|
Tak ada satu pun negara yang dapat
menghindar dari perlambatan ekonomi dunia pada saat ini.
Indonesia
adalah salah satunya, yaitu akhirnya kita harus bisa legawa menerima kenyataan
bahwa pertumbuhan ekonomi kita kembali berada di bawah 6 persen setelah
terakhir kita mengalaminya pada tahun 2009.
Data terakhir
yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik menunjukkan, pertumbuhan ekonomi
Indonesia kuartal II-2013 melambat jadi 5,8 persen year-on-year (yoy)
dibandingkan dengan 6,02 persen pada kuartal I-2013. Namun, dibandingkan dengan
negara berkembang lain, Indonesia terbukti masih tumbuh relatif stabil. Hal ini
ditunjukkan dengan standar deviasi pertumbuhan ekonomi selama periode
2007-2012, dengan Indonesia mencapai 0,7, sementara Thailand 5,9, Malaysia 3,7,
Filipina 2,4, India 2,2, dan China 1,6.
Secara
implisit, ini membuktikan, Indonesia masih punya daya tahan yang kuat terhadap
gejolak ekonomi global walau tren pertumbuhan terus melambat sejak 2012. Namun,
apakah kita harus puas dengan keadaan ini? Tentu saja tidak karena sebenarnya
jika kita bedah lebih jauh lagi mengenai perekonomian kita, banyak hal yang
perlu jadi perhatian kita semua jika tak ingin ekonomi kita terus meluncur ke
bawah.
Beberapa
permasalahan yang terjadi dalam perekonomian kita saat ini sebenarnya lebih
bersifat ”struktural”, seperti inflasi tinggi, defisit neraca perdagangan
karena pertumbuhan impor pesat dan nilai tukar rupiah yang tertekan hingga saat
ini sudah terdepresiasi 6,7 persen dibandingkan dengan awal tahun. Oleh karena
itu, penanganannya tak dapat bersifat ad hoc dan parsial, tetapi
harus komprehensif dan berkelanjutan. Mari bedah satu per satu permasalahan
struktural yang kita hadapi saat ini.
Inflasi
Inflasi yang
lebih didorong fenomena nonmoneter. Dilihat dari sumber pendorong inflasi,
jelas terlihat inflasi di Indonesia saat ini lebih didorong inflasi sektor
pangan (volatile foods) dan
barang-barang yang harganya diatur pemerintah (administered goods). Sementara inflasi inti relatif stabil, bahkan
saat inflasi total Juli mencapai 8,6 persen yoy inflasi inti masih
stabil di tingkat 4,4 persen yoy. Inflasi yang lebih disebabkan sisi
penawaran ketimbang sisi permintaan mengindikasikan dibutuhkan penanganan tepat
untuk sisi suplai ekonomi kita. Ketahanan pangan kita perlu dikuatkan kembali
melalui pengembangan sektor pertanian yang lebih produktif dan agroindustri
yang dapat bersaing dengan produk serupa dari negara tetangga.
Dengan
demikian, permasalahan tak akan selesai hanya dengan membuka keran impor.
Selanjutnya gejolak tinggi akibat perubahan yang signifikan
pada administered goods, khususnya harga BBM, dapat mulai dilakukan dengan
mendekatkan harga BBM domestik dengan harga pasar global sehingga sekaligus
dapat meningkatkan efisiensi penggunaan BBM di domestik.
Neraca transaksi berjalan
Defisit neraca
transaksi berjalan (NTB) lebih bersifat struktural. Implikasinya, penanganannya
perlu waktu lebih lama dan komprehensif serta banyak melibatkan instansi
terkait. Memburuknya NTB sudah mulai dirasakan sejak 2010 dan puncaknya 2012,
saat NTB defisit 24,1 miliar dollar AS atau 2,7 persen dari PDB. Memburuknya NTB
kita justru terjadi saat ekonomi kita mengalami ekspansi, dengan rata-rata
pertumbuhan ekonomi di periode tersebut 6,3 persen dan investasi 9,1 persen.
Struktur sektor industri pengolahan kita yang kurang kompetitif dan tidak
mengalami perkembangan secara berarti tak dapat mengimbangi pertumbuhan ekonomi
yang cepat. Akibatnya, ketergantungan terhadap impor bahan baku meningkat
hingga 77 persen dari total impor dan memicu terjadinya defisit NTB. Sebagai
gambaran, jika pada tahun 2002 sumbangan sektor manufaktur masih sekitar 30
persen dari PDB, pada kuartal II-2013 turun hanya menjadi 24 persen dari PDB.
Oleh karena itu, strategi pengembangan industri pengolahan termasuk juga
”hilirisasi industri” menjadi sangat penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap
bahan baku impor dan juga sekaligus meningkatkan daya saing ekspor
nonkomoditas.
Pengembangan
sektor industri akan mengurangi pengangguran di Indonesia, yang sekarang masih
6,1 persen, karena sektor ini adalah sektor ketiga penyerap tenaga kerja terbesar
setelah pertanian dan perdagangan. Pemerintah harus punya master
plan pengembangan industri pengolahan dan tentunya komitmen yang penuh
untuk menjalankan itu. Jadi, ke depannya, NTB kita akan lebih sehat seiring
dengan pertumbuhan ekonomi kita dan perbaikan ekonomi global.
Iklim investasi
Buruknya iklim
investasi di Indonesia. Indeks daya saing global Indonesia saat ini masih
peringkat ke-50 dari 144 negara, di bawah Malaysia (ke-25) dan Thailand
(ke-38). Studi World Economic Forum
(2012) mengidentifikasi empat faktor utama yang menyebabkan rendahnya daya
saing Indonesia daripada negara lain, yaitu birokrasi, korupsi, infrastruktur,
dan pasar tenaga kerja. Panjangnya birokrasi, khususnya perizinan, sering
menimbulkan ketidakpastian dalam berbisnis dan ini menjadi keluhan utama para
investor.
Masalah lain
yang tak kalah penting, relatif buruknya kualitas infrastruktur di Indonesia.
Buruknya konektivitas antar-kawasan di Indonesia menyebabkan biaya logistik di
Indonesia menjadi yang termahal di kawasan, mencapai 27 persen dari PDB
dibandingkan dengan India (13 persen), China (18 persen), dan Vietnam (25
persen). Masalah utama lain adalah tenaga kerja, yakni terkait dengan kebijakan
dan kualitas tenaga kerja. Saat ini hampir sekitar 50 persen tenaga kerja kita
tamatan SD dan hanya sekitar 9,2 persen tamatan SMA ke atas. Peningkatan
pendidikan, baik formal maupun informal, menjadi penting jika kita ingin punya
tenaga kerja produktif dan andal.
Nilai tukar bergejolak
Sebagai
perekonomian terbuka, nilai tukar rupiah akan bergerak sesuai dengan fundamen
ekonomi dan perkembangan ekonomi global.
Hal ini guna
menghindari terjadinya overvalue atau undervalue rupiah, yang dapat
berakibat pada ketidakseimbangan sektor eksternal sehingga mengganggu
keseimbangan makro. Dalam kondisi kita menghadapi tekanan defisit NTB yang
bersifat permanen, tekanan depresiasi pada rupiah akan meningkat. Depresiasi
rupiah dapat diminimalkan dengan masuknya arus modal, baik portofolio maupun
PMA. Arus modal asing ini akan sangat bergantung pada kondisi perekonomian
global.
Dengan
perkiraan bahwa likuiditas global ke depan akan makin berkurang seiring dengan
kebijakan bank sentral negara maju yang mulai melakukan normalisasi kebijakan
moneternya, kita juga tidak bisa berharap banyak arus modal masuk pada masa
mendatang. Oleh karena itu, untuk menjaga keseimbangan makro, diperlukan nilai
tukar rupiah sesuai fair-value dan
yang terpenting lagi menjaga likuiditas dollar sehingga tidak menimbulkan
kepanikan pelaku bisnis.
Permasalahan
yang dihadapi Indonesia saat ini lebih bersifat struktural ketimbang temporer.
Oleh karena itu, penanganannya harus bersifat komprehensif dan berkelanjutan.
Artinya, tidak mungkin kita hanya mengandalkan kebijakan moneter atau fiskal
saja untuk mengatasi ketidakseimbangan di sektor eksternal. Perlu kebijakan
sektor riil serta langkah konkret dan komitmen dari sejumlah pihak, pemerintah,
regulator, dan pelaku bisnis, untuk mengimplementasikan kebijakan sektor riil
tersebut. Sebagai contoh, untuk menekan laju inflasi, tidak mungkin hanya
dengan kebijakan menaikkan suku bunga karena justru bisa kontraproduktif
terhadap ekonomi domestik kita.
Dalam jangka
menengah pertumbuhan ekonomi 6-6,5 persen tampaknya sangat dimungkinkan dengan
dukungan domestik ekonomi yang kuat, dominasi jumlah penduduk usia muda dan
produktif, pertumbuhan kelompok masyarakat berpendapatan menengah dan SDA
berlimpah. Namun, tanpa perubahan dan perbaikan ekonomi secara struktural
Indonesia dapat kehilangan momentum pertumbuhan ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar