"Apa pun kelak jadinya
dengan Anas dan Ibas, tak akan serta-merta memberi banyak pengaruh
positif"
KEBERANIAN Anas berjanji siap digantung di Monas seandainya korupsi
serupiah pun dan pernyataan Ibas 1.000% bersih dari korupsi adalah bagian
benang ruwet, kusut, dan menggunung hasil "pabrik" politik,
kekuasaan, dan uang di negara kita. Terlebih hari hari ini mekanisme
kiprah politik dan tata hukum kita didominasi oleh uang sebagai ideologi
para aktornya.
Dari mana datangnya kepercayaan diri teramat besar dua tokoh itu
ketika membela diri? Ada hal-hal dahsyat di balik diri mereka?
Mengetahui barang-barang kotor berjubel tumpang-tindih di sekitar tempat
mereka berkarya? Melihat perang antar-Sengkuni dan antar-Durna? Tertegun-tegun
di antara perkakas negara yang disebut politik, hukum, uang, dan kekuasaan
saling merangkul dan saling tubruk campur-aduk?
Pertanyaan bisa diperpanjang namun apa pun jawabnya tidak terlalu
penting bagi Republik Indonesia. Meski kelak salah satu, atau mereka berdua
terbukti tidak korupsi, atau sebaliknya; bagi negara kita sama saja
akibatnya. Demikian pendapat sejumlah sobat saya, para seniman-seniwati
benang (pembordir, penyulam, dan pelukis benang) dari Malang Jatim.
Jelasnya, apa pun kelak jadinya dengan Anas dan Ibas, tak akan
serta-merta memberi banyak pengaruh positif bagi bangsa dan negara. Seluruh
hiruk-pikuk lanjutan tentang mereka tidak akan segera memerdekakan Republik
Indonesia dari situasi konkret yang mirip "benang ruwet kusut yang
menggunung" akibat krisis multisektor dan multikompleks hasil
"pabrik" politik, kekuasaan, dan uang.
Padahal, benang masa kini tidak sesederhana dahulu. Dalam warna saja
menjadi makin amat warna-warni, bukan cuma "klasik" 12 warna
(sudah termasuk putih dan hitam) melainkan telah menjadi ratusan
warna. Belum dari sudut ukuran, teknik pintal, dan bahan-bahannya,
kompleksitas benang menjadi sulit dilukiskan.
Membayangkan "benang ruwet kusut yang menggunung", tidak
semudah menuliskannya. Padahal, itulah penjelasan paling mudah untuk
membayangkan kenyataan negara kita. Namun jangan lupa, para sobat saya itu
mengingatkan, kenyataan benang ruwet itu adalah bagian dan milik kita juga,
meski mungkin kita tak ikut melahirkannya.
Betapa pun ruwet dan menggunung benang-benang tersebut, tiap warga
bangsa ini wajib ambil bagian untuk mengurai dan menyelesaikan ketidakberesannya
menurut kemampuan masing-masing. Bagaimana bisa mengurai? Mungkinkah? Dari
mana memulainya?
Bagi yang tidak pernah berurusan dengan benang, kekusutan benang yang
sampai menggunung mungkin langsung membuat panik dan jengkel. Apalagi, jika
kita sudah merasa diri kaya-raya, akan dengan enteng membuang tumpukan
benang kusut itu ke tempat sampah, membakarnya, lalu membeli yang baru.
Bagi seniman-seniwati pencinta benang, cara semacam itu dianggap
"dosa". Di samping menandai apatisme, kebodohan, dan keputusasaan,
itu juga menandai kemiskinan sambung rasa dan ketidakpekaan akan apa yang
pernah dan masih kita miliki (sejarah dengan seluruh prosesnya). Mereka
menyarankan agar kita bergotong royong mengurai keruwetan benang tersebut
sebab caranya selalu tersedia dan tidak terlalu sukar.
Kasus Besar
Mengingat sudah ruwet dan kusut serta menggunung, maka harus dicari
ujungnya (kegagalan reformasi karena dijegal bekas-bekas penjahat bertopeng
malaikat). Apabila ujung tersebut terlalu rumit dan tidak juga ditemukan
(tokoh-tokoh golongan penjahat masih kuat sebab uangnya banyak sekali
sedang di Indonesia zaman sekarang banyak orang tunduk di depan uang), maka
ya comot saja seadanya warna yang saat ini mutlak kita butuhkan (semua
tersangka kasus korupsi dan kejahatan apa pun langsung ditahan).
Dalam mengurai kekusutan itu, kadang kita jumpai juga kemacetan. Maka
pelan-pelan buka bagian kusut yang longgar (generasi muda naif yang tak
kenal sejarah negaranya sendiri) dan selamatkan sampai betul-betul selamat.
Lalu mulai mencari warna benang yang lain.
Demikian, terus-menerus, tahap demi tahap, dan jangan harap bisa
sekaligus dalam sekali gebrak. Apabila ditemukan simpul mati (penerus
Orbaisme, fanatikus antipluralisme, antek-antek kepentingan asing, pemeluk
neofeodalisme, dan sebagainya sejenis itu), apa boleh buat, gunting dan
buang saja. Memang sayang. Tapi apakah ada jalan yang lain?
Terpenting, dalam mengurai dan membereskan benang ruwet kusut yang
sudah menggunung, diharapkan bisa konsentrasi memilih kasus-kasus raksasa
yang jelas mencolok (Hambalang, Century, BLBI, lumpur Sidoarjo, kekerasan
di Papua, primitivisme lalu lintas darat, Pulau Jawa SOS, premanisme
politik, para pengembang narkoba di segala lini, dan seterusnya) serta
selesaikan sampai tuntas.
Tanpa penuntasan kasus-kasus raksasa tersebut, negara kita akan
selamanya celaka dua belas. Moga-moga
tidak! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar