pemikiran mantan santrinya itu. Ia menduga, mantan santrinya telah
menjadi korban propaganda jaringan pendukung Miss World. Dengan
kekuatan uang, media massa, dan lobi-lobi politik yang dimilikinya,
panitia Miss World cukup mampu membangun citra mulia atas
tindakannya di tengah masyarakat. Karena itu, Kiai Marwan pun tak heran
jika ada sebagian organisasi Islam bahkan oknum ulama yang berselingkuh
mendukung kontes Miss World.
Sambil
memandangi wajah dan gerak-gerik anggota tubuh Sangidi, Kiai Marwan mencoba
membaca pemikiran salah satu santri yang dulu sempat dibanggakannya itu.
Dibiarkannya saja Sangidi bergulat dengan pemikirannya, sampai Sangidi sendiri
buka mulutnya.
“Maaf
Pak Kiai, apa yang Pak Kiai maksud dengan ‘mungkar’. Apa kontes Miss
World ini termasuk mungkar? Dimana letak kemungkarannya?”
Sangidi buka mulut lagi.
“Ya,
Sangidi! Justru kontes Miss World dan sejenisnya ini
kemungkaran yang sangat canggih, terencana dengan rapi. Bahkan lebih parah
lagi, kemungkaran ini dibungkus dengan propaganda hebat, sehingga tercitrakan
sebagai sebuah kebaikan bagi bangsa kita. Bukan hanya kontesnya yang
bermasalah, tapi mengkampanyekan, bahwa bentuk maksiat seperti itu adalah
kebaikan bagi bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim. Ibaratnya,
melacur itu dosa; korupsi itu dosa. Tapi mengatakan bahwa melacur itu adalah
amal sholeh. Itu lebih besar kejahatannya. Coba kamu baca tafsir QS at-Taubah
ayat 31.”
“Saya
masih belum mengerti jalan pikiran Pak Kiai. Bukankah mereka sudah tampil
dengan sangat sopan dan tidak melanggar etika dan norma budaya kita?”
kata Sangidi lagi.
Kiai
Marwan tersenyum simpul mendengar pertanyaan sang murid. Sangidi pun
menyela, “Mengapa Pak Kiai senyum-senyum?”
“Sangidi...
Sangidi…! Kamu itu santri cerdas, yang mestinya sudah memahami
masalah seperti ini. Mengapa kamu sampai termakan propaganda-propaganda dengan
logika yang dangkal seperti itu? Harusnya kamu paham tentang kiat-kiat setan
dalam menipu dan menyesatkan manusia, sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat
al-Quran.”
Sangidi
masih terdiam. Wajah Kiai Marwan dipandanginya, diam-diam. Tetap saja wajah itu
menyungging senyuman.
“Begini
Sangidi…. Saya maklum, kamu bisa terjebak. Ada juga pejabat yang
kuliahnya di Timur Tengah pun ikut menyarankan agar peserta kontes Miss
World itu mengenakan kebaya. Ia tidak dengan tegas menolak kontesnya.
Hanya bajunya yang dia persoalkan.”
“Bukankah
itu saran yang bagus Pak Kiai?”
“Saran itu
tidak cukup dan tidak mendasar. Yang mendasar pada masalah kontes Miss
World ini adalah konsep dan cara pandang terhadap manusia dan martabatnya.
Ini kontes tubuh manusia! Yang ikut kontes itu manusia; bukan anjing atau
kucing. Kita orang Muslim punya cara pandang yang khas
terhadap manusia. Seorang manusia disebut manusia karena akalnya, karena
jiwanya. Kita memberikan nilai tinggi kepada manusia juga karena ketinggian
iman, akhlak, dan amalnya. Kata Nabi saw: sebaik-baik manusia adalah yang
memberikan kemanfaatan kepada manusia. Pada dasarnya, orang cantik, jelek,
normal, cacat, itu kehendak Allah. Itu bukan prestasi. Kecantikan itu anugerah
dan sekaligus ujian dari Allah. Karena itu, tidak patut dilombakan! Jangan kamu
buat, misalnya, kontes mulut termonyong, lomba bibir terlebar, dan sebagainya!
”
“Tapi, Pak
Kiai, bukankah yang dinilai dalam Miss World bukan hanya
kecantikannya, tapi juga kecerdasan dan perilakunya?”
“Ha… ha...
ha… Sangidi… Sangidi…! Cobalah pikir! Sederhana saja! Di Indonesia
ini, perempuan yang memiliki prestasi kecerdasan tinggi itu berjubel; ribuan
jumlahnya. Mereka-mereka sudah mengharumkan nama bangsa di berbagai forum
ilmiah internasional. Mereka melakukan riset-riset ilmiah dan sukses membuat
temuan-temuan hebat di bidang ilmu pengetahuan. Prestasi intelektualnya jauh di
atas perempuan yang terpilih jadi miss Indonesia itu!”
“Peserta Miss
World ini juga harus punya proyek sosial, Pak Kiai, bukan kecantikan
saja yang dinilai?” Sangidi masih berusaha meyakinkan gurunya.
“Itu juga
bukan hal yang inti, Sangidi! Kalau mau cari perempuan Indonesia yang sangat
mulia, yang berjasa besar kepada keluarga dan masyarakatnya, terlalu banyak di
negeri ini. Bukan sekedar buat proyek insidental. Bukan sekedar show amal,
tapi kehidupan mereka sehari-hari sudah bergelut dengan kerja-kerja mulia untuk
kemanusiaan.”
Sangidi
terdiam. Ia sebenarnya memahami logika Kiainya. Tapi ia belum bisa menerima
logika itu sampai harus membatalkan Miss World di Indonesia.
Sebab, faktanya, Miss World memang mendatangkan manfaat.
Indonesia jadi lebih dikenal dunia. Peserta Miss World pun
ikut mempromosikan budaya Indonesia. Jadi, kecantikan punya nilai tambah
tersendiri. Cukup lama Sangidi merenung di depan Sang Kiai. Hatinya bergolak.
Ia sudah terlanjur menulis dalam blog-nya, bahwa kontes Miss World di
Indonesia kali ini benar-benar membawa manfaat bagi bangsa.
“Begini
Pak Kiai…. Indonesia ini kan bukan negara Islam. Mengapa Pak Kiai selalu
bawa-bawa Islam untuk menilai kontes Miss World? Ini kan masalah
bangsa?”
“Siapa
yang mengatakan Indonesia bukan negara Islam? Kalau bukan negara Islam, lalu
Indonesia negara apa? Apa negara kafir? Kamu mikir, Sangidi!
Jangan hanya ikut-ikutan buat pernyataan seperti orang-orang yang kurang
memahami sejarah bangsa kita!”
“Lho apa
memangnya, Indonesia ini negara Islam, Pak Kiai?”
“Dengar
baik-baik ya, Sangidi! Indonesia ini negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dan sudah ditegaskan oleh para perumusnya, bahwa Tuhan Yang Maha Esa
itu adalah Allah Subhanahu Wata’ala, sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD
1945 alinea ketiga. Juga latar belakang rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa itu
adalah sebagai ganti dari tujuh kata yang dihapus dalam Piagam Jakarta.
Ringkasnya, Indonesia ini Negara berdasar atas Tauhid, sebagaimana konsep
Islam. Itu ditegaskan dalam Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo!”
“Tapi Pak
Kiai, itu kan menurut Pak Kiai yang Islam. Bagaimana dengan warga Indonesia
yang beragama lain?”
“Kamu itu
orang Islam atau bukan!? Bukankah seharusnya kamu berpikiran semacam itu,
sebagai orang Islam. Kalau soal orang non-Muslim, itu urusan mereka.
Kita hormati cara berpikir mereka.”
“Ya benar.
Hanya saja, Pak Kiai… kita ini kan warga Negara Indonesia yang plural, tidak
bisa memaksakan nilai-nilai Islam kita kepada yang lain?”
“Yang
memaksakan itu siapa? Kita tidak memaksa siapa-siapa.”
“Itu
buktinya, Kiai memaksakan kontes Miss World dibatalkan!”
“Penyelenggara
yang memaksakan kontes munkar itu diadakan di Indonesia.
Mereka tidak sensitif dengan aspirasi umat Islam Indonesia. Di Masa Pak Harto,
mengirimkan wakil ke Miss-miss-an seperti itu saja dilarang.
Apalagi jadi tuan rumahnya! Ini sangat keterlaluan, mentang-mentang punya uang
dan media! Acara ini juga sangat mudah memicu prasangka dan konflik
bernuansa ras dan agama. Ini yang tidak kita kehendaki. Karena itu, jauh-jauh
sebelum acara ini berlangsung, saya sudah mengingatkan penyelenggara, baik lewat
tulisan atau pun lobi. Jangan teruskan acara ini! Jangan merusak dan
memecah belah bangsa kita dengan cara-cara yang akan memunculkan kontroversi.
Karena itu, kami para pimpinan pesantren, tidak tinggal diam! Itu makanya
saya turun langsung berdemonstrasi memprotes acara Miss World ini!!!!!”
suara Kiai Marwan agak meninggi.
“Apa Pak
Kiai mau memaksakan untuk dibatalkan, padahal pemerintah pun sudah melokalisasi
acara ini di Bali!”
“Orang
seperti saya ini tidak punya kuasa. Bagaimana mau memaksakan? Yang memaksakan
itu yang punya uang, yang punya televisi, yang punya keberanian menantang
Tuhan! Yang bertanggung jawab dunia akhirat itu ya Pak SBY dan para pejabat di
bawahnya. Saya hanya menyampaikan aspirasi sekuat tenaga dan pikiran.
Terserah pemerintah dan panitia penyelenggara mau dengar atau tidak!”
“Maaf, Pak
Kiai, apa tidak sebaiknya Pak Kiai menerima kenyataan, bahwa masyarakat kita
sekarang sangat sulit menerima pemahaman seperti Pak Kiai ini. Pak Kiai akan
dianggap makhluk aneh, karena pada umumnya manusia senang melihat tontonan yang
melibatkan orang-orang cantik. Bahkan, sekarang, artis-artis jauh lebih
popular daripada ulama. Apa Pak Kiai tidak bisa berkompromi sedikit?”
“Kebenaran
itu, Sangidi, tidak bisa dikompromikan. Kita harus menyatakan yang haq
itu haq, yang benar itu benar. Katakan saja, meskipun itu pahit; begitu pesan
Nabi kita, Nabi Muhammad saw. Dan saya yakin, kebenaran itu pasti ada
pendukungnya. Mungkin tidak banyak. Tapi, yang sedikit itu, jika serius, akan
mampu memimpin yang banyak. Anak babi itu banyak; anak singa sedikit. Tapi,
anak singa makan babi… he he he….” Kiai Marwan tertawa lirih sambil
senyum-senyum memandangi Sangidi yang mulai salah tingkah.
“Kamu
kenapa sih Sangidi…. Kok kelihatan gelisah. Kamu kan tidak ada
hubungan apa-apa dengan panitia Miss World?”
“Maaf…
maaf… Pak Kiai, benar-benar saya minta maaf ya Pak Kiai…. Saya ke sini
sebenarnya ada maksud membawa amanah dari seseorang yang meminta saya
melunakkan pendapat Pak Kiai soal Miss World ini…”
“Ya, saya
sudah menduga… tidak biasa-biasanya kamu datang ke sini, sejak lulus pesantren
dua tahun lalu…saya menduga pasti kamu membawa misi sesuatu! Terus, … kamu
sendiri bagaimana sikapmu terhadap kontes Miss World ini.”
“Saya
coba pikir-pikir Pak Kiai. Saya baru mendengar hujjah yang agak jelas tentang
masalah ini.”
“Begini
Sangidi, kuncinya ada di hatimu; kuncinya pada kejujuranmu. Apa kamu
jujur? Apa kamu jujur kalau kamu Muslim? Apa kamu jujur
dengan ikrarmu, dengan syahadatmu; bahwa Allah itu Tuhanmu, bukan cukong penyandang
danamu; bukan hawa nafsumu! Apa kamu masih jujur dengan ikrarmu. Apa kamu masih
mengakui Nabi Muhammad saw itu suri tauladan dan idolamu; apa idolamu sudah
berubah menjadi Che Guevara atau Hartawijaya?
“Ya Pak
Kiai, saya jujur insya Allah! Tapi, kan ini masalah bangsa Pak Kiai? Bukan
sekedar masalah agama saja! Ada yang bilang, secara hukum positif di Indonesia,
tidak ada yang dilanggar dalam kontes Miss World. Bagaimana itu Pak
Kiai?”
“Saya
tidak habis pikir, jika yang ngomong seperti itu orang Islam.
Di Indonesia ini, menurut hukum positif, berzina saja – asal suka sama suka dan
sama-sama dewasa – tidak melanggar hukum positif. Apa lalu orang boleh berzina,
karena tidak melanggar hukum positif? Cari pasal dalam KUHP, apa ada larangan
masuk masjid dengan mengenakan bikini!!! Sudahlah Sangidi… kamu harusnya
sering-sering silaturrahim ke sini. Kamu sudah terlalu banyak bergaul dengan
orang-orag liberal, sampai pikiranmu mulai rusak; tidak bisa lagi membedakan
mana yang salah dan mana yang benar. Hati-hati, kamu sepertinya sudah
mulai terbuai dengan pujian dan sedikit popularitas yang kamu nikmati
sekarang!”
Sangidi
terdiam. Ia tak sanggup lagi menatap wajah gurunya. Kata-kata Kiai Marwan
seperti menyayat-nyayat perasaannya. “Doakan saya Pak Kiai, semoga saya masih
bisa istiqamah!”
“Saya
selalu mendoakan. Tapi, kamu sendiri harus punya niat untuk tidak sesat!”
“Baik, Pak
Kiai… saya mohon ijin untuk pamit,” Sangidi mengakhiri ucapannya.
“Ya, jaga
diri. Ingat orang tuamu, berharap kamu jadi anak shalih!”
Sejurus
kemudian, sebuah sedan hitam metalik, membawa Sangidi meninggalkan pesantren. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar