|
"Perlindungan
ekspresi budaya tradisional lebih difokuskan untuk menjaga ’’kesakralan’’
ekspresi tersebut"
PERLINDUNGAN hukum terhadap hak kekayaan intelektual (HKI)
mengalami perkembangan sangat pesat dalam tatanan internasional, bahkan menjadi
salah satu isu dalam era global dan liberal saat ini. Bukti itu terlihat
terutama sejak disepakatinya Persetujuan TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights Agreement).
Persetujuan itu mengukuhkan peningkatan standar dan ruang
lingkup perlindungan HKI yang dilengkapi mekanisme penegakan hukum yang sangat
ketat, baik pada tingkat nasional maupun internasional. Namun perangkat itu
belum cukup mampu menyelesaikan kasus klaim kepemilikan karya ekspresi budaya
tradisional (EBT) kita dan penggunaannya secara komersial, terutama oleh pihak
asing.
Padahal ekspresi budaya tradisional tetap merupakan sebuah
karya cipta atau ’’pengetahuan’’ hasil kreativitas intelektual kelompok
masyarakat. Meskipun realitasnya itu merupakan ungkapan tradisi budaya
secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi, yang dipelihara dan
dikembangkan oleh sebuah komunitas masyarakat adat/lokal.
Kita bisa berkaca pada komersialisasi ekspresi budaya
tradisional kita, sebagaimana dalam sengketa perajin mebel ukir Jepara dengan
pengusaha asing PT Harrison & Grill-Java yang justru melakukan somasi,
melarang perajin lokal. Lebih tragis lagi beberapa motif tradisional ukir perak
Bali didaftarkan oleh warga asing, baik yang tinggal di Indonesia maupun di
luar negeri, sebagaimana John Hardy yang menggugat perajin lokal Indonesia. (Repubika Online, 13/9/08)
Selain itu, klaim kepemilikan ekspresi budaya tradisional
kita oleh Malaysia, seperti pemakaian lagu ’’Rasa Sayange’’ untuk jingle iklan Visit Malaysia tanpa otorisasi dari masyarakat adat Maluku, sebagai
’’pemilik’’. Selain itu, isu klaim kepemilikan motif batik parang, reog
ponorogo, angklung, tari pendet, dan paling akhir tari tortor dari Sumatera
Utara.
Perbedaan
Karakter
Perbedaan karakter antara HKI dan EBT membuat sistem hukum
kekayaan intelektual kita tak cukup mampu melindungi secara utuh ekspresi
budaya tradisional. Secara karakter, walaupun sama-sama bersumber dari
kreativitas intelektual manusia, di antara keduanya terdapat perbedaan
mendasar.
Gagasan hak kekayaan intelektual diwujudkan dalam ekspresi nyata, dan
itu perbedaan yang mendasar.
Gagasan hak kekayaan intelektual berbentuk karya dalam seni
dan ilmu pengetahuan, desain, merek, temuan teknologi sebagai karya atau temuan
baru atau asli. Adapun ekspresi budaya tradisional merupakan hasil gagasan
dalam bentuk karya seni dan pengetahuan serta teknik tertentu yang berakar dari
tradisi turun-temurun.
Pencipta HKI teridentifikasi secara jelas dan orientasi
ciptaan atau temuannya lebih ke arah motif ekonomi ketimbang ekspresi dari si
pencipta atau penemu. Dalam ekspresi budaya tradisional, identifikasi pencipta
asli tidak diketahui karena komunitas masyarakat tradisional/lokal mencipta
karya itu secara turun-temurun lintas generasi.
Perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional lebih
difokuskan pada integritas karya supaya ’’kesakralan’’ ekspresi itu tetap
terjaga. Adapun perlindungan dalam hak kekayaan intelektual lebih mengutamakan
kepentingan ekonomi ketimbang melindungi hak moral. Indonesia sebagai bangsa
multietnis dan negara kepulauan yang dihuni lebih dari 1.200 kelompok etnis
dengan budaya masing-masing, memiliki beragam kekayaan ekspresi budaya. Semua
itu berasal dari warisan budaya, baik berupa ekspresi budaya verbal, ekspresi
suara dan musik, ekspresi gerak maupun ekspresi nyata.
Peradaban bangsa kita sejak berabad-abad lalu juga sudah
mengenal karya-karya intelektual, di bidang seni yang sangat monumental
dan dikenal dunia, seperti Candi Borobudur dan Prambanan, tari-tarian indah,
kerajinan tangan (batik, tenun, ukir kayu/perak/tembaga), ceritera rakyat.
Bahkan beberapa ekspresi budaya tradisional kita semisal keris, wayang, batik,
tari saman, angklung, dan noken sudah diakui keberadaanya, dan masuk daftar
representatif World Intangible Cultural
Heritage.
Sejatinya perlindungan terhadap EBT Indonesia secara
komprehensisif bisa dilakukan dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip
perlindungan HKI, warisan budaya, dan hukum HAM. Perlindungan HKI bertujuan
melindungi aspek moral dan aspek ekonomi ekspresi buadaya itu. Adapun
perlindungan aspek moral dimaksudkan guna memberikan perlindungan dari tindakan
distorsi, mutilasi, dan atribusi yang menyebabkan hilangnya kesucian ataupun
kesakralan karya EBT.
Atas dasar itu, kita memerlukan prinsip hukum hak kekayaaan
intelektual sui generis atau khusus supaya lebih mampu melindungi secara utuh
ekspresi budaya tradisional. Perlindungan itu dengan mendasarkan pada
nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dan berakar dalam komunitas penghasil
kreativitas intelektual yang berbasis ekspresi budaya tradisional.
Langkah-langkah perlindungan itu perlu dilakukan secara komprehensif, dan
membutuhkan peran aktif berbagai sektor yang terkait, untuk diintegrasikan pada
tingkat kebijakan nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar