Restorasi
Kemanusiaan Indonesia
David Krisna Alka ; Peneliti Populis
Institute dan aktivis Group Menara 62
|
MEDIA INDONESIA, 19 September 2012
PANCASILA sudah tumpul dan tak bernyawa di dalam dada aparatur
negara yang abai terhadap luka berdarah hingga hilangnya nyawa warga negara.
Apakah kisah kekerasan itu akan diceritakan turun-temurun kepada anakanak ahli
waris Indonesia?
Kekerasan demi kekerasan, tembakan demi tembakan, letupan demi
letupan, begitulah seolah wajah Indonesia. Pemangku pemerintahan dan penanggung
jawab sebagai pelindung warga negara terkesan hanya meluapkan emosi karitatif
mereka di media. Di samping itu, belum ada implikasi nyata atas pencarian
tersangka dan tindakan hukum.
Kejadian yang sama berulang-ulang. Ada pula suara sumbang
mengatakan sebagian besar kejadian itu rekayasa. Begitu parahnya kemanusiaan
manusia Indonesia bila setiap peristiwa yang membunuh manusia merupakan
rekayasa untuk kepentingan kelompok tertentu atau pihak tertentu.
Apa yang ingin kau cari Indonesia? Beragam budaya dan kaya akan
sumber daya alam, tapi pemerintahan yang dijalankan manusia Indonesia, yang
lahir dan besar di tanah air Indonesia, ternyata tak pernah tuntas
menyelesaikan masalah hilangnya nyawa sesama manusia, sedarah Indonesia.
Selain itu, kecemburuan pun merebak di tengah keanekaragaman warga
negara. Semestinya keadilan, tapi berubah menjadi kesengsaraan. Seharusnya
kemanusiaan, tapi berganti menjadi kekerasan. Keyakinan pun menjelma
keberingasan.
Tumpulnya kemanusiaan dan pudarnya kepercayaan diri sebagai
manusia Indonesia tak terlepas dari watak manusia. Lantas, apakah yang tampak
akhir-akhir ini ialah watak manusia Indonesia? Penyelenggara negara berjalan
tak keruan. Hendak menuju ke mana pemerintahan? Wajah Republik ini seolah
mengalami seperti apa yang pernah dikatakan Mochtar Lubis, `wajah lama tak
keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas'.
Pemimpin Kemanusiaan
Terkadang kita seolah tak percaya, mengapa begini keadaan Republik
kita.
Warga seperti tak tahu siapa pemimpin publik mereka. Survei yang gegap gempita di media apakah cukup dengan responden yang hanya ribuan itu sebagai representasi suara rakyat dan menggambarkan sosok kepemimpinan yang dapat mengubah keadaan dan berperikemanusiaan?
Warga seperti tak tahu siapa pemimpin publik mereka. Survei yang gegap gempita di media apakah cukup dengan responden yang hanya ribuan itu sebagai representasi suara rakyat dan menggambarkan sosok kepemimpinan yang dapat mengubah keadaan dan berperikemanusiaan?
Konspirasi politik nasional berlangsung terus seiring dengan penderitaan
bangsa yang juga berlangsung lama. Apa lagi tentang nasib pemulihan harga dan
harkat bangsa, itu menjadi kian tertunda. Kalau memang sudah begitu keadaannya,
bagaimana melakukan perubahan dan menciptakan kemajuan negara? Titik dan koma
tentang capaian kemajuan Republik ini masih buram. Di mana jalan terangnya? Tak
sedikit pula kerusakan dan kebusukan politik hadir secara terang di ruang
publik.
Pemerintah menganggap gampang semua persoalan bangsa. Segala
persoalan hampir berkutat pada cerita yang sama. Jarang ada kisah pemimpin
publik yang aksi kemanusiaannya ikhlas tanpa pamrih dan pamor.
Restorasi Kemanusiaan
Sebenarnya, banyak orang biasa yang bukan penyelenggara negara
paham mau dibawa ke mana Indonesia. Orang biasa itu mungkin saja bisa berada di
sekitar wilayah rumah kita. Karena kepongahan, barangkali kita tak menyadari
keberadaan mereka. Orang-orang biasa yang saling membagi kebersamaan dan
mengambil makna harkat kemanusiaan bekerja membagi kasih sayang.
Almarhum Moeslim Abdurrahman mengatakan individu-individu yang
biasa itu memiliki kepribadian kebajikan sosial (social virtue) untuk menciptakan masyarakat Indonesia menjadi baik.
Ya, orang biasa yang berperikemanusiaan. Merasa dan memiliki Indonesia.
Menghargai kemanusiaan Indonesia, bukan menggunakan manusia lain untuk
memperalat dan menghilangkan nyawa sesama manusia Indonesia.
Manusia yang memperalat, bahkan membunuh nyawa manusia, disebut
Soedjatmoko sebagai manusia tuna, pribadi zombi yang digerakkan satu motif
serakah untuk mengeruk kemewahan tanpa batas. Memang, tidak ada resep yang
mudah bagi masa depan Indonesia, sebagaimana tidak ada bentuk yang final tatkala
manusia terus berinteraksi di antara sesama.
Oleh karena itu, restorasi kemanusiaan Indonesia sangat lah
diperlukan. Yakni, selalu merancang, memperkuat, dan berbuat dalam nilai-nilai
yang signifikan pada proses mencapai tujuan hakikat sebagai manusia Indonesia.
Siapakah yang mesti dan akan dapat mengubah posisi celaka manusia Indonesia
selain manusia Indonesia itu sendiri?
Budayawan Sanusi Pane pernah menganjurkan kita agar kembali ke
dasar Indonesia. Keindonesiaan dan ketimuran harus memancar lagi di dalam
masyarakat. Segala provinsialisme, yaitu perasaan yang timbul dari kepicikan
pengetahuan tentang kebudayaan dan kemanusiaan yang ada sejak dahulu hingga
sekarang, harus dijauhi.
Artinya, restorasi kemanusiaan
ialah perubahan diri sendiri. Tak boleh tidak, itu mesti bersifat perubahan
jiwa, pandangan hidup, dan cara berpikir, serta nyata-bukan sekadar iklan-iklan
dan cuap-cuap. Ya, itu perubahan manusia untuk kembali menjadi manusia
Indonesia seutuhnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar