|
Wacana
kepemilikan dua paspor akan menimbulkan pro kontra di masyarakat.
Dokumen
dengan format B7 ini memang istimewa. Dengan lebar 88 milimeter (mm) dan tinggi
125 mm, identitas pribadi bersampul warna warni—hijau, hitam, merah, cokelat,
biru—merupakan dokumen milik negara yang berisi permohonan kepada negara di
dunia untuk mengizinkan pemiliknya masuk-keluar secara leluasa serta permintaan
untuk perlindungan apabila diperlukan.
Praktik
pengeluaran dokumen untuk kepentingan bepergian ini sudah muncul beberapa abad
sebelum Masehi, namun baru distandardisasi secara internasional sekitar tahun
1980-an oleh ICAIO, organisasi penerbangan sipil internasional, di bawah
naungan PBB.
Pemegang
dokumen yang populer dengan nama paspor ini secara tidak langsung berperan
ganda sebagai duta negara. Tugas yang diembannya dijunjung penuh kesadaran
serta tanggung jawab untuk senantiasa mempertahankan keutuhannya dengan segenap
kekuatan dan kemampuan.
Dengan
demikian hak serta kewajiban kepemilikan sebuah paspor tidaklah sepele dan
gampangan. Konsekuensi kepemilikan dua paspor atau lebih tentunya melibatkan
tanggung jawab yang semakin besar dan rumit sehingga hanya pribadi dewasa
yang sudah matang serta bijaksana sajalah yang sebenar-benarnya mampu dan
berhak memilikinya.
Wacana
kepemilikan dua paspor yang merupakan buah dari kebijakan “dwi
kewarganegaraan”, seumpama genderang sudah ditabuh. Gaung tuntutannya akan
semakin dikumandangkan dalam perhelatan akbar Konggres Diaspora Indonesia ke-2
pada 18-20 Agustus ini.
Pada
tataran ini, hal dwi kewarganegaraan lebih dari sekadar urusan fungsional,
legal, sosial, politik, dan ekonomi. Pemahaman serta penghayatan internal yang
antara lain meliputi cara pandang, etika, sistem nilai haruslah menjadi akar
serta landasan yang mendasari tindakan praktis.
Untuk
perkara yang fundamental dalam tempo yang singkat dan berharga, tulisan ini
mengajak seluruh unsur bangsa dan negara menyisihkan waktu merenung dengan
menggali nilai-nilai serta kearifan budaya Nusantara yang tercinta ini.
Ketersediaan
referensi yang realistis, bermakna, tidak dangkal dan tidak menggurui sangat
diperlukan. Tidak berlebihanlah wayang dengan lakon-lakonnya dan
keterbatasannya menjadi salah satu sumber utama yang sahih.
Satu
alasan utama masyarakat diaspora dituntut memahami warisan budaya agung ini (di
antara sekian banyak warisan berharga lainnya) adalah bahwa sebutan dan kata
diaspora sendiri menyandang pengertian suatu masyarakat ultranasional, dan
kepemilikan sebuah paspor merupakan salah satu bukti.
Predikat
sebagai duta bangsa ini dengan sendirinya telah mengangkat seorang diaspora ke
orbit lain sehingga ia mampu melihat kepulauan Indonesia dalam konstelasi
mancanegara, melebihi batas Sabang Merauke. Dengan demikian, seorang diaspora
seyogianya proaktif membekali diri, memahami serta fasih mengutarakan kekayaan
budaya Nusantara yang diwakilinya.
Tiga
alasan praktis dan nyata tambahan antara lain pertama, bukankah “dwi, warga,
dan negara”, semua kata dalam “dwi kewarganegaraan” yang merupakan tuntutan
kelompok diaspora bersumber dari bahasa dan negara yang sama tempat wayang
berasal?; kedua, bukankah salah satu ciri orang yang betul-betul modern adalah
kemampuan menghayati estetika masa lalu seperti yang diyakini oleh Romo Magnis,
seorang diaspora Jerman yang telah menjadi WNI dan menambah nama belakang
Suseno?; dan ketiga bukankah pengakuan UNESCO tanggal 7 November 2003 atas
wayang kulit sebagai Masterpiece of
Oral and Intangible Heritage of Humanity merupakan bukti kuat pengakuan
dunia yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh kelompok yang menyebut dirinya
diaspora?
Dalam
tampak permukaan, dunia wayang secara umum diwakili dua pihak yang saling
berselisih: Sri Rama (kerajaan Kosala) dan Rahwana (kerajaan Alengka) dalam
kisah Ramayana; selanjutnya keluarga Pandawa (Yudistira, Bima, Arjuna dan Nakula,
Sadewa kelima anak Pandu) dan Kurawa (terdiri dari seratus saudara sepupu yang
dipimpin oleh sulung Duryudana) yang bersengketa atas kerajaan
Astina/Hastinapura dalam cerita Mahabarata.
Seperti
kita ketahui Sri Rama dan Pandawa adalah tokoh yang disuratkan menjadi pihak
benar dan menjadi pemenang. Sekilas terlihat sederhana dan hitam putih. Namun
melalui beratus lakon dan penokohan, wayang sarat dengan dunia abu-abu sehingga
ia bukan hanya sekadar tontonan namun yang lebih mendalam memancarkan tuntunan.
Dalam
wacana dwi kewarganegaraan, masing-masing negara memosisikan dirinya sebagai
pihak utama seperti Sri Rama dan Pandawa lewat tuntutan kesetiaan utuh. Hal ini
secara jelas tecermin dalam sumpah atau janji yang wajib diucapkan (dan
selanjutnya dicacat dan dimasukkan sebagai dokumen resmi negara) oleh seseorang
guna memperoleh hak kewarganegaraan.
“Demi Allah/demi Tuhan Yang Maha Esa, saya
bersumpah (Saya berjanji) melepaskan seluruh kesetiaan saya kepada kekuasaan
asing, mengakui, tunduk, dan setia kepada … (nama negara yang bersangkutan)….” Penggalan Pasal 16, UU RI No 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan ini secara garis besar mewakili isi sumpah atau janji menjadi
seorang warganegara di semua negara di dunia.
Sebagai
tambahan bahkan ada negara yang mewajibkan mengangkat senjata sebagai upaya
bela negara. Wow. Sungguh sebuah
deklarasi yang sakral, mengusik hati nurani dan merasuk ke kedalaman sumsum
tulang. Jelaslah ini bukan perkara enteng dan murahan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar